
Serba-serbi
Partai Politik dalam Sistem Kapitalisme VS Islam
Oleh Yuli Ummu Raihan
Penggiat Literasi
Partai politik (parpol) adalah salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan suatu negeri. Sangat jarang suatu negara tidak memiliki partai politik.
Partai politik menurut Miriam Budiarjo, dalam bukunya "Dasar-Dasar Ilmu Politik" adalah sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Di mana parpol adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Parpol biasanya menjadi kendaraan politik bagi seseorang atau sekelompok orang yang ingin menduduki kursi kekuasaan.
Sementara menurut UU Nomor 2 Tahun 2008, parpol adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia (WNI) secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Parpol dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem demokrasi kapitalisme keberadaan parpol setidaknya memiliki 5 fungsi yaitu:
1. Sebagai sarana sosialisasi atau pendidikan politik yang berperan mentransmisikan budaya politik untuk membentuk sikap dan orientasi anggota masyarakat sebagai warga negara.
2. Sebagai sarana rekruitmen kader politik yang akan menjadi pemimpin negara.
3. Sebagai sarana partisipasi politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan memperngaruhi proses politik.
4. Sebagai sarana komunikasi politik antara rakyat dan pemerintah.
5. Sebagai sarana pengatur konflik dengan menjalin kerja sama di antara elit politik.
Sekilas kelima fungsi parpol ini telihat sangat penting. Namun, fakta hari ini parpol tidak lebih sebagai tunggangan atau batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Parpol juga menjadi kaki tangan para kapitalis untuk memuluskan tujuan mereka.
Keberadaan parpol hari ini juga senantiasa diwarnai intrik dan konflik baik dari internal parpol maupun sesama parpol. Tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Dalam sistem Demokrasi sistem kepartaian ada tiga, yaitu sistem partai tunggal (suatu negara hanya ada satu partai terbesar yang menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat), sistem dwi partai (ada dua partai yang dominan dalam penggapaian suara), dan sistem multi partai (banyak partai).
Indonesia adalah negara yang menganut sistem multi partai sebagaimana tertulis dalam Pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Masing-masing partai biasanya memiliki aturan, ciri, bendera, bahkan slogan tersendiri yang menjadi ciri khasnya.
Dalam sistem demokrasi, sisi finansial sangat berperan penting. Selain untuk biaya operasional, ongkos politik dalam sistem ini juga terbilang mahal. Parpol butuh dana besar untuk kampanye, dan konsolidasi partai terkait pesta demokrasi lima tahunan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan kajian pada 2018-2019 yang menghasilkan data bahwa sebuah kebutuhan dana parpol dalam setahun mencapai Rp.16.992 per suara sah. Dana ini untuk mendukung kinerja parpol dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya.
Sedangkan dana untuk meraih kursi jabatan lebih mahal lagi. Bayangkan untuk menjadi anggota DPR saja dibutuhkan dana sekitar Rp5 miliar. Untuk menjadi kepala daerah tingkat II sekitar Rp20 hingga Rp30 miliar. Apalagi untuk mendapatkan kursi seorang gubernur atau wakilnya butuh dana Rp100 miliar. Bahkan untuk menduduki kursi orang nomor satu di negeri ini, tentu jauh lebih mahal.
Untuk memenuhi kebutuhan dana yang begitu besar sebuah parpol biasanya mendapatkan dana dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan subsidi dari APBN/APBD. Hal ini diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011.
Ketiga sumber pokok ini tentu tidak akan cukup untuk membiayai ongkos politik yang mahal. Maka tidak heran parpol mencari dan mendapatkan sumber dana lain. Korupsi dan deal politik, adalah salah satunya. Sehingga even politik tidak ubahnya seperti ajang pertarungan dan bancakan bagi pemilik modal untuk memuluskan kepentingannya. Para kapitalis bermain di sini baik sebagai sponsor atau terlibat langsung dalam parpol.
Parpol biasanya akan mendekati rakyat jelang pesta demokrasi. Mereka tiba-tiba merakyat, menjadi pendengar keluh kesah rakyat, bahkan tidak sedikit yang bagi-bagi sembako atau produk tertentu untuk menarik simpati rakyat. Semua itu tidak lain untuk mendapatkan dukungan dari rakyat agar mereka memenangkan kontestasi.
Setelah mereka memenangkan kontestasi, mendapatkan kekuasaan, maka rakyat lalu ditinggalkan. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang, sangat menyakitkan. Tapi anehnya masyarakat masih saja tidak sadar dan tetap mau dimanfaatkan setiap kali ajang demokrasi berlangsung. Masyarakat belum sadar mereka hanya menjadi alat untuk memuluskan kepentingan parpol dan para kapitalis.
Begitulah parpol dalam sistem demokrasi kapitalisme yang tidak memberikan keuntungan apa pun bagi rakyat. Keberadaan parpol hanya menjadi alat legitimasi atas semua kezaliman yang terjadi.
Memang tidak semua parpol seperti ini. Namun, keberadaan parpol yang memiliki idealisme tinggi saat ini tidak begitu memiliki pengaruh. Idealisme mereka terpaksa tunduk dan kalah pada pragmatisme. Mereka tidak memiliki power untuk membawa perubahan pada kebaikan negeri. Niat untuk mewarnai, tetapi malah terwarnai oleh kondisi dan realitas perpolitikan yang sangat kejam.
Parpol dalam Pandangan Islam
Berbeda halnya dengan sistem kapitalisme, Islam sebagai ideologi mengatur semua aspek kehidupan termasuk politik. Karena politik dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat.
Parpol dalam Islam bukanlah oposan atau ajang berburu jabatan. Parpol dalam Islam identik dengan upaya turut serta dalam penerapan syariat Islam. Keberadaannya untuk memonitor dan memastikan penerapan syariat Islam berjalan dengan baik, mencegah segala penyimpangan, memuhasabahi penguasa, dan amar makruf nahi mungkar.
Dasar keberadaan parpol dalam Islam adalah firman Allah Swt. dalam QS Ali Imran ayat 104 yang artinya :"Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. "
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum partai politik Islam adalah partai yang berdiri atas dasar akidah Islam, mengadopsi ide-ide, hukum, dan solusi yang Islami, serta metode perjuangannya mengikuti metode perjuangan Nabi Muhammad saw.
Sementara menurut Ziyat Ghazzal, partai politik Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan Islam.
Mendirikan parpol Islam hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya ketika sudah ada di tengah-tengah umat Islam sebuah partai yang menjalankan tugasnya, maka gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Namun, jika tidak ada satu pun partai Islam, maka seluruh umat Islam berdosa. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2019, hal:104).
Dalam Islam keberadaan partai Islam boleh lebih dari satu. Asalkan sesuai dengan ketentuan syariat diantaranya, keanggotaannya haruslah diisi oleh orang Islam. Tidak boleh sebuah partai Islam beranggotakan non-muslim. Asasnya adalah akidah Islam bukan yang lain. Fikrah (pemikiran) dan thoriqah (metode) yang diadopsi adalah Islam.
Misi partai Islam adalah semata untuk melakukan aktivitas politik Islam yaitu mengoreksi penguasa dan boleh memperoleh kekuasaan melalui umat. Semua visi misi partai haruslah Islami. Tidak boleh menyimpang sedikitpun apalagi menghalalkan segala cara.
Partai politik Islam juga tidak akan menggunakan cara-cara kotor seperti yang dilakukan parpol dalam sistem hari ini. Dalam meraih dukungan umat parpol Islam tidak perlu melakukan pencitraan, kampanye dengan menggelar acara-acara berbalut maksiat seperti konser musik, hiburan yang tidak bermanfaat dan melanggar hukum syara'.
Ikatan yang mengikat anggota parpol adalah ikatan mabda'i (ideologis), bukan ikatan kepentingan, nasionalisme, atau yang lainnya. Karena hanya ikatan inilah yang mampu mengikat para anggota agar bertahan dari segala hambatan dan rintangan. Dengan ikatan ini, insya Allah tidak akan ada anggota yang terjebak iming-iming dunia, atau takut dengan berbagai resiko, serta ancaman.
Parpol yang sahih akan terus bergerak, menjalankan visi dan misinya, beramar makruf, dan muhasabah kepada penguasa. Semua dilakukan atas dorongan ketakwaan, bukan dorongan kepentingan untuk memenangkan kontestasi politik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tentulah parpol dalam sistem Islamlah yang kita butuhkan. Sedangkan parpol dalam sistem kapitalisme sekalipun menamakan dirinya parpol Islam, akan tetapi kenyataannya aktivitas partai tidak murni berdasarkan syariat Islam, bahkan tidak jarang melanggar syariat Islam.
Wallahu a'lam bisshawab.
Baca juga:

0 Comments: