
Oleh. Ana Mujianah
Sarah menghentikan langkah di depan pintu ketika tak sengaja mendengar suara ibunya sedang mengobrol dengan Mbok Darmi. Dia urung masuk rumah. Tak berniat menguping, tapi karena namanya disebut-sebut, gadis itu pun penasaran.
"Aku bingung sama Sarah, Mbok. Umurnya sudah mau kepala tiga. Dijodohkan dengan Hasan nggak mau, sama si Rian nggak cocok," curhat wanita 50 tahun itu. Meskipun ia terlihat biasa dan tenang, raut sedihnya tak bisa berbohong.
"Belum lagi, setiap ke warung selalu ditanya tetangga, 'kok Sarah belum nikah-nikah?' Padahal kan cantik, sudah mapan. Mungkin dia terlalu banyak memilih. Hati ibu mana yang tidak teriris, Mbok?" Sarah masih mematung di depan pintu. Dengan jelas dia bisa mendengar curhatan hati ibunya. Gadis itu menggigit ujung telunjuknya sambil melamun, mencoba memahami apa yang dirasakan sang ibu.
"Nggak usah dengarkan kata orang, Bu. Neng Sarah gadis yang baik, nggak pernah neko-neko. Jodohnya Neng Sarah mungkin lagi OTW," canda Mbok Darmi menirukan bahasa gaul anak muda masa kini untuk menghibur majikannya.
"Mudah-mudahan aja ya, Mbok," sahut Bu Mansur penuh harap.
"Assalamu'alaikum," sapa Sarah pelan. Dua wanita yang sedang berbincang menoleh ke arah sumber suara.
"Wa 'alaikum salam," sahut mereka hampir bersamaan. Sarah menghampiri dua wanita itu kemudian menyalaminya bergantian. Meski Mbok Darmi bukan kerabat, Sarah sangat menghormati wanita yang telah mengasuhnya sejak masih bayi itu.
Mbok Darmi bangkit dari kursi jati yang ia duduki. "Neng Sarah mau dibikinin teh hangat?" tawar Mbok Darmi. Sarah hanya menggeleng. Selera makannya hilang memikirkan obrolan ibunya beberapa menit lalu.
"Ibu kok belum tidur?" Sarah bergeser ke belakang ibunya lalu memijit-mijit bahu wanita itu pelan.
"Sar, kamu inget Al Ghifari putrane Bu Ghani nggak?" tanya Bu Mansur mengalihkan pertanyaan Sarah.
"Inget. Al Ghifari temen Sarah waktu SD dulu kan, Bu? Yang suka 'nyamperin' Sarah kalau berangkat sekolah?" Sarah menarik kursi di samping ibunya kemudian duduk di dekat wanita itu. Ia menanti kejutan apa lagi yang ingin disampaikan ibunya.
"Iya, Si Al yang anaknya pendiam."
"Kenapa emang dengan Al, Bu?" Sarah bersiap, memasang telinga dan menyiapkan jawaban, jika pertanyaan ibunya masih sama dengan sebelumnya, yaitu seputar perjodohan.
"Sebulan lalu Al Ghifari baru pulang dari Mesir. Dia mau meneruskan amanah bapaknya, Haji Ghani untuk membuka sekolah tahfiz di gedung Yayasan Al Barkah."
"Terus?"
Sarah berusaha setenang mungkin. Dalam hati sebenarnya ia tak sabar. Apa hubungan Al Ghifari dengannya? Mengapa juga sang ibu tiba-tiba cerita soal Al?
"Waktu arisan RT, Bu Ghani nanyain kamu. Apa sudah punya calon atau belum? Bu Ghani mau jodohin kamu sama Al Ghifari, Sar." Dugaan Sarah kali ini tidak meleset. Namun, belajar dari pengalaman, Sarah tidak bersikap reaktif menanggapi apa yang disampaikan ibunya soal perjodohan itu.
Sarah menarik napas dalam-dalam, kemudian memegang tangan ibunya. "Bu, Sarah nggak kenal banget sama Al Ghifari, meski dulu waktu SD kami sering berangkat dan pulang sekolah bareng. Beri Sarah waktu ya, Bu." Sarah menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Biarkan Sarah istikharah dulu," pungkasnya.
"Terserah kamu. Ibu hanya ingin yang terbaik buatmu. Ibu selalu mendoakan Sarah setiap malam, agar putri ibu ini mendapatkan jodoh suami yang baik, yang bisa menjadi pemimpin dalam keluarga," jawaban sang ibu membuat Sarah tidak enak hati. Karena urusan jodoh, dia sering membuat ibunya bersedih.
"Tapi, jangan lama-lama kalau istikharah, Nduk. Kali ini Ibu yakin, kalau Nak Al ini laki-laki yang baik dan bertanggung jawab." Sarah hanya mengangguk. "Iya, Bu. Semoga Allah memberikan petunjuk buat Sarah."
**
Dua hari setelah perbincangan dengan ibunya malam itu, Sarah diminta sang ibu mengantarkannya ke pasar buat persiapan arisan RT. Untuk menghemat waktu, Sarah membonceng ibunya dengan motor matik hitam kesayangannya. Jika naik angkutan umum, waktu bisa habis berjam-jam di jalan.
"Apalagi yang mau dibeli, Bu?" tanya Sarah. "Kayaknya cukup, Sar," jawab wanita paruh baya yang kepayahan menenteng satu tas besar belanjaan itu. "Sini, biar Sarah aja yang bawa, Bu." Sarah tidak tega melihat ibunya keberatan membawa belanjaan, meski dua tangannya sudah penuh tentengan. Namun, Bu Mansur kekeh membawanya karena melihat Sarah juga kerepotan.
"Nggak usah, ibu masih bisa. Kamu bawaannya sudah banyak," sahut sang ibu.
"Kalau gitu, ibu tunggu aja di sini, Sarah naruh ini dulu di motor, ntar Sarah balik lagi." Karena lelah, Bu Mansur pun mengalah.
"Ini Mbak belanjaannya." Sarah langsung menghentikan aktivitasnya mendengar suara yang tak asing di telinganya. Sekian lama tak bersua, ternyata ia masih mengenalinya. Gadis berkerudung biru itu langsung berbalik.
"Al Ghifari? Kok ...?" Sarah dan Al Ghifari sama-sama terkejut.
"Ibuku mana?" Sarah celingukan campur heran mengapa belanjaan ibunya ada pada pemuda itu.
"Ibu kamu di sana. Tadi aku lihat beliau memijit-mijit kakinya, jadi aku suruh duduk dulu di kios buah."
"Belanjaannya banyak banget. Sini, biar aku bantu bawain. Nanti kamu jatuh kalau sambil bonceng ibu kamu."
Sarah hanya mematung melihat Al Ghifari dengan cekatan memindahkan belanjaan itu ke motornya. Kemudian berlari menyusul Bu Mansur yang kelelahan di tengah pasar. Karena kaget, Sarah hanya terbengong-bengong melihat pemuda itu menuntun ibunya yang tertatih karena sempat kakinya kram tadi. Beruntung bertemu Al Ghifari.
Sesampai di rumah, Sarah masih terpaku mengingat kejadian di pasar. "Mengapa bisa kebetulan,.." batinnya. Sesaat kemudian, terlukis rona merah di pipinya. "Mungkin ini petunjuk istikharahku dan jawaban doa tulus ibu," lirihnya sambil berjalan masuk rumah karena sang ibu sudah memanggil-manggil dari tadi.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: