
Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa Part 3 (Keluyuran)
Oleh: Muflihah S.Leha
Hari Minggu yang cerah, angin sepoi-sepoi mengayunkan pepohonan, langit tampak biru di sertai awan-awan putih yang bergelombang membuat berbagai lukisan.
Aldan duduk di teras menikmati keindahan alam.
Lamunannya jauh melihat burung-burung yang beterbangan disertai kicauan.
Dika keluar menghampiri Aldan yang sedang duduk di teras.
Ia memakai sarung yang masih kedodoran.
"Lu baru bangun apa Dik," sapa Alda dengan raut wajah menyimpan kegalauan.
"Bangun..., baru saja mau duduk nih." cletuk Dika yang senang bercanda.
"Dasar anak menyebalkan," sahut Aldan membuang wajahnya disertai lirikan.
"Hari Minggu kok bete, main yuk," ajak Dika.
"Main ke mana?," tanya Aldan.
"Ke lapangan Gor,"
"Jauh tau," pungkas Aldan.
Rama mendekat membawa kenclungnya. Ia duduk di samping Dika yang sedang memikirkan sesuatu.
Aldan merebut kenclung yang di pegang Rama.
"Coba aku main," pinta Aldan.
Epan datang dengan motor maticnya, ikut nimbrung bernyanyi bersama.
Mereka bernyanyi diiringi kenclung yang dipetik Aldan.
Terdengar suara ponsel mereka berbunyi secara bersamaan, karena pesan ada di group yang mereka bikin.
"Kesini bro asyik,"
Terbaca chat di bawah gambar yang sedang duduk di atas truk.
"Foto siapa?" tanya Dika.
"Belum jelas masih uwer-uwer gak ada sinyal," cetus Aldan.
Agung mengunggah fotonya sedang duduk di truk.
"Asyike,"
"Agung woi! di atas truk, yuk kita susul," pungkas Aldan.
"Ayuk," mereka kompak menyambut ajakan Aldan.
"Bentar aku balas dulu chatnya,"
"Lu ada di mana Gung," tanya Aldan di group.
"Di lampu merah Ajibarang, sini! ramai banyak teman-teman."
"Ya kami segera kesana," chat langsung berubah menjadi centang biru,
"Oke,"
"Yuk," ajak Aldan.
Dika menyambut ajakan itu sembari berdiri dengan sarung yang masih menempel di badannya.
"Ma minta uang," pinta Aldan pada Ibunya yang sedang menyapu.
"Mama gak pegang uang, adanya sapu nih," cetus Maknya.
"Minta Papa ya," pinta Aldan dengan memelas.
Papanya yang mendengar dari bilik jendela menjulurkan tangannya, menyodorkan uang kertas lima ribuan tanpa mengeluarkan suara.
"Pada mau ke mana," tanya Ibunya.
"Main sebentar,"
"Awas loh kalau gak ngaji," ucap Maknya mengancam.
"Iya Leh...."
Mereka mengayunkan kaki menyusuri jalan setapak menuju jalan raya. Suara bising kendaraan mulai terdengar, aroma jalanan menyengat, pertanda sudah sampai di jalan besar.
"Kita bagi tim, ingat tujuan kita berhenti di lampu merah Ajibarang.
Setelah sampai di lampu merah pertama kita berpencar,"
"Oke, oke,"
Sembari duduk-duduk santai di pinggir jalan mereka menyusun rencana dengan matang, mengatur strategi untuk di praktekkan, tak butuh waktu lama dari kejauhan tampak mobil truk yang lewat, mungkin sudah mengantarkan muatan karena semakin dekat terlihat tak ada barang.
Mereka bersiap untuk melompat.
"Woi ada truk lewat " teriak Dika dengan kegirangan.
"Iya bener cuy, asyik,"
"Yuk,"
"Ayuk, Ayuk!"
Farih dan Rama berhenti di depan truk, memaksa supir untuk menghentikan gerak lajunya. Dengan berat hati si sopir truk itu menginjak rem, seketika truk itu terhenti, dengan cepat tangan-tangan mereka bergelantungan meraih pegangan bodi truk yang lumayan tinggi, dengan mudah mereka menaikinya.
Tampak Dika kesulitan, dengan sarung yang di selempangkan ke atas dua pundaknya, berusaha sekuat tenaga meraih pegangan untuk menopang bodinya.
"Woi! tarik, woi!" teriak Dika, yang kesulitan ketika menaiki truk, badannya yang sedikit berisi, dengan postur tubuh lebih pendek membuat Dika kesulitan menaiki badan truk.
Hampir Dika terlempar, namun uluran tangan sahabatnya yang kompak dengan mengerahkan sekuat tenaga, Dika berhasil menghempaskan badannya dan terguling ke dalam truk, senyum puas mengembang di wajah Dika dengan lesung pipi, dengan gigi timunnya yang rapi, dan menggemaskan.
"Aduh," keluh Dika.
"Kenapa lu Dik?," tanya Aldan.
"Sandal jepit saya tinggal satu,"
keluh Dika.
Truk itu melaju dengan pelan, meninggalkan sandal jepit Dika yang tergeletak.
"Duh _my slipper_, selamat tinggal," ucap Dika yang tak bisa meraihnya.
Semua tertawa melihat sandal Dika yang tertinggal.
Tampak terlihat dari kaca spion, anak-anak remaja yang menaiki truknya, supir itu hanya menggelengkan kepala menghela napas.
Namun supir-supir itu sudah paham, hampir setiap hari selalu melihat pemandangan seperti itu.
Duduk di pinggir truk, dengan asyiknya mereka berfoto-foto.
Semakin cepat melaju, andrenalin mereka terpacu, entah apa yang mereka pikirkan, anak muda yang ingin membuang kebosanan, tanpa memikirkan betapa berbahayanya perbuatan mereka.
"Lampu merah hey, siap-siap, ini truk arahnya gak ke Ajibarang, kita harus ganti tumpangan,"
teriak Aldan.
Mereka bersiap-siap untuk melompat.
Hanya beberapa detik, truk berhenti.
"Bisa lompat gak Dik?," tanya Aldan cemas.
"Kalau lompat bisalah," dengan enteng Dika meyakinkan.
Satu persatu mereka lompat.
"Aduh," keluh Dika ketika mendaratkan kakinya,
"Kenapa lagi lu Dik?," tanya Aldan.
"Kakiku terkena kerikil tajam, sandalku tinggal satu," keluh Dika.
"Terus gimana?"
"Sudah gak papa,"
"Ya udah cepetan lampu dah hijau minggir, cepet," pungkas Aldan.
"Kita tunggu tumpangan lagi,"
Dengan cepat mereka minggur ketepi jalan.
Sembari menunggu lampu kembali merah, Aldan memeriksa kaki Dika.
"Liat coba Dik, kakimu berdarah gak?," tanya Aldan.
"Gak berdarah tapi pegelnya minta ampun," sahut Dika.
"Lampu merah hey,"
Semua bersiap-siap untuk naik.
Satu per satu mobil berhenti namun tak ada truk yang lewat.
"Di belakang," semua mengarah ke arah belakang,
"Oiya, yuk,"
Mereka berlari menuju truk tinggi berwarna merah. Kaki yang sakit tak dirasakan olehnya, melihat semua temannya sudah naik masuk truk.
"Ayuk Dik," teriak Epan.
Semua berjibaku menolong Dika.
"Cepetan mobilnya mau jalan," teriak Aldan sembari mengulurkan tangannya.
"Awas sandalnya jangan jatuh lagi," teriak Rama.
Dika berusaha sekuat tenaga, meraih truk yang tingginya lebih dari dua meter itu.
Epan meraih sarung yang hampir terjatuh, dengan rasa puas senyum Dika mengembang.
"Akhirnya..." ucap Epan,
hanya hitungan detik truk melaju dengan kencang.
Ada rasa puas ketika mereka berdiri mengamati pepohonan, kendaraan yang lewat, dan melihat wajah-wajah di depannya.
Tanpa di sadari mereka sampai di lampu merah perempatan besar.
"Kita sudah sampai di Ajibarang, yuk kita turun," pinta Aldan.
Mereka turun melompat dari truk yang tinggi.
Matanya menyapu semua sudut keramaian.
"Yuk kita duduk-duduk saja di sana," pinta Aldan sembari menuju ke arah lapangan.
Bersambung..
Baca juga:

0 Comments: