
Cerbung
Mata Bening Part 10 (Dilema)
Penulis: Desi
Di sisi lain Bening teringat kata-kata Alifa. Tetapi perasaannya begitu kuat mendorongnya untuk mengiyakan ajakan Dirga.
"Nih nomer teleponku. Nanti _chat_ ya, bisa ikut apa engga." Dirga menyodorkan sobekan kertas berisi nomer teleponnya.
Bening menerima kertas itu kemudian pamit pulang. Kakinya berayun memutar, menggerakkan pedal sepeda. Tubuhnya menembus angin yang menerpa tak beraturan. Semilir terhirup sejuk ke dalam lubang hidung Bening. Perlahan ia tahan lalu diembuskan keluar.
Rona-rona bahagia terpancar dari wajahnya. Sesekali bibirnya tersenyum. Namun kembali tanpa ekspresi ketika sadar dirinya tengah berada di jalan raya. "Apa kata orang kalo liat aku senyum-senyum sendiri," begitu ucapnya dalam hati.
Sinyal kasmaran bertaburan, melebur ke seluruh bagian tubuh. Sajak cinta merajai kalbu, keindahan sastranya menari-nari menumbuhkan benih kerinduan.
"Ngaji," memori otak Bening mengingatkan dirinya bahwa ia telah mengiyakan ajakan Alifa. "Dirga," nafsunya tidak kalah kuat lantang bersuara agar Bening bersedia menerima ajakan Dirga.
"Cucuku sudah pulang," sapa Mbah Uki yang sedang duduk di kursi rotan model klasik di depan rumah.
Bening menyalami kakeknya dan menyentuhkan dahinya di pundak Mbah Uki sembari menghela nafas panjang. Usapan lembut tangan tua mendarat di kepala Bening.
Bening berjalan masuk menuju kamarnya diiringi tatapan heran sang Kakek. Kalut pikiran Bening dalam kebingungan. Ia menghitung kancing baju memunculkan kedua kandidat.
"Dirga, Alifa, Dirga, Alifa, Dirga," ucap Bening dengan jari telunjuk berada di kancing baju bagian bawah.
"Aah, aku harus bagaimana?" Bening mengacak-acak rambutnya. Ia berjalan ke sana ke mari kemudian sesekali duduk di kursi belajarnya, membiarkan kepalanya tergeletak di atas meja belajar.
Kali ini tubuhnya sudah terlentang di atas kasur. Dilihatnya bintang-bintang di plafon triplek. Telunjuknya bergerak mengikuti arah pandangan matanya.
Satu persatu bintang yang menempel menjadi pijakan telunjuknya tanpa ada yang terlewat. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan dia menjatuhkan pilihan.
"Ok sip. Besok pagi-pagi aku jemput, ya!" sebuah balasan mendaratkan di layar gadgetnya setelah Bening melayangkan sebuah pesan.
Segala persiapan sudah tertata rapi, izin ibunya pun telah ia kantongi meski berbau paksaan. Tinggal menunggu jemputan siap berangkat.
Bening memandang wajah-wajah asing, mengkopi ke dalam otaknya agar suatu saat bertemu mampu mengenali. Dia menaiki sebuah truk dengan uluran tangan seseorang yang telah berada di atas truk.
Bening merasakan keseruan berada di tengah-tengah mereka yang begitu mengasikkan. Nyanyian sumbang mengiringi perjalanan mereka. Alam menyajikan hijau menentramkan menghampar luas.
Aroma pegunungan telah tercium, kicauan burung-burung beradu irama. Gemericik air terjatuh bertubi-tubi bergelut dengan bebatuan alam bertingkat-tingkat, menambah keindahan panorama maha karya Sang Pencipta.
"Kenalin ini Mila temen sekelasku." Dirga memperkenalkan Mila kepada Bening saat sampai di rumah Bening. Dirga dan Mila datang dengan motor terpisah, tujuannya agar Bening berboncengan dengan Mila.
Mereka berdua begitu sopan kepada keluarga Bening, terutama terhadap ibunya. Dirga dan Mila berjanji akan menjaga Bening dengan baik dan akan mengantarkan kembali sampai depan pintu.
Ibu Eli lega mendengar janji mereka. Rasa khawatirnya pun berkurang melihat kesopanan Dirga dan Mila. Ibu Eli melambaikan tangan melepas anak tercintanya liburan bersama orang luar untuk pertama kalinya.
"Foto sebelah sini, Ning. Viewnya bagus banget nih," saran Dirga.
Bening tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengambil gambar sebanyak-banyaknya. Mengabadikan setiap momen kebersamaan bersama Dirga dan teman-temannya.
Bening terus menggunakan fasilitas vidio dalam handphonenya. Seolah enggan terlewat bagian demi bagian bersama Dirga barang sebentar saja.
Tidak khawatir baterai habis karena sudah mempersiapkan power bank terbaik. Tidak pula khawatir _memory full_ sebab handphonenya memiliki kapasitas yang cukup besar untuk gambar dan video.
"Terimakasih ya, Nak. Sudah mengantar Bening sampai rumah," ucap Ibu Eli kepada Mila dan Dirga saat mengantar Bening pulang.
"Mandi dulu sana. Jangan lupa salat Ashar," ucap ibu Eli mengingatkan.
"Tadi salat Zuhur engga, Neng?" tanya ibunya.
"Alhamdulillah salat, Bu. Di sana ada musala," jawab Bening.
Bening menyambar handphonenya setelah selesai belajar. Dilihatnya kembali semua gambar hasil jepretan dan vidio rekaman. Jari lentiknya menyapu layar memutar satu persatu tak terlewat.
"Coba kalo tadi aku engga ikut. Pasti akan menyesal seumur hidup," gumamnya, merasa telah mengambil sebuah keputusan yang tepat.
"Bagaimana kondisi kakekmu, Ning. Maaf ya kemarin aku belum bisa nengokin. Sekarang deh aku ikut ke rumahmu, ya," ucap Alifa saat Bening telah selesai menyimpan tasnya dalam laci meja.
"Kakek? emang kenapa dengan kakekku," ucap Bening dalam hati.
"Santai aja. Kakekku udah sembuh. Dia hanya ingin seharian bersama cucu kesayangan." Bening segera menjawab setelah ingat kemarin dia jadikan kakeknya sakit sebagai alasan.
"Beneran sudah engga apa-apa?" tanya Alifa memastikan.
Bening mengangguk cepat. Dia berusaha menyembunyikan gelagat gugupnya. Menenangkan diri agar Alifa tidak curiga. Dia tidak mau kebohongannya tercium oleh Alifa.
"Maafin aku, Alifa. Maafin aku, Kek!" jerit hatinya tanpa suara.
Bersambung..
Baca juga:

0 Comments: