Oleh. Ana Mujianah
"Bu, Sari lebaran ini belum bisa pulang ya. Jadi, Ibu jangan ngarep-ngarepin Sari," kata Sari kepada ibunya sewaktu video call. Hening. Tak ada sahutan dari seberang ponsel.
"Bu ...," panggil Sari lagi karena ibunya tak juga berkata apa-apa. Sesaat kemudian baru terdengar sahutan lirih.
"Maafkan Sari ya, Bu. Mas Hafidz baru pindah kerja. Belum ada jatah cuti," jelas Sari berharap ibunya memaklumi.
"Soal keperluan lebaran, Ibu nggak usah khawatir. Nanti Sari paketin seminggu sebelum lebaran." Sepi lagi. Hanya wajah sendu yang tertangkap kamera ponsel.
"Iya, terimakasih, Nak. Semoga Sari selalu dilancarkan rezekinya oleh Allah."
"Sebenarnya, Sari nggak perlu repot-repot. Ibu ada hasil kebun yang digarap Paklikmu. Insya Allah lebaran ini panen," jawab wanita paruh baya itu agar putrinya tenang.
"Nggak apa-apa, Bu. Sudah menjadi kewajiban Sari. Insya Allah nggak merepotkan kok. Cuma ... Sari bener-bener minta maaf ya, Bu. Kalau ... Sari belum bisa pulang lebaran ini." Gurat sesal ikut mewarnai wajah cantik Sari. Meski ibunya tampak baik-baik saja, tapi Sari yakin pasti wanita itu sedih. Terlebih Sari merupakan anak satu-satunya.
Sari menangkup wajahnya dengan kedua tangan setelah mengakhiri video call dengan sang ibu. Perempuan itu mencoba menyelami perasaan ibunya. Karena dia juga seorang ibu. Sari kemudian menengok bocah laki-laki berumur tiga tahun yang sedang asyik bermain lego. Membayangkan saat putranya dewasa, berkeluarga dan tinggal jauh darinya. Bulir hangat tiba-tiba menetes tanpa bisa Sari cegah.
"Astaghfirullahal adziim," ucapnya lirih. Bayangan sedih ibunya di layar ponsel kembali terlintas. Sari semakin galau. Suaminya baru tanda tangan kontrak kerja baru. Tidak ada jatah cuti di tahun pertama. Sari bimbang, jika pulang berarti meninggalkan suami sendiri, jika tidak pulang ibunya akan berlebaran seorang diri. Sari benar-benar dihadapkan pada dua pilihan yang sulit.
"Semoga ada jalan," bisiknya lagi sambil mengangkat putranya yang tertidur di karpet.
**
Bulan Ramadan telah memasuki sepuluh hari terakhir. Semua bersiap memaksimalkan ibadah. Berharap berkah di malam Lailatul Qadar. Tak terkecuali Sari dan Hafidz suaminya. Sari dan suaminya membuat jadwal i'tikaf diakhir pekan bersama suami dan anaknya.
Sejak bangun sahur, Sari sudah mempersiapkan keperluan untuk i'tikaf nanti malam. Terutama keperluan si kecil supaya tidak rewel saat abi uminya ibadah. Tiba-tiba telepon berdering. Sari baru ingat, bahwa hari Ahad adalah jadwal menelepon ibunya.
"Assalamu'alaikum, gimana kabar Ibu? Sehat?" Sari segera mengangkat telepon tersebut. Namun, ada yang aneh. Yang menjawab telepon bukan ibunya.
"Halo, niki sinten?" sapa Sari.
"Wa'alaikumsalam, Aku Lek Man, Sar. Piye kabare, Nduk. Sehat semua?"
"Oh, Lek Man. Alhamdulillah, kabar kami sehat Lek," jawab Sari heran bercampur tanya. Kenapa Lek Man yang meneleponnya. "Memangnya ibu kemana?" tanya Sari dalam hati.
"Gimana kabar keluarga di sana, Lek? Pada sehat semua? Ibu, juga sehat kan?" lanjut Sari tidak sabar.
"Alhamdulillah, keluarga semua sehat, Nduk. Cuman ... ibumu lagi nggak enak badan. Mau diajak ke dokter katanya nggak usah. Ditanyain, nggak ada apa-apa katanya," jelas Lek Man. Feeling Sari kembali bermain. "Ibu pasti kepikiran karena Sari nggak pulang lebaran tahun ini. Wanita sepuh itu sebenarnya rindu tapi nggak berani bilang takut aku kepikiran untuk pulang," batin Sari. Sari kembali bimbang. Padahal, kemaren sudah yakin untuk tidak pulang karena ibunya selalu bilang nggak apa-apa banyak saudara di sana.
"Coba Lek, Sari pengen ngomong sama ibu," pinta Sari.
"Halo. Assalamu'alaikum. Ibu, Ibu kenapa? Ibu sakit apa?" tanya Sari setelah tersambung dengan ibunya.
"Ibu nggak pa-pa, kok. Besok juga sembuh." Selalu begitu. Namun, suara parau wanita di seberang sana tak bisa membohongi anaknya. Sari pun menengok ke arah suaminya meminta pendapat.
"Ibu, Ibu nggak usah khawatir. Sari, insya Allah pulang, Bu." Akhirnya, satu keputusan harus diambil oleh Sari.
"Alhamdulillah, bener Nak kamu mau pulang?" Terdengar suara lebih tegas dari sebelumnya. Sari bisa merasakan aura bahagia ibunya seakan memberi kekuatan wanita paruh baya itu.
"Insya Allah, Bu, Semoga bisa dapat tiket keretanya," jawab Sari mantap setelah mendapat anggukan dari suaminya.
Sari segera menghampiri sang suami setelah menutup telepon. "Kalau Sari pulang, bagaimana dengan Mas Hafidz? Nanti sendirian." Ada rasa tidak enak di hati Sari.
"Alhamdulillah, Mas bisa izin asal tidak pas dihari H. Jadi, kita bisa pulang dihari ke-2 lebaran," jawab Hafidz membuat Sari tersenyum lega. Disatu sisi dia bisa berbakti pada ibunya, disisi lain dia tidak meninggalkan kewajiban terhadap suaminya
Sungguh, selalu ada jalan untuk berbakti dan menyenangkan hati orang tua. Karena doa seorang ibu itu mustajab. Disaat sesuatu kita anggap tidak mungkin, bisa jadi berkat doanya, Allah jadikan mungkin. Tengok ibumu selagi mereka masih ada.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: