
Oleh. Ana Mujianah
"Fitri nggak usah kuliah, Bu. Biar Fitri kerja aja," ucap gadis remaja yang baru lulus SMA itu lirih sambil memandangi ijazah yang baru ia terima.
"Fitri ... lulusan SMA mau kerja apa, Nak? Paling-paling jadi buruh pabrik atau karyawan toko," sahut sang ibu lembut berusaha menyemangati putri sulungnya.
"Keputusan Fitri tepat, Bu. Anak perempuan nggak usah kuliah. Toh nanti ujung-ujungnya ke dapur sama ngurus anak," timpal seorang laki-laki yang baru pulang dari sawah.
"Yang namanya ilmu nggak akan pernah sia-sia, Pak. Meski fitrahnya anak gadis adalah di rumah mengurus suami dan anak-anak. Kalau ibunya berilmu, kan ngurus anaknya juga nggak bakal asal-asalan."
"Tapi penghasilan Bapak jadi buruh tani nggak cukup untuk biaya kuliah Fitri, Bu. Belum lagi sekolah Arin. Sebentar lagi mau masuk SMP," imbuh laki-laki itu.
"Tapi, Pak. Lulusan SMA mau kerja apa? Mentok jadi penjaga toko atau buruh kasar." Wanita bergamis panjang itu mencoba memberi pengertian kepada suaminya.
"Kalau kuliah biayanya dari mana, Bu? Emang Ibu mau nangung?" tantang suaminya mulai kesal karena sang istri tetap ngotot agar Fitri melanjutkan kuliah.
Suasana hening. Fitri menatap ibunya lekat. Mencari secercah harap dari mata wanita berhati baja yang duduk di depannya. Gadis itu sebenarnya ingin sekali melanjutkan kuliah. Namun, keadaanlah yang membuatnya pesimis. Memupus habis harapan dan cita-cita gadis itu.
"Bismillah. Insya Allah Ibu akan berusaha cari biaya kuliah Fitri, Pak," ucap wanita 45 tahun tersebut mantap. Sesungging senyum pun terbit dari wajah anak gadisnya.
"Terserah Ibu, deh!" Laki-laki yang tak lain adalah ayahnya Fitri tersebut akhirnya menyerah dengan kekerasan hati istrinya.
Beberapa waktu sejak perdebatan itu pun berlalu. Pendaftaran kuliah sudah mulai dibuka. Fitri semangat mencari informasi pendaftaran ke kampus negeri agar bisa mendapatkan beasiswa. Setidaknya bisa meringankan beban ibunya.
"Bu, besok sudah dibuka pendaftaran kuliah semester genap. Apa ... Ibu punya uang untuk biaya pendaftarannya?" tanya Fitri pada ibunya ragu-ragu.
"Insya Allah ada. Fitri fokus saja belajar agar tesnya lolos dan masuk kampus yang Fitri inginkan," jawab sang ibu tanpa keraguan. Wanita itu berusaha meyakinkan putrinya agar dia tidak khawatir soal biaya. Meski sebenarnya ia sendiri masih bingung dari mana mendapatkan uang.
"Assalamu'alaikum Bude Kaji." Pagi itu Asih, ibunya Fitri, segera pergi ke rumah Bu Kaji Mansur.
"Wa'alaikumussalam, ada apa Sih?" jawab Bu Kaji ramah sambil mempersilakan Asih masuk.
"Maaf sebelumnya, Bude," ucap Asih ragu-ragu.
"Asih ... mau pinjem uang." Dengan gemetar, Asih memberanikan diri. Ini pertama kalinya wanita sederhana itu meminjam uang. Selama ini Asih selalu berusaha mencukupkan nafkah suami untuk keperluan sehari-hari.
"Tumben. Buat apa kamu pinjem uang, Asih?" selidik Bu Kaji.
"A-anu Bude. Fitri mau mendaftar kuliah."
"Kamu ini Asih. Nggak punya uang kok mau nguliahin anak. Baru pendaftaran saja sudah pinjam, apalagi nanti untuk biaya bulanan," ketus Bu Kaji membuat hati Asih perih.
"Terus, kalau aku pinjemin, kapan kamu mau bayar?" tanya Bu Kaji lagi. Asih terdiam karena memang belum terpikir olehnya kapan dia bisa mengembalikan uang pinjaman tersebut. Sementara, uang pemberian bapaknya Fitri setiap hari memang pas-pasan untuk kebutuhan dapur.
"Insya Allah ... dua hari lagi saya kembalikan Bude Kaji," janji Asih. Bu Kaji pun luluh dan memberikan sejumlah uang kepada Asih.
"Alhamdulillah," ucap Asih penuh syukur. Namun, kelegaan itu segera berganti kecemasan. Bagaimana ia mengganti uang tersebut dalam dua hari. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Bu Kaji, Asih terus berdoa dalam hati semoga ada keajaiban yang diberikan Allah kepadanya dalam dua hari ini.
**
"Bu, mau kemana? Akhir-akhir ini ibu sering pergi kalau bapak sudah berangkat ke sawah. Emangnya ibu pergi kemana?" tanya Fitri merasa ada sesuatu yang disembunyikan ibunya.
"Seperti biasa ibu ngaji Iqro di rumah Bude Kaji," jawab Asih singkat. Namun, Fitri masih tidak puas dengan jawaban itu. Diam-diam Fitri mengikuti ibunya. Ternyata benar sang ibu pergi ke rumah Bude Kaji.
"Tapi kenapa setiap hari?" batin Fitri. Kalau ngaji Iqro biasanya seminggu cuma dua kali. Hati Fitri digelayuti tanya penasaran. Fitri berinisiatif menunggu ibunya di gang sebelum masuk rumah Bude Kaji. Sudah sejam tapi sang ibu belum keluar juga. Ngaji Iqro biasanya cuma setengah jam. Fitri pun memberanikan diri menyusul ibunya.
"Assalamua'laikum," sapa Fitri sopan.
"Eh Fitri. Ada apa Fit?" tanya Zahra cucu Bude Kaji yang seumuran Fitri.
"A-apa ibuku ada di sini?"
"Oh, iya ada. Bu Asih lagi nyuci baju. Tadi baru selesai nyetrika sama ngepel. Ayo masuk Fit," ajak Zahra.
"E, nggak usah. Ya sudah kalau ibu ada di sini. Aku tunggu ibu di rumah saja. Makasih Zahra." Fitri mencoba menutupi rasa terkejutnya. Gadis itu pun segera pamit dengan perasaan campur aduk. Ia berjalan pulang dengan lunglai. Seluruh pikirannya tertuju pada ibunya yang tengah mencuci baju di rumah Bude Kaji.
"Apakah semua itu ibu lakukan demi aku, Bu?" lirih Fitri. Meski pekerjaan itu halal, tapi Fitri tak sampai hati melihat ibunya harus bekerja sekeras itu.
"Maafin Fitri, Bu. Terimakasih kasih banyak atas pengorbananmu." Bulir-bulir bening mengalir semakin deras. Mengiringi langkah Fitri menuju rumah.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: