Oleh. Choirin Fitri
Angin berhembus manja. Membelai lembut pipi gadis yang membalut tubuhnya dengan jaket abu-abu. Topi jaket ia rapatkan sembari menatap kanan kiri. Ia berharap laki-laki yang dinantinya segera datang.
Sebuah motor bebek warna hitam berhenti tepat di depannya. Laki-laki berkaos biru turun dengan senyum mengembang.
Perempuan itu hanya menunduk saat sebuah pelukan mendarat di tubuhnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Ada rasa yang sulit ia ungkapkan.
"Tumben kamu ngajak ketemuan selain malam Minggu?"
Suara berat dan tegas terdengar di gendang telinga perempuan yang matanya mulai sembab. Bibirnya masih keluh. Kedua tangan kekar laki-laki itu mengapit wajah manisnya. Menatapnya lekat.
"Aku hamil, Rey."
"Hamil?" Mata elang laki-laki itu melotot. Kedua tangannya sontak menghempaskan wajah perempuan yang kini air matanya tak lagi bisa dibendung.
"Kamu hamil sama siapa, Ran? Enggak mungkin sama aku kan? Kita cuma ngelakuinnya sekali lho. Itu pun karena aku.... khilaf."
Ucapan laki-laki di hadapannya bagai air garam yang disiramkan ke sayatan luka. Perih terasa di dada perempuan yang tanpa aba-aba melayangkan tamparan di pipi orang yang dicintainya. Ia benar-benar sakit hati.
"Kamu anggap apa aku selama ini? Aku bukan wanita jalang, Rey. Aku sayang kamu. Janin yang ada dalam rahimku ini bukan anak orang lain, tapi kamu."
Laki-laki berambut cepak itu mengacak-acak rambutnya. Ia benar-benar tak habis pikir. Setan yang membisikkan pikiran jahat padanya sebulan lalu ketika mengantar pulang kekasihnya di tengah guyuran hujan lebat kini sedang menertawakannya. Ia benar-benar tak siap jika harus diminta bertanggung jawab saat ini.
"Gugurkan saja!"
Solusi itu tiba-tiba saja keluar dari lisan laki-laki yang mulai menjauhi kekasihnya.
"Nanti aku transfer ke rekeningmu uang yang kamu butuhkan untuk menghilangkan jejak malam itu," ucap laki-laki berparas tampan itu menaiki motornya.
"Aku enggak siap bertanggung jawab. Bulan depan aku harus terbang kuliah di Inggris sesuai maunya papa."
Motor ninja dihidupkan. Perempuan yang duduk bersandar di batang pohon mangga sembari duduk mengapit kedua lututnya hanya bisa menatap kepergian laki-laki itu. Ia kehabisan kata-kata. Lidahnya tercekat. Air matanya menganak sungai.
* * *
"Mbak Vit, itu kok kayak ada manusia yang mengapung ya?"
"Mana, Dek?"
"Itu, Mbak. Ayo kita ke sana!"
"Ya Allah, kamu benar Dek, ayo kita bantu!"
Dua gadis beda usia menemukan seorang perempuan berjaket abu-abu. Mereka segera membopong tubuh yang terkulai lemas ke pinggiran sungai. Vita dengan gerakan cepat mendeteksi bernyawa atau tidaknya perempuan yang mereka temukan sesuai latihan di palang merah sekolah.
"Masih hidup, Dek! Alhamdulillah," ucap Vita pada adiknya.
"Gimana nih, Mbak? Apa perlu Sari berteriak minta tolong?"
"Tunggu! Mbak beri pertolongan pertama dulu. Semoga Allah memudahkan!"
Vita segera menekan-nekan dada perempuan yang tak dikenalnya. Ia berharap air yang masuk bisa segera keluar. Ia pun berusaha memberikan nafas bantuan. Berulangkali hingga terdengar suara batuk dan nafas tersengal dari perempuan yang mereka temukan.
"Alhamdulillah, kamu udah siuman," ucap Vita dengan binar bahagia.
"Buat apa kalian menyelamatkanku. Biarkan aku mati saja!"
Perempuan itu meronta. Ia hendak bangkit dan menuju ke sungai lagi. Namun, gagal tubuhnya limbung dan roboh.
* * *
Gadis berwajah ayu tersadar dari tidur panjangnya. Ia menggeliat. Pandangannya ia arahkan ke segala arah. Rumah yang tak dikenali.
Tangannya memegang kepalanya yang terasa pening dan berat. Ia mencoba mereka ulang apa yang terjadi. Hasilnya air mata yang tersimpan rapi, tumpah ruah kembali.
"Mbak Vita, Mbaknya sudah sadar," suara gadis cilik berusia sepuluh tahun menggema.
Seorang perempuan berumur duapuluh tahun datang tergopoh-gopoh. Ia membawa segelas teh hangat.
"Ini diminum dulu," ucap Vita menyodorkan segelas teh hangat yang langsung tandas isinya.
"Makasih! Aku di mana?"
"Ini rumah kami. Kami yang menolong kamu yang tenggelam di sungai dekat rumah kami kemarin."
"Kenapa kalian tidak membiarkanku mati saja?"
"Mbak bunuh diri?" Tanya Sari polos.
"Hush! Udah sana dulu, Dek! Mbak mau bicara dengan Mbaknya. Kamu main dulu ya!"
Sari mengangguk. Dia mengambil kerudung, lalu berlari keluar kamar.
"Nyawa itu berharga. Jangan disia-siakan, Mbak....?"
"Rani."
"Baiklah, aku panggil Rani saja. Sepertinya kita seusia, aku Vita. Oh ya, sebentar aku ambilkan makanan dulu. Pasti kamu lapar," ucap Vita bergegas beranjak ke dapur. Ia kembali dengan membawa setengah piring nasi dan telur mata sapi di atasnya.
"Makanlah! Maaf ya, kami hanya punya ini! Nanti kita ngobrol lagi setelah kamu makan."
Vita meninggalkan kamar. Ia kembali ke dapur menyiapkan adonan pisang goreng. Ia harus segera membuatkan pesanan tetangga untuk pengajian sore ini di rumahnya.
Rani diam membisu. Cacing di perutnya berdendang. Ucapan Vita untuk menghargai hidup seakan menendang-nendang gendang telinganya. Dengan cekatan ia mengambil piring dan memakan isinya hingga tandas.
* * *
"Kalian pernah baca sejarah Fatimah dan Ali pacaran dulu sebelum nikah?" Tanya Vita pada tiga gadis yang duduk melingkar di depannya.
"Ehm, kayaknya enggak pernah deh. Mereka nikah ya, nikah aja, enggak pakai pacaran," jawab si kerudung ungu.
"Halah, sok tahu kamu," ucap si kerudung biru.
"Emang bener, kok. Tanya deh Mbak Vita! Bener enggak, Mbak jawabanku?"
"100," sahut Vita sembari mengacungkan jari jempolnya.
"Nah, tu benerkan jawabanku." Si kerudung ungu cengar-cengir.
"Di pertemuan yang lalu kita udah bahas ya bahwa Allah melarang mendekati zina. Masih ingat surat apa dan ayat berapa?"
"Surah Al-Isra' ayat 32 kan, Mbak," jawab si kerudung hijau.
"Ya, benar. Salah satu hal yang mendekati zina itu adalah pacaran. So, karena pacaran pintu zina, Allah melarangnya."
"Tapi, Mbak, enggak asyik dong kalau enggak punya gebetan. Sepi....," sahut si kerudung biru.
"Ya, sudah boleh deh pacaran, asal ijab sah dulu." Vita tersenyum menatap ketiganya.
"Itu sih nikah, Mbak bukan pacaran."
"Yeeei, tetap aja enggak boleh pacaran."
"Emang kenapa sih enggak boleh, Mbak?"
Ketiga gadis yang masih berstatus SMA saling menanggapi.
"Ingat ya pacaran itu salah satu pintu zina. Ada dosa di dalamnya. Selain itu ada efek domino dari zina ini. Biasanya akan menimbulkan dosa lanjutan. Misalnya aborsi, ini juga dosa besar karena Allah melarang membunuh anak. Kalau enggak gitu bunuh diri, ini pun dosa besar. Atau, dia nikah saat hamil, meski anaknya hasil zina dari yang menikahinya, kalau perempuan kasian banget. Enggak dapat hak wali dan waris dari bapak biologisnya."
"Idih, serem banget," seloroh si kerudung biru.
"Makanya buruan nikah! Jangan pacaran mulu," ucap si kerudung ungu sambil memukul punggung temannya.
Ketiga gadis itu riuh rendah menanggapi. Saling balas memukul dan meledek. Vita sampai dibuat geleng-geleng kepala melihat ketiganya.
Rani tergugu. Sejak tadi ia tak bisa memejamkan mata. Saat hendak keluar kamar, ia menyaksikan Vita dan tiga gadis yang tak ia kenal sedang berbincang. Ia urung.
Mendengar penuturan Vita hatinya seperti disiram es. Dingin mencekat. Apa yang dikatakan orang yang menolongnya itu benar. Tak ada satu pun yang meleset. Tepat seperti itulah yang ia alami.
Kini, rasa penyesalan itu merajai. Rani mencengkeram perutnya. Ia menyesal. Namun, ia tak tahu harus dari mana memulai memperbaiki semua kesalahannya.
Vita samar-samar suara tangis. Ia baru sadar ada orang lain di rumahnya. Padahal, tadi sebelum ia membuka diskusi, sudah memastikan tamunya tertidur. Ia merasa bersalah. Ia segera mengakhiri forum.
Ketiga gadis yang membuat suasana rumah Vita riuh rendah berpamitan pulang. Cipika-cipiki sambil saling menggoda tetap jadi ritual yang tak bisa ditinggalkan.
Vita membuka kelambu yang menghalangi ruang tamu dan kamar. Ia mendapati Rani yang meringkuk di bawah jendela. Pelan-pelan ia menghampiri gadis yang rapuh itu. Ia memeluknya hangat.
"Menangislah! Paling tidak bebanmu akan sedikit berkurang dengan menangis!"
Rani benar-benar menangis dalam pelukan Vita. Ia menumpahkan segala resah gelisah yang bergelayutan di benaknya.
"Ajari aku memperbaiki diri," ucap Rani tulus.
Baca juga:

0 Comments: