
Oleh. Ana Mujianah
Diana menatap aplikasi berwarna hijau di ponselnya lama. Wanita itu kemudian menscrol chat dari Bu Salma, wali kelas Anida, berulang kali. Keningnya berkerut digelayuti tanya. Wanita berkerudung lebar itu tak percaya bahwa Anida, putrinya yang masih duduk di kelas satu SMP berani berbohong.
"Nunggak dua bulan?" ucapnya lirih dipenuhi teka-teki. Dia merasa tidak pernah telat memberikan uang SPP bulanan kepada Anida. Jika mengingat perilaku putrinya selama ini, rasanya juga tidak mungkin gadis remaja itu berani untuk tidak amanah. Selama ini, Anida selalu jujur, tidak neko-neko. Lalu, tunggakan dua bulan itu? Diana benar-benar kehilangan nalar.
"Assalamu'alaikum Pak," sapa Diana di depan pintu ruang tata usaha. Diana memutuskan untuk konfirmasi langsung ke bagian bendahara di sekolah Anida.
"Wa'alaikumsalam, Bund. Ada yang bisa dibantu?" jawab seseorang di ruangan tersebut dengan ramah. "Mari silakan masuk," sambutnya mempersilakan Diana masuk.
"Saya ingin ketemu Pak Dedi, bendahara, apakah beliau ada?" tanya Diana karena memang belum hafal wajah-wajah guru dan karyawan di SMP-nya Anida.
"Hadir, Bu. Ada yang bisa dibantu?" sahut Pak Dedi mengagetkan Diana, lantaran Pak Dedi berteriak lantang tepat di depan Diana. Kebetulan meja Pak Dedi paling depan.
"Saya mau konfirmasi soal pembayaran SPP Anisa kelas 7.1, Pak. Kemaren dapat pemberitahuan bahwa Anida sudah dua bulan ini nunggak bayaran. Padahal, setiap bulan saya tidak pernah telat memberikan uang bayaran SPP-nya," jelas Diana tentang maksud kedatangannya.
"Mohon maaf sebelumnya, dicatatan keuangan, Anida memang belum bayar SPP dua bulan ini, Bu. Kartunya juga nggak ada." Pak Dedi memandang ke arah Diana serius untuk meyakinkan wanita itu.
"Coba ibu cek dulu ke Anida. Jangan-jangan uangnya nyelip di tas lupa dibayarkan," saran Pak Dedi berusaha khusnuzon.
"Baik, Pak. Terimakasih banyak penjelasannya dan mohon maaf sudah mengganggu." Diana pun pamit dengan pertanyaan menumpuk di kepala.
**
Menjelang Magrib Anida baru sampai rumah. Dengan wajah letih, remaja itu mengucap salam kemudian masuk. Seperti biasa dia akan mencari bundanya terlebih dahulu sebelum naik ke lantai atas menuju kamarnya.
"Assalamu'alaikum, Bund," ucapnya lesu sambil menyalami tangan sang bunda.
"Waa'alaikumsalam, sayang. Nida darimana kok baru pulang?" tanya wanita cantik itu lembut.
"E-e dari rumah temen, Bund," jawab Anida agak ragu. Diana langsung menangkap gelagat aneh putrinya itu. Apalagi Anida tadi tidak izin terlebih dahulu.
"Kerja kelompok?" balas Diana membuat Anida sedikit gelagapan. Gadis itu menggeleng pelan sambil menunduk.
"Anida ... sini duduk dulu." Diana mengajak putrinya duduk di sofa ruang tengah.
"Jujur sama Bunda, Nida sebenarnya pergi kemana?" Anida langsung mendongak mendapat pertanyaan seperti itu dari bundanya. Remaja itu tahu kalau bundanya mulai curiga.
"Sebenarnya ... Nida tadi pergi ke Bongkaran, Bund." Mendengar nama Bongkaran, mata Diana langsung membulat sempurna. Bayangan pengemis dan pengamen jalanan liar langsung membuatnya cemas.
"Kakak nggak kenapa-kenapa, kan? Nida baik-baik saja, kan?" Diana memberondong putrinya dengan pertanyaan beruntun.
"Apaan sih Bund. Nida nggak papa."
"Terus ngapain Kakak ke Bongkaran?"
"Jadi ... waktu itu, pas Nida pulang sekolah, di terminal Nida lihat adek kecil seumuran adek Alvaro gitu lagi nangis. Nida kasian. Ternyata uang ngamen adek itu diambil sama preman terminal, dan dia nggak berani pulang. Terus ... Nida anterin pulang. Ternyata, di rumah, ibunya sakit. Kasian Bund." Diana mendengarkan serius cerita putrinya.
"Hubungannya dengan Kakak pulang telat hari ini?" tanya Diana lagi.
"Tadi, pulang sekolah Nida ke sana lagi, jenguk ibunya si adek itu. Tapi ibunya sekarang sudah mulai sehat. Jadinya ibunya bisa kerja lagi." Wajah Anida berbinar, membuat Diana berusaha khusnuzon bahwa putrinya berkata jujur.
"Lalu, uang SPP dua bulan ini?" selidik Diana. Anida kembali terbelalak.
"E-e uang itu, uang itu, Nida kasih buat beli obat ibunya si adek yang di Bongkaran itu, Bund," jelas Anida takut-takut.
"Tapi, Nida janji, Bund. Nida akan ganti pake uang jajan Nida. Nanti, Nida bawa bekel aja ke sekolah, uang jajannya buat nyicil bayar SPP," lanjutnya. Kelegaan terpancar dari wajah cantik Diana. Meski ternyata uang SPP itu tidak sampai ke sekolah, setidaknya uang itu tidak dipakai untuk hal-hal yang buruk. Diana hanya bisa menggeleng pelan.
"Nida, menolong orang yang kesusahan itu memang perbuatan baik, Nak. Tapi caranya juga harus baik dan benar. Nggak boleh berbohong pake uang SPP tanpa izin Bunda. Karena amal perbuatan yang akan diterima Allah itu, selain ikhlas, juga harus benar sesuai tuntunannya Allah." Anida manggut-manggut mendengar penjelasan bundanya.
"Iya, Bund. Maafin Nida. Nida janji nggak akan ngulangi lagi.
"Ngomong-ngomong, kenapa Nida tiba-tiba kepikiran pake yang SPP untuk beliin obat ibu itu?" selidik Diana.
"Karena Nida ingin seperti Bunda, yang selalu ringan kalau nolong orang nggak perlu mikir lama," pungkas Anida singkat membuat Diana tak bisa berkata-kata.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: