Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fitrinugraheni

“Kamu itu kenapa, Mas? Tiba-tiba marah kayak gitu?” Wati terheran-heran dengan sikap suaminya yang datang uring-uringan, di depan anak bungsu mereka pula. 

“Halah, kamu jangan sok 'innocent' gitu, Wat! Kamu ada main kan sama Feri?” 

“Yaa Allah, istighfar, kamu, Mas! Maaf, ya, Mas, bukannya kamu yang memang sudah terbukti ada main dengan Erni?”

Dan, “Plaak!!” Sebuah tamparan mendarat di pipi Wati. Tepat di depan anak kedua mereka, Doni. 

“Ibuuuu ...!! Huhuhu ....” Doni histeris melihat pertengkaran ayah ibunya, erat ia mendekap ibunya. 

“Yaa Allah, ampuni hamba ...” Lirih Wati berucap, sakit hatinya melebihi perih di pipinya karena ditampar oleh Adi, suaminya. Sakit karena ia dituduh selingkuh, dan karena anak bungsunya harus menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Sedangkan Adi, ia segera berlalu pergi setelah bertengkar hebat dan menampar Wati.
_______

Seminggu berlalu setelah kejadian sore itu. Temaram senja masih menyisakan semburat rona jingga di langit barat. Wati dan kedua anaknya sedang duduk di teras depan rumah, kala sebuah motor melaju masuk ke halaman rumah mereka. Motor yang tak dia kenali, namun, dikendarai oleh orang yang sangat ia pahami. Adi, suami Wati tampak turun dari motor 'matic' hitam itu. 

“Ayaaah ... “ Malika, anak pertama Wati dan Adi yang berusia 10 tahun, berlari menuju ayahnya. Sementara, Doni anak kedua mereka merapat ke dekapan Wati, ibunya. Doni seperti merasa trauma dengan ayahnya, sikap Doni memang Wati rasakan sedikit berubah, ia menjadi lebih pendiam setelah kejadian pertengkarannya dengan Adi.  

“Ayah, kerjaannya sudah selesai? Kok lama baru pulang, Yah?” celoteh riang Malika, menyambut kedatangan ayahnya yang sudah seminggu tak pulang. 

Dan Wati terpaksa berbohong kepada kedua anaknya, bahwa ayahnya sedang bekerja di luar kota, jadi beberapa hari tidak pulang. Wati melakukan itu untuk menutupi masalah yang sesungguhnya. Padahal, dia tahu jika suaminya tidur di rumah mertuanya. Adik ipar Wati yang mengabarinya. 

“Iya, Mbak. Mbak Malika sama Dek Doni masuk dulu, ya. Ayah sama ibuk mau ngobrol dulu.”

“Iya, Yah.”

“Nih! Tanda tangan di sini dan tunggu surat panggilan sidangnya!” Suara ketus Doni membuka percakapan dengan istrinya, sembari menyodorkan stopmap merah ke Wati dengan raut muka dingin. 

"Apa ini, Mas?" Wati bertanya sembari membuka stopmap yang diserahkan suaminya. 

"Astaghfirullah, Mas. Kamu?" Wati terisak, tak lagi mampu berkata-kata. 

"Apa tidak bisa kita obrolin dulu baik-baik, Mas?" 

"Tidak! Keputusanku sudah bulat, aku sudah tidak tahan sama kamu, cepat tanda tangan!" nada suara Adi mulai meninggi, Wati segera mengambil pulpen yang disodorkan Adi, dan terpaksa menandatangani berkas itu. 

Sementara Adi, segera pergi lagi setelah mengambil berkas yang telah ditandatangani Wati. Bahkan, tanpa berpamitan kepada dua anaknya. 

Sebuah surat gugatan cerai telah diajukan oleh Adi. Senja ini begitu kelabu bagi Wati, ia terduduk lesu di kursi teras depan rumahnya. Sama sekali tak pernah terbayang dalam hidupnya, ia akan digugat cerai oleh Adi, suaminya.

Sudah sekitar enam bulan terakhir ini, ia memang sering bertengkar dengan suaminya, hal-hal sepele saja bisa membuat Adi marah. Puncaknya, sekitar sepuluh hari yang lalu, saat tak sengaja Wati membaca pesan masuk di WA suaminya. Terbaca sepintas sebuah pesan dari pengirim yang hanya tertulis inisial ES, yang membuat dadanya bergemuruh.

[Sayang, nanti jangan lupa mampir ke rumah ya ... aku kangen. Bapak ibu juga sudah nanyain lagi, kapan kamu mau melamar aku] 

"Deg!"

Emosi Wati terasa sudah di ubun-ubun, dadanya sesak membaca pesan yang baru saja masuk itu. Namun, ia masih berusaha menahan diri, ia ucap istighfar berulang kali. Ia tanyakan pelan-pelan ke Adi, suaminya, terkait pesan masuk tersebut. Wati masih berusaha berbaik sangka, barangkali pesan itu salah alamat. Akan tetapi, bukannya menjelaskan baik-baik, Adi justru marah karena merasa Wati lancang membaca pesan masuk di ponselnya. 

Kumandang azan maghrib membuyarkan lamunan Wati. Ia mengusap sisa air mata di pipinya dan segera masuk ke rumah. Ia ajak kedua anaknya salat Maghrib berjamaah. Ia tumpahkan segala rasa hatinya kepada Rabbnya. Seperti memahami perasaan ibunya, Malika dan Doni tak banyak bertanya. 

Usai salat Maghrib bersama ibunya, mereka segera beranjak mengambil buku iqro' masing-masing, kemudian murajaah berdua di ruang tengah, mengulang pembelajaran ngaji mereka sore tadi. 
______

Tak terasa sudah setahun berlalu, Wati menjalani hari-harinya hanya bertiga dengan dengan kedua anaknya. Setiap hari usai menyelesaikan pekerjaan rumah, Wati keliling ke sekolah-sekolah dasar, berjualan cilok kuah, untuk menghidupi kedua anaknya. 

Adi, mantan suaminya, tak ada kabar beritanya setelah mereka resmi bercerai. Bahkan sekadar menengok anak-anaknya pun tidak dilakukannya. Terakhir, Wati mendengar cerita dari mantan bapak mertuanya, bahwa Adi sudah menikah lagi dengan Erni, tepat satu bulan setelah Wati dan Adi resmi bercerai. Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. 

Fokus Wati saat ini adalah mendidik anak-anaknya, juga berikhtiar mencari nafkah untuk mereka. Wati berharap agar  mantan suaminya membantu untuk menafkahi anak-anak mereka. Namun, harapan itu hanya akan membuat hati kecewa. Memang seperti itu adanya, jika kita terlalu berharap pada manusia.

Bersyukur, beberapa bulan belakangan ini, Wati aktif mengikuti kajian di harakah Islam yang memperjuangkan Islam kafah. Dirinya menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi setiap episode kehidupan yang ia lalui. Baik dalam menyikapi konsep rezeki dari Allah, maupun dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. 

Aktivitas berjualan kelilingnya sekarang bukan hanya demi menjemput rezeki dari Allah, tapi juga sebagai wasilah berinteraksi dengan umat, demi tersebarnya opini Islam di tengah umat. Kini ia mulai paham, bahwa masalah hidupnya ternyata juga salah satu dampak dari penerapan sistem batil di tengah umat manusia. 

Cilacap, 3 Desember 2022

Baca juga:

0 Comments: