Headlines
Loading...

Oleh: Muflihah S.Leha

Pagi yang cerah setelah di guyur hujan hampir semalaman.
Wajah sumringah terpancar dari wajah anak yang menginjak masa remaja, anak  yang selalu riang, humoris dan menyenangkan.

"Hari ini adalah hari pertama sekolahku, aku harus mencari tempat duduk di bangku paling depan," bisiknya dalam hati.

Usai sarapan ia mengambil tas sekolah yang sudah di siapkan semalam.
Ia berpamitan kepada Ibunya yang sedang membereskan rumah.
Sodoran tangannya di sambut hangat oleh ibunya, Dika mengecup tangan yang mulai kasar karena pekerjaan rumahnya. Wanita yang sudah melahirkannya, dan sering memarahinya.

"Berangkat dulu Ma," 
Sembari merapikan tas dan mengikat tali sepatu, Dika berpamitan.

Aldan yang sudah siap di atas motor Vega, berhenti menunggunya.
Dengan cepat Dika menghempaskan badannya di jok motor belakang Aldan.

"Dah," sambut Aldan.

"Sudah," jawab Dika.

Aldan menarik gasnya dengan perlahan.
Motor melaju dengan pelan, angin menerjang membelai pipinya, Dika merasakan kedinginan. Ia menyatukan kedua tangannya secara bersilang, sesekali menggosok-gosokkan telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin.

Embun pagi tampak berkilauan di atas daun-daun pinggiran jalan, bagai mutiara-mutiara alam menambah keindahan pemandangan pegunungan.
Rasa dingin berkurang ketika motor mulai menjauh dari kampungnya.

Aldan menepikan motornya di sebuah rumah yang notabene masih saudara. Ia selalu numpang parkir di sana atas permintaan orang tuanya, karena orang tuanyalah yang memintakan izin.

Ia belum  berani parkir di tempat parkiran yang di sediakan pihak sekolah, karena itu khusus untuk anak SMK, namun banyak anak-anak SMP yang ikut memarkirkan motornya di tempat itu, karena gedung SMK dan SMP yang masih satu yayasan, pintu gerbangnya pun satu, meski banyak anak-anak SMP yang ikut parkir di situ, namun Aldan masih belum berani.

Karena Gurunya belum mengizinkan anak SMP membawa motor, Aldan lebih memilih jalan kaki sebentar menuju gedung sekolah.

Banyaknya orang-orang berseliweran mengantar sekolah dan yang berjalan kaki membuat jalanan ramai. Terasa menyenangkan karena banyaknya anak-anak yang berangkat tanpa kendaraan dan banyaknya wajah-wajah baru.
Hingga tak terasa sudah sampai di gerbang pintu masuk.

"Dan kelasmu di mana?" tanya Dika yang masih bingung.

"Aku di depan, kamu kelas satu di belakang sana," jawab Aldan sembari menunjuk ke arah belakang.

"Kamu cari nama dulu di Mading, di situ ada nama semua siswa, cari nama kamu masuk ke kelas mana, baru mencari bangku," ungkap Aldan mencerahkan Dika yang disertai dengan anggukan.

"Aku juga mau mencari kelas dua," ungkap Aldan sembari berlalu meninggalkannya.

Bergegas Dika berjalan menuju ke arah yang di beritahukan oleh Aldan.
Matanya menyapu dinding yang tertutup kaca berdiri di teras perpustakaan.
Di cari satu per satu nama yang tercantum di kertas yang menempel.
Seketika matanya menyipit ketika menjumpai namanya masuk di kelas 1A, semenjak SD dia masuk di kelas B, Dika sudah kesengsem dengan kelas B. Berharap dia berada di kelas B, namun tulisan itu dengan jelas menyebut namanya.

Ia mencoba mencari nama Dika, siapa tahu ada nama yang sama.
Satu per satu di susurinya, tak di jumpainya nama yang sama.
Ada rasa senang ketika membaca nama Epan dan Rama, anak sekampung yang selalu bersama dalam satu kelas sewaktu SD dulu. namun ada juga yang sewaktu SD bersama di sini terpisah.

Dengan cepat Dika memasuki kelas 1A.
Hatinya mulai menerima saat menyisir semua sudut ruangan kelas A, rapi, bersih, dan pemandangan alam di balik kaca tampak sawah-sawah yang luas, jalan raya yang ramai, dan jembatan kereta api bisa tertangkap di kelas itu.

Dengan leluasa Ia bisa memilih bangku karena berangkat masih pagi, dia memilih kursi paling depan di pojok kiri.

Setelah memilih kursi dia melepaskan tasnya dan menaruhnya di atas meja, Ia duduk di kursi yang Ia pilih.

"Waduh," papan tulisnya ada sorotan sinar bayangan dari arah pintu masuk.

"Gak.. enggak enggak, gue harus pindah segera,"

Kelas mulai ramai banyak wajah-wajah baru yang masuk.
Dengan cepat Dika memilih meja di sampingnya, yang pasti harus di depan agar tidak ada penghalang ketika guru menyampaikan pelajaran.

"Hai Dik lu dah dapat bangku," sapa Ramadan yang baru masuk kelas.

"Iya nih, belum ada temannya," jawab Dika.

"Jangan di depanlah..., aku pilih nomer dua saja" jawab Rama yang tidak suka duduk di depan.

Epan datang dengan sumringah,

"Heh kita bersama lagi," ungkap Epan kegirangan.

"Iya kamu pilih sama aku atau Rama," ucap Dika.

"Sama lu Dik, Mamaku mengancam, katanya harus duduk di depan," jawab Epan penuh riang.

"Wali kelas kita siapa?" tanya Epan.

"Bu Alfi," jawab Rama.

"Ish....kata Aldan guru yang paling garang di sini," jawab Rama.

"Iyakah...."

"Iya banyak yang sering di hukum," tandas Epan.

"Siap-siap saja lu kena hukuman, haha ..." cetus Dika sembari terkekeh.

"Yuk kita keluar dulu," ajak Epan.

"Ayuk," sambut Ramadan.

Baru beberapa langkah menuju pintu, terdengar suara.
Bel berbunyi, banyak yang masuk dan anak keluar.

Dika mengayunkan kakinya keluar.

"Lu mau kemana Dik, bel berbunyi tandanya masuk ke kelas masing-masing," cetus Epan.

"Itu bel salat Duha ndul," tandas Dika sembari bergegas menuju tempat wudu.
Epan membulatkan mulutnya dan ia pun mengekornya.

Usai salat berjamaah mereka langsung masuk ke kelas.
Berkenalan dengan teman-teman baru, sembari menunggu guru yang masuk.

Suara riuh seketika senyap ketika mendengar suara sepatu vantofel mendekat.
Bergegas bu Alfi masuk, dengan wajah yang serius tak ada senyuman untuk mereda ketegangan. Bu Alfi langsung duduk.
Semua berdiri memberikan salam.

"Kenapa mesti Bu Alfi ya," keluh Epan.

"Siapa yang sudah kenal sama saya?" tanya Bu Alfi 
memecah keheningan.

"Belum kenal Bu..." jawab mereka kompak.

"Namaku Alfi, wali kelas ini, saya diamanahi untuk menjadi wali kelas kalian,"

Semua siswa-siswi tertunduk karena sudah mendengar selentingan kabar tentang sosok yang ada di hadapannya.

"Semua siap menuruti aturan saya?"

"Siap...."

"Jika ada pelanggaran saya tidak segan untuk menghukumnya"

"Waduh," suara Epan terdengar oleh Rama.

Dika yang tenang-tenang saja tampak menikmati setiap apa yang di rasakannya.
Ia ingin serius belajar dan sungguh-sungguh mencari ilmu, sejak SD sudah berprestasi, berharap di sekolah lanjutan ini ia bisa menjadi juara.

Bersambung..

Baca juga:

0 Comments: