Headlines
Loading...

Penulis: Desi

Tak bisa dipungkiri hati Bening berkecamuk menahan beban kebohongan. Perasaan bersalah itu begitu menggelayut menjadi penyesalan mendalam. Kebahagiaan melimpah dari waktu sekian jam yang dihabiskan bersama Dirga tidak mampu menghilangkan rasa berat dalam dada.

Dia merasa telah mengkhianati didikan ayahnya yang menanamkan kejujuran dari kecil. Kepalanya terasa begitu pusing memikirkannya. "Pantas saja Ayah selalu berpesan jadilah anak yang jujur, jangan suka berbohong, ternyata memang hati engga tenang setelah boong," ucapnya dalam hati. 

"Hari ini kamu banyak ngelamun, Ning. Kepikiran kakekmu, ya," suara Alifa membuat Bening gelagapan dalam menjawab. Bening menggelengkan kepala. Dia khawatir jika menjawab akan menambah kebohongan.

"Ke kantin yuk, Ning. Beli bakso," ajak Alifa.

"Hayuu, aku yang traktir," ucap Bening disambut girang oleh Alifa. 

Semangkuk bakso telah tersaji, asap yang mengepul membawa aroma menggiurkan. Membangkitkan selera untuk segera melahapnya.

"Pulang sekolah aku main ke rumahmu ya, Ning," ucap Alifa di sela helaan nafas yang menahan rasa pedas.

"Pliss jangan sekarang, ya," wajah Bening begitu kentara menyembunyikan sesuatu.

"Oh. Ok deh. Kapan-kapan lagi aja aku mampir, ya," ujar Alifa disambut anggukan kepala Bening.

Suasana kantin yang begitu ramai ditambah nikmatnya bakso yang ia santap, sedikit mengurangi bebannya. Terlebih ketika melihat kekocakan teman-temannya dalam bercanda. Mereka tidak pernah kehabisan ide untuk membuat orang lain tertawa.

"Hiii, pewangi kok diminum," ucap salah satu siswa kelas lain ketika melihat temannya membawa minuman berwarna biru langit khas warna pewangi pakaian.

"Salah. Ini spiritus tau," jawaban temannya ini mengundang gelak tawa seisi kantin. Begitupun dengan Bening dan Alifa yang ikut tertawa melihat tingkah konyol mereka.

"Kamu duluan aja ya, Put. Aku mau beli sesuatu dulu buat kakekku," ujar Bening ketika berada di samping gerbang sekolah.

"Ya udah. Kamu ati-ati ya, Ning. Salam buat kakek," ucap Alifa yang siap melaju dengan sepeda ontelnya.

Bening menyeberang jalan menuju cafe-cafe yang berjejer menghadap lapangan sepakbola di samping stasiun kereta api. Cafe dan lapangan sepakbola di pisahkan oleh jalan beraspal yang ditumbuhi pohon mahoni yang menjulang di kanan kirinya.

Sementara bagian depan stasiun kereta api, menyajikan pemandangan yang cukup indah dengan bunga berwarna-warni dan suasana yang asri lagi bersih. 

Tak heran jika banyak keluarga yang menjadikan tempat itu sebagai pilihan untuk sekedar melepas penat atau berjalan-jalan dan membeli beberapa makanan lezat dari cafe ataupun pedagang kaki lima.

"Mas, beli awugnya tiga, ya!" Bening menyodorkan sejumlah uang kepada pelayan cafe. Kemudian duduk di salah satu kursi belakang untuk menunggu pesanannya.

"Hai, Bening," sebuah suara menyapanya.

"Eeh, Kak Dirga. Mau beli awug juga?" tanya Bening yang tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Dirga.

"Iya," jawab Dirga dengan bibir melebar menunjukkan gigi rapihnya.

"Bagi vidio yang kita di Curug atas dong, Ning," pinta Dirga sambil mengeluarkan handphonenya.

"Aku engga bawa hp, Kak," jawab Bening.

"Oiya kalo SMP belum boleh bawa hp ke sekolah, ya." 

"Iya, Kak," 

"Ok deh. Kirim nanti pas udah di rumah, ya," pinta Dirga.

"Siap," ujar Bening dengan tangan menyerupai orang hormat.

"Ini Mbak pesanannya," seorang pelayan cafe menyerahkan pesanan Bening yang dibungkus dengan kemasan styrofoam.

"Aku duluan ya, Kak," pamit Bening.

"Ati-ati ya, Ning," pesan Dirga dengan lambaian tangan kekarnya.

Bening berlalu, sepedanya menjauh dari seseorang yang hatinya selalu berharap dekat dengannya. "Gimana aku engga kesengsem sama dia, coba. Udah mah ganteng maksimal, baik pula. Sopan, ramah," ribuan puji mangkal di pikirannya tak henti terucap tanpa suara.

Segera Bening memberikan awug itu kepada kakek dan bibinya setelah memarkirkan sepeda di depan rumah.

"Mba Bening. Nanti malem kita ke pasar malam yuuk," ucap Salman anak Mang Udin.

"Mau beli apa, Mon?" tanya Bening pada sepupunya itu.

"Pengin martabak yang warna ijo, Mba. Anterin, ya," pinta Salman merengek.

"Iya deh nanti Mba anterin. Tapi pijitin pundak Mba dulu, ya," ucap Bening mengambil kesempatan.

Dengan terpaksa, anak tujuh tahun itu menggerakkan tangannya di bahu Bening. Demi bisa pergi ke pasar malam bersama Bening, ia bersedia dengan syarat yang diajukan Bening.

"Ayuk Mba. Kita pergi sekarang," suara Salman semakin terdengar dekat ketika Salman berlari dari dapur rumah mang Udin yang menyatu dengan dapur rumah ibunya Bening.

"Ya, sebentar. Mba salat Isya dulu." Bening segera bergegas ambil wudu. Jika tidak, pasti sepupunya itu akan terus bersuara.

"Salmon hayu berangkat," ucap Bening begitu turun dari tempat salat. Bening selalu punya sebutan-sebutan sayang untuk orang-orang terdekatnya.

"Udah berangkat duluan sama mang Udin. Kamu disuruh nyusul," ucap ibunya.

"Eeh si monyong Salmon, dasar," celetuk Bening.

Bersambung..

Baca juga:

0 Comments: