Headlines
Loading...
Oleh. N.S. Rahayu [Pengamat Sosial]

Jumlah kemiskianan di Indonesia mengalami penurunan di tahun 2022. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka penurunan dari September 2011 hingga akhir tahun 2022.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 menurun dibanding September 2021. Perkotaan turun sebanyak 0,04 juta orang (dari 11,86 juta orang pada September 2021 menjadi 11,82 juta orang pada Maret 2022). Pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan turun sebanyak 0,30 juta orang (dari 14,64 juta orang pada September 2021 menjadi 14,34 juta orang pada Maret 2022  [bps.go.id, 15/7/2022].

Penurunan jumlah kemiskinan ini juga mempengaruhi ratio penurunan jumlah kemiskinan di wiayah. Salah satunya adalah kota Madiun. Dari data BPS kota Madiun, Kota Madiun mengalami penurunan jumlah kemiskinan dari tahun ke tahun. Hasil ini dari survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan pada Maret dan November lalu, warga miskin di Kota Pendekar tersisa sekitar 8 ribu jiwa [radarmadiun.jawapos.com, 11/12/22].

Jumlah penurunan ini didapat dari menghitung batas penghasilan orang miskin. BPS membuat ketetapan bahwa garis kemiskinan pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan. Artinya mereka yang punya penghasilan atau membelanjakan uang per kapita per bulan di atas garis kemiskinan tersebut, di anggap kaya sehingga tidak masuk kategori orang miskin.

Batas Ketetapan yang Tidak Manusiawi

Jika dihitung pengeluaran tiap individu sehari-hari di tambah dengan jumlah tanggungan yang dinafkahi seorang kepala keluarga, maka batas ketetapan minimum Rp506.000 di anggap mampu, maka ini sangatlah tidak manusiawi.

Rendahnya standar kemiskinan dengan penghasilan Rp506.000 tidak lazim. Coba saja  dibawa belanja ke Mall, hanya akan mendapatkan satu kresek berisi bahan sembako yang tidak cukup untuk konsumsi satu bulan untuk satu orang. Padahal mereka punya keluarga yang ditanggungnya. Bagaimana dengan kebutuhan lainnya yang juga banyak ragamnya.

Di sisi lain masyarakat menghadapi masalah perekonomian yang pelik tanpa ada solusi. BBM mahal, otomatis semua kebutuhan untuk hajat hidup juga ikut naik, inflasi tak terelakan di depan mata, cari kerja sulit. 

Secara logika masyarakat berpenghasilan Rp 600.00 pun sangat kesusahan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Maka jumlah masyarakat miskin tergantung pada standart kemiskinan itu sendiri, sehingga tidak bisa dijadikan patokan. Masih banyak diantara mereka yang terhimpit kemiskinan, dimana apa yang akan di makan saja belum terpegang. 

Maka jumlah kemiskinan yang turun bukan data riil dalam kehidupan nyata. Hal ini patut menjadi bahan koreksi, agar Indonesia menjadi negara yang makin maju tingkat kesejahteraannya, menginggat SDA nya dimana-mana, bukan justru makin merosot seperti saat Kesejahteraan masih jauh panggang dari api, karena belum dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat sehingga sudah lazim ketika rakyat mengingginkan kehidupan yang sejahtera. Dan sudah terbukti sistem kapitalisme tidak mampu menyelesaikan kemiskinan, justru makin parah.

Harapan baru pada sistem Islam
Islam adalah agama ruhiyah dan siyasiyah [mengatur] urusan umat. Sistem Islam mengatur urusan kehidupan dengan hukum Allah Swt. semata. Dialah yang telah menciptakan segala sesuatu sekaligus mengaturnya. 

Di dalam Islam kemiskinan tidak diukur berdasarkan nilai rupiah, namun diukur atas kemampuan per individu dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, apakah kebutuhan gizi tercukupi? Apakah mereka bisa bersekolah semua? Di sinilah sistem Islam [negara] wajib memastikan bahwa setiap individu terpenuhi kebutuhan mendasarnya berupa pangan, sandang dan papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. 


Kebutuhan dasar warga negara itu menjadi pengurusan dan tanggung jawab pemimpin (kholifah). Islam menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut secara mudah dan merata [tanpa membedakan agama] selama menjadi warga negaranya.

Rasulullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Bagaimana kebutuhan itu tercukupi? Maka negera Islam [khil4f4h] wajib memberikan [menciptakan] lapangan pekerjaan dan memberi modal usaha, sehingga ada nafkah bagi laki-laki untuk keluarga. Memastikan bahwa distribusi kekayaan tidak dimiliki oleh segelintir orang. Dengan seperti itu masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sebagai contoh; saat di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong miskin. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara [subsidi].

Juga ada Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab yang biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal sehingga kebutuhan mereka tercukupi.

Melihat fakta yang berbanding terbalik dengan kapitalis saat, kita perlu banyak belajar dan membaca sejarah bagaimana ketika sistem Islam memimpin dunia selama kurun waktu yang lama yaitu 1.300 tahun. Maka akan didapati kemaslahatan dan kesejahteraan secara menyeluruh. 

Seorang peneliti barat (non muslim) Will Durant [seorang sejarawan barat] mengakui akan hal di atas. Bukunya yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, “Para Kh0lifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Kh0lifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”.

Dalam sistem Islam penguasa tidak boleh abai terhadap urusan rakyatnya sekecil apapun itu, karena itu adalah amanah berat dan tanggungjawab yang akan diperhitungkan di hari akhir. Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: