Headlines
Loading...
Kasus Kekerasan Anak, Refleksi  Sistem Rapuh yang Koyak

Kasus Kekerasan Anak, Refleksi Sistem Rapuh yang Koyak

Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Anak Taman Kanak-Kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban pemerkosaan tiga anak Sekolah Dasar (SD) (liputan6.com, 20/1/2023). Anak perempuan yang masih berusia 5 tahun ini pun akhirnya trauma berat karena berulang kali mengalami hal serupa. Korban mendapat perlakuan asusila secara bergiliran yang dilakukan oleh tiga anak laki-laki yang juga masih sangat belia, 8 tahun. Miris. 

Karena marah, pihak keluarga korban akhirnya melaporkan kasus ini pada aparat desa dan kepolisian setempat. Kuasa hukum korban, Krisdiyansari, menyatakan bahwa kejadian ini terjadi pada 7 Januari 2023 lalu. Dan pelaku merupakan tetangga sekaligus teman sepermainan korban yang bertempat tinggal tak jauh dari rumah korban. Perilaku bejat ini dilakukan di rumah kosong pada saat jam sepi, sekitar pkl. 11.00 siang. Parahnya lagi, perbuatan ini dilakukan bergantian oleh 3 anak SD. 

Awalnya korban tak menceritakan kejadian tersebut pada orang tuanya. Namun, keesokan harinya, ada bagian vital yang sakit. Pihak keluarga akhirnya mengetahui kronologi kejadian dari laporan teman sepermainan korban. Hingga akhirnya kasus ini ditangani pihak kepolisian setempat. Berdasarkan hasil visum, dilaporkan adanya luka sebagai akibat dari pemaksaan masuknya benda asing. 

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Polisi Gondam Pringgodhani, membenarkan bahwa pihaknya tengah menangani dan menyelidiki kasus tersebut (liputan6.com, 20/1/2023). 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebutkan bahwa 1 dari 4 perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual (Komnasperempuan.go.id, 13/4/2022). Mayoritas kekerasan seksual dialami perempuan dan anak-anak. Mirisnya, para pelaku adalah orang-orang dekat yang mengenal keseharian korban. Kebanyakan kejadian yang dilaporkan terjadi di sekitar rumah dan lingkungan sekolah/ lembaga pendidikan lainnya. 

Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kemen PPPA mendorong agar aparat penegak hukum dapat memperhatikan Undang-Undang No.11 tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak. Karena para pelaku adalah anak di bawah usia 12 tahun. 

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi kita semua, khususnya bagi para orang tua. Karena tak bisa maksimal menjaga anak-anak dari segala bentuk tindak kekerasan. Salah satunya kekerasan seksual. Meskipun berbagai program dicanangkan pemerintah dalam melindungi anak, seperti Program Kota Layak Anak, tapi angka kekerasan seksual terhadap anak tak bisa terkendali. Malahan semakin meningkat. Dengan motif yang beragam. Parahnya lagi, variasi kasus semakin banyak. Sungguh fakta ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. 

Dr. Arum Harjanti, pengamat masalah anak dan perempuan, mengatakan bahwa hal ini adalah malapetaka dahsyat. Dan sebagai bukti kebobrokan negara dalam mengurus rakyatnya (muslimahnews.com, 22/1/2023). 

Menilik kasus kekerasan yang menimpa anak, tentu dapat ditelisik dari pola asuh keluarga. Pola asuh keluarga yang buruk akan melahirkan pola-pola tindakan yang buruk pula. Sebetulnya hal ini adalah kewajiban negara dalam memberikan edukasi menyeluruh kepada para orang tua. Namun, kini, sayangnya negara abai akan kebutuhan edukasi bagi seluruh rakyatnya. 

Sistem buruk yang hari ini diterapkan pun memberikan andil yang besar sebagai biang keladi kerusakan yang sistemik. Sistem sekulerisme yang kapitalistik. Inilah sistem yang meracuni setiap pemikiran masyarakat. Sistem yang menjauhkan segala aturan agama dari pengaturan kehidupan menciptakan berbagai pola tindakan rapuh yang meluluhlantakkan akal masyarakat.
Segalanya dilakukan tanpa ada batasan. Tak peduli standar benar salah yang telah ditetapkan aturan syariat agama.

Kemudahan akses digitalisasi media sosial memberikan andil dalam memantik kerusakan. Kemudahan ini ternyata memberikan dampak buruk di tengah arus pemikiran umat. Segalanya dapat diakses tanpa hambatan oleh siapa saja. Tak terkecuali oleh anak-anak yang notabene, ingin serba tahu, dengan berbagai keterbatasan pemahaman. Anak-anak dengan mudahnya mengakses konten nirmanfaat yang bermuatan negatif, seperti konten pornografi. Bahkan beragam game yang ditawarkan dalam digitalisasi pun selalu ada konten pornografi sebagai "award" pemenang game. Tentu saja, hal ini terus merangsang dan membawa hawa nafsu mereka menuju kerusakan. Hingga akhirnya berujung pada kemaksiatan. Beragam konten yang unfaedah ini tak dieliminasi oleh negara. Karena beragamnya konten ini menghasilkan keuntungan yang berlebih dalam ladang bisnis mereka. Artinya, dalam sistem rusak ini, keuntungan materi lebih berharga daripada kehormatan dan penjagaan generasi. Inilah rusaknya kapitalisme. Tak peduli segala akibat yang menimpa  generasi. 

Sistem pendidikan yang saat ini diterapkan pun memberikan dampak luar biasa bagi para anak didik. Penggenjotan nilai prestasi dengan tolok ukur nilai akademis telah mengikis akhlak dan adab para anak didik. Tak ada pembinaan ilmu agama, keimanan dan ketakwaan. Meskipun ada, pembekalan agama hanya sekedar pengenalan dan sekilas saja. Tak pernah ada pendalaman keimanan dan ketakwaan. Hingga akhirnya tak mengenal konsep agama. Walhasil, adab, akidah dan akhlak pun tak terbentuk dalam setiap jiwa generasi. Memprihatinkan.

Sungguh, sistem ini menciptakan kerusakan yang sempurna dalam kehidupan. Sistem ini rapuh sekaligus koyak. Mau tak mau harus segera diganti dengan sistem yang lebih layak. Solusi sistemik mutlak dibutuhkan untuk segala masalah yang kini tengah menimpa. Perlu ada sinergitas antara keluarga, lembaga pendidikan, lingkungan masyarakat dan yang paling utama adalah peran negara dalam mengendalikan segala aspek. Segala sinergitas ini hanya dapat diwujudkan dalam bingkai negara bersistemkan Islam. 

Syariat Islam, menjaga kemuliaan dan kehormatan generasi dengan memadukan pemahaman agama dan menyelaraskan aturan agama menjadi satu-satunya aturan kehidupan. Standar syariat Islam sangat sempurna. Segala tindakan didasarkan pada sikap menekankan sifat muraqabatullah. Sikap merasa selalu diawasi Allah SWT., Dzat Yang Maha Mengetahui. Dengan dasar inilah, setiap makhluk seharusnya selalu dapat menjaga pola pikir dan tindakannya dimana pun dan kapan pun. Karena ada Allah  SWT. yang selalu mengawasi. Tentu saja, hal ini pun wajib ditanamkan sejak dini, sejak sang buah hati masih dalam kandungan. Karena itulah, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama.

Dalam lembaga pendidikan pun wajib menerapkan kurikulum yang mengutamakan nilai agama. Prinsip iman dan takwa menjadi tujuan utama. Demi membangun akhlak dan akidah anak didik agar terasah dan terarah sempurna. Negara wajib hadir dalam hal ini. Memberikan regulasi dan ketetapan yang mengarahkan pada pembinaan generasi. Guna menjaga keselamatan akhlak dan akidah generasi. 

Segala usaha yang sinergitas ini hanya dapat terwujud dalam negara berbingkai syariat Islam. Dalam syariat Islam, teknologi digitalisasi akan diarahkan demi pembinaan kecerdasan menyeluruh bagi generasi. Cerdas dunia dan akhirat.

Hanya Kh!l4f4h Islamiyyah, wadah khas sistem Islam yang dapat melahirkan generasi gemilang berwawasan syariat Islam yang sempurna. Hal ini dibuktikan dengan selalu lahirnya generasi gemilang selama 14 abad syariat Islam diterapkan. Hidup sejahtera dan aman dalam naungan syariat Islam yang kaffah.

Wallahu a'lam bisshowwab.

Baca juga:

0 Comments: