
Cerbung
Mata Bening Part 9 (Lezatnya Ilmu Islam)
Penulis: Desi
"Hmmm," jawab Bening.
"Jawabnya gitu iiih, bilang ikut kek," ucap Alifa.
"Iya deh kapan-kapan aku ikut," ujar Bening hanya ingin menyenangkan hati Alifa.
"Jangan kelamaan mikir keburu tua," terdengar suara Alifa sedikit tertawa.
"Iya deh. Udah dulu ya, Put." Bening menyudahi percakapan mereka dan meletakkan handphonenya di atas meja belajar.
Keesokan harinya, Bening menolak untuk diantar naik motor. Dia kembali menggunakan sepeda ontel berwarna hijau tosca dengan keranjang warna senada di depannya.
"Nih, fotokopi pelajaran IPA. Sekalian titip buat Alifa ya, Ning." Denis menyerahkan kertas beberapa lembar kepada Bening, sesaat setelah Bening sampai di dalam kelas.
"Ok. Makasih, Den," ucap Bening.
Denis menghampiri teman-temannya yang sudah hadir di dalam kelas dan menyerahkan lembar-lembar kertas tersebut. Dalam sekejap kertas-kertas itu telah berpindah tangan.
"Besok Ahad kalo kamu bisa ikut kajian, aku jemput, ya," ucap Alifa menawarkan diri setelah beberapa menit dia masuk kelas. Bening merasa heran kenapa Alifa begitu berharap dirinya bisa hadir di kajiannya.
"Memangnya ada apa sih di kajianmu. Kamu kok ngebet banget pengin aku hadir?" tanya Bening penasaran.
"Ya karena aku engga mau menikmati lezatnya ilmu Islam sendirian," ucapan Alifa disambut banyak tanda tanya di kepala Bening.
"Kelezatannya ingin aku bagikan ke semua orang yang aku kenal. Itu harapanku," lanjut Alifa.
"Makanan kali lezat," timpal Bening.
"Lezatnya hidangan, dimakan habis jadi kotoran," ucap Alifa.
"Lezatnya ilmu engga ada batas kenyang. Ilmu yang kita santap siap menjadi pembersih titik-titik noda di pojokan hati kita. Siap menyapu debu-debu pengganggu dalam pikiran kita," Alifa begitu telaten menyisipkan sedikit demi sedikit pemahaman Islam.
"Sehingga, orang-orang yang sudah tersentuh ilmu Islam, akan banyak mengalami perubahan," lanjut Alifa.
"Yang tadinya bodoh jadi pintar. Yang tadinya pelit jadi dermawan dan masih banyak lagi perubahan positif dari orang-orang yang sudah ngaji." Alifa merasa lega bisa lancar bertutur kata tanpa bantahan dari Bening.
"Kamu kayaknya udah pinter banget. Emang sejak kapan kamu ngaji?" tanya Bening yang terusik penasaran.
"Dari kelas 5 SD," jawaban Alifa membuat mata Bening terbelalak.
"Pantesan kamu bisa cerdas gitu," ucap Bening terkagum.
"Fix. Kamu sudah mengakui aku cerdas sebab mengkaji ilmu Islam. Jadi kamu sudah siap hadir?"
Bening merasa terjebak oleh ucapannya sendiri. Kemudian berkata, "Iya deh nanti ikut."
Spontan Alifa memeluk Bening. Lalu melepaskan pelukannya ketika seorang guru memasuki kelasnya. Mereka pun berdoa setelah menjawab salam dan dipersilahkan berdoa oleh Bu Wiwin, guru IPS.
Detik demi detik berlalu, jarum berputar dengan irama yang sama. Menit menyusul pergerakan detik diikuti jam yang melangkah pelan mengekor laju keduanya.
Tak terasa kegiatan belajar mengajar pada hari itu telah selesai. Seperti biasa, Alifa dan Bening akan berjalan berdampingan sampai ke gerbang sekolah.
"Dah," tangan Alifa melambai kemudian melaju kencang berlawanan arah dengan Bening yang harus menyeberangi jalan terlebih dahulu.
Bening berhenti sesaat setelah berada di seberang jalan. Dia melihat Dirga tengah duduk di cafe paling ujung dekat dengan stasiun kereta api, bersama dengan beberapa temannya.
Meski jaraknya puluhan meter dari tempatnya berdiri, tetapi wujud Dirga sangat jelas nampak dalam pandangannya. Bening berfikir sejenak kemudian menggerakkan sepedanya mendekati Dirga.
"Hai, Bening mau kemana," suara yang telah direkam apik dalam memori otaknya itu, kini terdengar memanggil namanya.
Dirga menghampiri Bening yang terlihat memarkirkan sepedanya di depan tempat fotokopian yang berada di seberang jalan cafe tempat ia ngopi bersama teman-temannya.
"Eeh, Kak Dirga lagi ngapain?" tanya Bening seolah tidak melihat Dirga sebelumnya.
"Ini mau pulang tapi diajak ngopi dulu sama temen-temen," jawab Dirga.
Bening mengeluarkan lembaran kertas pemberian Denis tadi pagi. Itu hanya modus saja agar bisa melihat Dirga lebih dekat. Ide untuk memfotokopi ulang kertas itu begitu saja menghampiri pikirannya.
"Gabung yuuk, Ning. Duduk sebentar di cafe, kita ngobrol-ngobrol," ajak Dirga.
"Mau banget," jawabnya dalam hati. "Tapi aku harus jaga image," hatinya kembali berbisik.
"Malu ah, banyak temen-temen Kak Dirga," ucap Bening malu-malu kucing.
Dirga memberi kode pada teman-temannya untuk pergi. Kode itu langsung dimengerti oleh mereka. Seketika teman-teman Dirga bubar sambil melontarkan beberapa kalimat ledekan.
Saat Bening sedang mengeluarkan uang untuk membayar fotokopi, Dirga membawa sepedanya dan diparkirkannya di depan cafe. Bening hanya tersenyum melihat tingkah Dirga.
Bening menyeberangi jalan yang tak ramai kemudian duduk di hadapan Dirga. Sementara Dirga memesan minuman untuk Bening.
"Besok Minggu aku sama temen-temen mau ke Curug. Ikut yuuk!" ajak Dirga.
"Banyak engga yang ikut?" tanya Bening.
"Temen sekelasku hampir ikut semua. Mereka juga banyak yang ngajak temen dari luar sekolah."
"Aku pikir-pikir dulu ya, Kak," ucap Bening.
"Kalo mau nanti aku jemput. Sekalian minta izin sama ortumu."
Bening meminum minuman yang dipesan Dirga. Ia memainkan sedotan untuk mengalihkan gejolak perasaan dalam dadanya. Pandangannya tertuju pada lalu lalang orang-orang yang keluar masuk stasiun kereta api.
Bersambung..
Baca juga:

0 Comments: