Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah

"Bu, besok kalau ambil rapor, Yana jalan kaki saja ya. Jangan pake sepeda butut itu lagi!" ucap Yana sambil menyerahkan undangan pengambilan rapor dari sekolah untuk seluruh orang tua dan wali murid itu kepada ibunya. 

"Emang kenapa Ibu nggak boleh naik sepeda? Kalau jalan kaki kan lumayan jauh, Yan. Ke sekolah Yana itu nggak ada angkot lewat," tanya sang ibu lembut.  

"Sepedanya jelek, Bu. Nggak enak dilihatin temen-temen Yana." Remaja SMP itu menimpali lagi pertanyaan ibunya setengah cemberut.

"Atau Ibu naik ojek aja deh!" rengek Yana dengan nada memaksa. Sang ibu menarik napas dalam. Wanita lembut yang menjadi 'single parent' setahun yang lalu itu mencoba mencerna kata-kata putri semata wayangnya. Ia tak buru-buru memberi tanggapan. Ibu lanjut menggoreng tempe untuk lauk makan malam mereka.

"Nggak ada ojek perempuan di sini, Nak. Ibu nggak mungkin berboncengan dengan laki-laki yang bukan mahram," jawab wanita itu memberi alasan. 

"Terserah Ibu deh!" sungut Yana sambil ngeloyor meninggalkan ibunya di dapur. Wanita yang dipanggil ibu itu hanya bisa menggeleng pelan.

Usai salat Isya berjamaah, Lastri mendekati putrinya. Diusap-usap kepala gadis kecilnya yang kini beranjak remaja dengan lembut.

"Yana ... kamu malu kalau ibu membawa sepeda butut peninggalan ayah itu ke sekolah?" tanya Lastri. Yana segera mendongakkan kepala. Menatap sang ibu lekat. Namun, gadis itu tak menemukan gurat marah di wajah ibunya yang ayu dan teduh itu. 

"Eng, enggak gitu maksud Yana, Bu," remaja ABG itu mengelak. Sebenarnya dia memang malu jika ketahuan teman-temannya. Karena Yana akan dijadikan bahan ejekan, disebabkan  sepeda onthel era 60-an yang dinaiki ibunya. Sementara walimurid yang lain rata-rata membawa motor. 

Meski Yana bukan tipe anak gaul, tapi gaya hidup teman-temannya di sekolah cukup kuat pengaruhnya. Yana, gadis 13 tahun yang sedang mencari jati diri itu tak ingin dijauhi teman-temannya. Berbagai cara pun ia lakukan agar mendapat pengakuan.

"Baiklah, besok ibu tidak membawa sepeda ke sekolah Yana," jawab wanita itu menyerah. Ia tidak ingin melihat putri semata wayangnya bersedih.

"Tapi, ada satu pesan ibu yang harus Yana inget." Lastri mengatur posisi duduknya.

"Apa?" sahut Yana cepat.

"Kemuliaan seseorang itu tidak terletak pada kekayaan materi yang dia miliki. Barang-barang mewah yang ia pakai. Tapi ... kemuliaan seseorang itu dinilai dari ketakwaannya kepada Allah, Nak." Yana sedikit tertegun mencerna nasihat ibunya. 

"Yana nggak usah minder sama teman-teman Yana di sekolah. Mereka semua tidak bisa menyelamatkan Yana kelak di akhirat. Hanya ketaatan Yana pada Allah yang bisa menolong Yana. Jadi, Yana harus percaya diri dengan apa yang Yana miliki." Wanita itu kemudian beranjak, meninggalkan Yana yang bergelut dengan pikirannya.

**
Keesokan hari. Yana bersiap berangkat ke sekolah terlebih dahulu. Meski hari itu pembagian rapor, tapi anak-anak tidak libur. Ada pertandingan antar kelas babak final.

"Bu, Yana berangkat dulu ya." Remaja ABG itu mencium tangan ibunya takzim.

"Hati-hati di jalan, dan ... hati-hati kalau pilih teman. Jangan mudah ngikut apa yang dilakukan teman. Karena belum tentu semua benar." Sekali lagi, pesan wanita yang telah melahirkannya itu membuat Yana terdiam. Gadis manis itu hanya mengangguk.

Setelah Yana berangkat, Lastri pun bersiap pergi ke sekolah Yana untuk mengambil rapor hasil evaluasi belajar Yana selama satu semester. Tak lupa ia selipkan sebotol air minum di dalam tas. 

Lastri menepati janjinya kepada Yana, putrinya, untuk tidak membawa sepeda ke sekolah. Wanita penyabar itu pun berangkat lebih awal supaya tidak terlambat karena harus berjalan kaki. Lastri mencari jalan pintas agar cepat sampai sekolah Yana. Meski begitu jarak yang harus ia tempuh masih sekitar 2 kilo untuk bisa sampai ke sekolah Yana. 

Tak terasa, akhirnya Lastri sampai di sekolah Yana. Wanita itu duduk sejenak di bangku panjang yang terletak di depan ruang guru untuk melepas lelah. Diteguknya air minum yang tadi ia bawa. Lastri memijit-mijit kakinya sebentar kemudian naik ke lantai 2 menuju kelas Yana. Wali kelas Yana dan beberapa orang tua siswa sudah berkumpul di ruangan tersebut.

"Bagaimana perkembangan belajar Yana, Bu?" tanya Lastri kepada guru kelas Yana ketika mendapat giliran konsultasi.

"Alhamdulillah, nilai Yana semua tuntas, Bu. Hasil ujiannya juga tidak ada yang remed." Lastri tersenyum lega mendengar penjelasan guru Yana.

Usai berbincang dengan wali kelas Yana, Lastri pun pamit. Sesampai di depan gerbang, wanita itu membuka payung kemudian berjalan pelan menyusuri jalan pintas yang tadi ia lewati. Cuaca tengah hari cukup terik. Lastri harus sering berhenti di bawah pohon untuk beristirahat sejenak.

Rasa nyeri mulai terasa di sekujur kakinya. Namun, Lastri harus bertahan. Dengan tertatih, wanita itu terus berjalan hingga sampailah ia di rumah.

"Assalamu'alaikum," sapa Yana beberapa jam kemudian. Gadis itu tak sabar melihat nilai rapornya. Suasana rumah sepi. Ia ulangi salamnya. Terdengar sahutan lirih. Pintu tak dikunci. Yana pun bergegas masuk. Dicarinya sang ibu di dapur, tapi nihil.

"Ibu kenapa?" buru-buru Yana menghampiri sang ibu yang berbaring di atas kasur.

"Badan ibu panas. Ibu harus ke dokter." Seketika Yana panik.

"Yana panggilin Pakde dulu." Sebelum beranjak, sang ibu menahannya.

"Ibu nggak papa, Yan. Ibu hanya kelelahan karena tadi habis jalan dari sekolah Yana tengah hari. Tolong ambilkan ibu air putih saja," pinta ibunya. 

"Maafin Yana ya, Bu. Semua gara-gara Yana. Seandainya tadi ibu naik sepeda ...." Yana sesenggukan memeluk ibunya.

"Yana janji. Mulai saat ini Yana nggak akan larang ibu naik sepeda itu lagi. Yang penting ibu tidak capek."

"Yana juga janji. Yana akan jadi diri Yana sendiri. Yana nggak mau ikut-ikutan temen Yana yang tidak baik lagi, Bu." Yana semakin menangis di pelukan ibunya. Sementara, Lastri tersenyum lega. Akhirnya putri semata wayangnya tersadar. Wanita itu tak berhenti mengucap hamdalah dan terus memohon agar putrinya selalu berada dalam ketaatan kepada Rabbnya.

TAMAT

Baca juga:

0 Comments: