
Oleh. Firda Umayah
"Ikam handak kemana?" tanya seorang ibu paruh baya.
Nampak pemuda berbaju hem putih dan celana panjang hitam telah rapi dan siap berangkat. Diciumnya kedua tangan perempuan usia 50 tahun itu yang tak lain adalah ibunya.
"Ikam handak kemana? Mamak sudah buatkan ikan haruan asam kesukaan Ikam," rayu sang ibu kepada anak usia 20 tahun semata wayangnya.
"Ulun tulak, Mak. Assalamualaikum," ucap pemuda bernama Bagus itu.
Bagus segera bergegas menuju Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada di Kota Banjarmasin itu. Ia sengaja tak memberitahu ibunya sebab ia masih dalam tahap tes seleksi.
Setibanya di BLK, Bagus harus bersaing dengan puluhan orang dan mengikuti serangkaian ujian. Mulai dari ujian tulis, wawancara dan psikologi. Semua itu ia lakukan agar bisa lolos mengikuti pelatihan servis sepeda motor injeksi secara gratis.
Tes tulis dan wawancara telah ia lakukan. Kini tinggal satu langkah lagi yakni psikotes. Seorang penguji menyodorkan lembaran kertas kosong kepada setiap peserta tes. Kala itu, Bagus berada di salah satu ruang dengan empat puluh orang lainnya.
Seorang penguji menyebutkan bahwa ia akan menampilkan sebuah kata yang akan muncul pada layar proyektor. Setelah kata itu muncul, semua peserta harus menuliskan apa yang akan ia lakukan kepada kata yang muncul nanti.
Semua peserta tegang. Begitu juga dengan Bagus. Inilah harapan terakhirnya. Ia berharap lolos karena ia ingin sekali bisa membuka bengkel sendiri tanpa harus menempuh pendidikan tinggi di bidang otomotif. Ia ingin memberikan kejutan pada ibunya jika ia lolos nanti.
Sebuah kata akhirnya muncul dalam proyektor. Semua mata peserta tes terbelalak. Sebagian lantas tertunduk dan termenung. Mereka bingung akan menuliskan apa.
Begitu juga dengan Bagus. Ia teringat akan hal yang ia lupakan pagi itu. Ia lantas meninggalkan ruangan meninggalkan kertas kosong yang ada di atas mejanya.
Bagus berlari ke area parkir lalu menjalankan motor bebeknya dan bergegas pulang. Ia menuju Landasan Ulin tempat tinggalnya. Sepanjang perjalanan, pikirannya kacau.
Ia teringat akan ibunya yang belum sempat ia mintai doa saat ia akan menjalani tes tadi pagi. Ia juga teringat akan haruan asam yang belum sempat ia cicipi.
Bagus segera menurunkan kecepatan motornya saat memasuki desa tempat tinggalnya. Sebelum ia sampai di rumah, telah nampak warga ramai seperti sedang hadir ke sebuah rumah. Karena ramainya warga, Bagus memarkir motornya dan berjalan kaki menyisir warga yang memadati jalan.
Alangkah terkejutnya, Bagus. Melihat warga telah ramai berkumpul di teras dan halaman rumahnya. Bahkan ia melihat bendera kuning telah tertancap di palang pintu rumahnya.
"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un. Nak Bagus, yang sabar ya," ucap Pak Arif kepala desa setempat.
Bagus hanya bisa duduk lemas melihat ibunya telah berselimut kain batik yang khas. Bagus menangis sejadi-jadinya. Ia tak mengira bahwa pagi tadi adalah saat terakhir ia melihat wajah ibunya.
Pak Arif menceritakan bahwa ibunya meninggal setelah terpeleset di kamar mandi saat hendak mencuci piring. Kepalanya terbentur salah satu sudut gawang pintu yang terbuat dari kayu ulin.
Bagus menyesal sebab ia tak membuat ibunya tersenyum pagi itu. Ia juga menyesali mengapa ia tak menjawab dan meminta doa restu kepada ibunya itu. Kini, Bagus hanya dapat mengirimkan doa untuk ibunya tercinta. Ibu yang turut menyusul ayahnya yang telah pulang ke rahmatullah tiga tahun yang lalu.
"Maafkan ulun, Mamak, Bapak," ucap Bagus saat berada di pemakaman ibu dan ayahnya itu.
Keterangan:
Ikam = kamu
Handak = hendak
Ulun = saya
Tulak = pergi
Baca juga:

0 Comments: