Headlines
Loading...

Oleh: Muflihah S.Leha

Dika adalah sosok yang dinantikan kehadirannya oleh Ayah dan Ibunya, dia adalah anak pertama yang sudah lama mereka impikan, kelahirannya membuat kebahagiaannya bertambah, butuh penantian yang panjang karena kehamilan sebelumnya mengalami keguguran. Dika hadir di tengah kegundahan sepasang suami istri yang menikah muda.
Sejak lahir sudah dibekali ilmu agama,
berharap bisa menjadi  anak yang saleh.

Kehadiran Adik pertamanya membuat kebahagiaan bertambah, namun harus menelan pil pahit ketika dokter memvonis Ayah Dika sakit diabetes, emosi Ayahnya mulai tak terkontrol. sejak kecil Dika sudah merasakan kesedihan, akibat kemarahan yang diluapkan Ayahnya.

Dalam perawatan sakitnya, Allah menganugerahkan dua adik perempuan lagi, yang jarak kelahiranya tidak cukup jauh.
Dika menjadi anak sulung yang dituntut untuk hidup mandiri.

Setiap Ayah sakit, Dika mencarikan obat, bahkan resep dari dokter pun Dika sudah paham. Karena sudah terbiasa minum obat warung yang dirasakan cespleng, Dika selalu membelikannya, ditengah keasyikannya bermain. Rasa ngilu di kaki Ayahnya memaksa dia harus meminum obat, nyeri itu semakin terasa menyayat tubuh yang semakin hari badannya menyusut. Dika semakin asyik bermain tak dihiraukan teriakan Ayahnya, kini emosi Ayahnya semakin membuncah.

Mendengar teriakan Ayahnya melambung tinggi, Dika bergegas pulang, menyadari  kesalahanya, namun emosi Ayahnya sudah tak bisa dikendalikan, hanya dengan satu bentakan,
Dika lari spontan tanpa arah tujuan.
Melihat kemarahan suaminya, sang istri pun ikut tersulut emosi.
Mencoba membela putra sulungnya yang ketakutan.
Rasa gemetar dalam hatinya memaksa ia berlari mengejar anaknya. 

"Dika ...." teriak Ibunya di pelataran rumahnya,

Berasal dari kampung yang masih asri, banyaknya kebun dan pepohonan menjulang tinggi, rumah-rumah masih berjarak tersekat oleh rerumputan hijau di sekeliling rumahnya seperti hutan namun berpenghuni.

Ibunya berlarian menyisir kebun, namun Dika belum juga ditemukan.
Rasa panik seketika memompa jantungnya, degupannya semakin kencang terbayang wajah polosnya, bulir-bulir air mata tumpah tak mampu ia bendung.
Di sela isak tangisnya, Aldan datang setengah berlari,

"Ketemu gak Lik" 

"Belum, coba Al kamu carikan siapa tahu dipanggil kamu, nongol,"

"Iya Lik," Aldan segera mengerahkan temannya untuk mencari Dika.

Sungai-sungai tempat yang biasa untuk bermain dan mandi pun sudah di susurinya. 
Rumah-rumah teman yang biasa main sudah di kunjunginya.
Siang sampai sore belum juga ada kabar, ayahnya panik tak menyangka kemarahannya membuat anaknya pergi, rasa bersalah membuat hatinya lebih terluka. 
Istrinya mencarikan obat, setelah berkurang nyeri di kakinya, 
Ia pun bangkit mencari Dika dengan sepeda motor, bolak-balik seperti seterika yang sedang panas-panasnya. Namun tak juga ditemuinya.
Rasa sakit yang dirasakannya memaksa Ia kembali istirahat.

Hari semakin sore.
Semua orang merasakan kekhawatiran.
Ditengah kepanikan keluarga,
muncul sesosok bocah yang sedang ditunggu-tunggu,
Dika berjalan dari arah samping rumah dengan senyum menjalari hati, tak ada lagi rasa takut kembali, karena hukuman yang sudah dia bayangkan ambyar seketika. Dekapan ibunya. Dia berlari memeluk tubuh berisi yang mulai terasa pertumbuhannya, bak hujan di musim kemarau yang sangat menyegarkan,
Tangisan bahagia mengalir tanpa diminta.

"Dikaku sayang ..., kamu dari mana Nak," sapa Ibunya di sela kerinduannya.
Seolah berpisah puluhan tahun, rasa rindu menyelimuti hatinya.

Seakan tidak ada masalah dengan enteng Dika menjawab,

"Aku tadi melihat Ayah, mas Aldan dan pasukannya ramai mencariku"

"Loh kok pada mencari aku toh' ada apa ini, aku jadi tambah seneng di cari-cari,"

"Lah kamu kok tahu, kalau kita-kita sedang nyariin kamu, memangnya kamu ini di mana? kami semua panik tau ..." 
Ramai suara orang-orang yang ikut mencari Dika,

"Aku di atas pohon," jawab Dika dengan cengengesan

"Astaghfirullah hal'adzim ...." 

Seketika kepanikan keluarga pecah.
Diganti dengan senyum tawa riang.

"Kok kamu diam waktu aku panggil,"  tanya Aldan sambil mendorong pundak Dika dengan pelan.

"He..he.. asyik..."
saut Dika cengengesan 
Bisa-bisanya lari ke atas pohon seharian,
mirip Tarzan aja.

"Kamu gak lapar seharian belum makan, sana makan dulu gih," pinta Ibunya.

"Laparlah ...," cletuk Dika dengan mimik polosnya.

Bergegas Ibunya mengambilkan sepiring nasi dan lauknya.
Dengan lahap Dika menyantap makanan, setelah nyaris setengah hari cacing perutnya sudah berteriak lapar.
Ayahnya memeluk dengan hangat.
Sembari berpikir bocah kecil, sudah berani melarikan diri membuat panik semua orang.
Apa yang ada di otaknya?.

**

Melihat Aldan dan teman-temannya sudah punya gadjet, Dika merayu orang tuanya agar dibelikan.
Karena ekonomi terbatas, orang tuanya membelikan dengan harga murah,
Alhasil ..., hanya hitungan bulan ponsel baru sudah tidak berfungsi.

Saat melihat Aldan dan teman yang lain mempunyai ponsel sendiri-sendiri, hasil dari angpau khitan, Dika memutuskan untuk segera mengkhatamkan ngaji Al-Quran. Berharap secepatnya bisa dikhitan. 

"Ma, kayaknya aku sudah siap," 

"Siap apaan," spontan jawab Mama

"Siap dikhitan," 

"Pengin beli hape ya ..." terka Mama.

Sudah menjadi hal lumrah, di kampung itu, setelah anak-anaknya dikhitan, orang tuanya membelikan Hp, ada rasa bahagia ketika anak-anak ndeso itu bisa main Hp, tidak seperti mereka para orang tuanya sewaktu kecil dulu, hampir semua permainan dengan alat seadanya.

Di terka ingin beli hape oleh Ibunya,
Dika terkekeh, karena hanya inilah harapan satu-satunya agar impiannya memiliki hape segera terpenuhi, meski kegelisahan menyeruak di benaknya.

Hanya hitungan hari ahirnya orang tua Dika mengabulkan keinginannya, yang memang sudah di tunggu kapan anaknya meminta khitan, pasalnya rasa sakit yang sering di takuti oleh teman-teman kakak kelasnya yang sudah lebih dulu dikhitan, membuat yang belum khitan menjadi takut.
Ternyata tidak sesakit yang mereka katakan.
Iyes' saatnya aku menakuti anak yang belum khitan hik .. hik ...

Belum sembuh rasa sakitnya, rasa bahagia menyelimuti benaknya, karena kadonya cukup untuk beli HP baru, meski tidak sebagus HP Aldan, namun ada rasa syukur, keinginannya bisa tercapai.

**

Rasa bahagia membuat Dika sangat bersemangat, bersiap-siap, hari ini ayahnya mengajak Dika memilih ponsel baru.
Dengan rapi Dika menunggu Ayahnya, 

"Hish..., Dah bisa pake celana, dah sembuh ni ye," goda Epan temannya.

Tak butuh waktu lama Ayahnya sudah siap membuka kunci motor dan menyalakan mesinnya, dengan penuh percaya diri Dika naik dengan wajah kegirangan.

Berhentilah di sebuah counter, para sales menyambutnya dengan ramah,

"Yang mana," tanya Ayah sambil menimang.

Ada rasa bingung karena banyaknya pilihan,
Menyadari bajetnya yang masih minim, hanya di bawah satu juta. Ia memilih yang pas sesuai kapasitasnya.

Setelah memilih, Dika pulang dengan senyuman, wajahnya yang bulat dengan lesung pipi, nampak imut dan unyu, menggemaskan berharap suatu saat ia bisa membeli ponsel yang lebih bagus.
Memikirkan strategi apa agar bisa  mendapatkan uang sendiri.

Tak ada rasa capek dihatinya, bahkan saat Ibunya menyuruh apa pun Dika selalu nurut tanpa perlawanan, anak yang supel, humoris, namun susah untuk dimengerti, membuat orang tuanya ingin memenuhi semua keinginannya.

"Hiis ..., Hape baru ni ye," ledek Aldan.

"Iya dong! main yuk"
pinta Dika sembari melempar senyuman.

"Ayuk" Aldan menyambutnya dengan sumringah.

Mereka bermain bersama, banyaknya teman sebayanya yang sering datang, karena ada Aldan yang terkenal bak besi berani, seolah ada magnet yang menempel keberadaannya mengundang temannya pasti ngumpul.

Badan cungkring berkulit hitam manis, dengan lesung pipi, tak banyak bicara Aldan memiliki daya pikat tersendiri, meski banyak cewek yang tergoda, namun rasa malu pada wanita yang dia miliki mengalahkan hasratnya.
Hanya selisih satu kelas dengan Dika, Epan dan Rama, terbukti Aldan menjadi sosok favorit yang disukai teman-temannya.

Terlihat saat pelepasan kelas 6 SD, saat perpisahan terakhir di sekolahnya, tumpah ruah panggung wisuda dipenuhi duka air mata kesedihan, seolah berpisah untuk selamanya, kenangan  itu terbayang disaat belajar dan bermain bersama, kepergiannya seolah tak ada waktu untuk bersama lagi. 
Memang kelasnya Aldan hampir 90% melanjutkan ke pesantren, menjadikan perpisahan itu semakin terasa, karena dunia yang akan dilaluinya berbeda-beda.

Aldan masuk ke SMP Ma'arif, yang diikuti oleh Dika dan teman-temannya, sosok Aldan yang bisa mengontrol teman mainnya justru tak punya pendirian karena masih sering ngikut aja.
Padahal banyak yang enggan bermain kalau tidak ada Aldan.

Ada rasa khawatir di benak orang tua Aldan. Penampilannya yang semakin menjaga kulit, dan sering menata rambutnya jangan-jangan sedang jatuh cinta, timbul rasa was-was dalam diri Ibunya.

"Beliin aku handbody napa Ma...," pinta Aldan memelas, Ibunya hanya tersenyum menerka anaknya sedang puber.
Suka memakai parfum, dan sangat menjaga penampilannya.

Berbeda dengan Rama yang sebaya dengan Dika, walau masih bocah namun sudah memiliki pacar.
Namun dia merasakan patah hati lebih dini daripada yang lainnya.

Tepat disaat pelepasan siswa kelas 6, pacarnya melayangkan kata putus, rasa sakit yang dirasakan Ramadan membuat hari-harinya suram.
Dan selalu menjadi ledekan teman-temannya apalagi Dika yang hampir setiap hari Ibunya bertanya,

"Kamu sudah pernah mimpi basah belum?" tak pernah juga dijawabnya karena memang belum tahu.
Ibunya ingin memastikan kalau anaknya sudah baligh atau belum.
Karena tanda-tanda baligh anak laki-laki adalah mimpi basah yang harus tahu tata cara mandinya yang harus senantiasa difahamkan.
Seringnya orang tua yang abai, dan tertutupnya anak-anak prabaligh tidak menyadari kapan dia pernah mimpi, yang menandakan kalau anak itu sudah baligh, dan wajib untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan ajaran Islam.

Begitu seringnya pertanyaan itu di lontarkan orang tua Dika dan Aldan, ada bekal persiapan yang harus mereka ketahui.
Namun merekapun masih belum jujur, entah karena memang belum atau karena malu, sehingga mereka mengelak kalau orang tuanya mengajukan pertanyaan yang terkesan intim.

Bersambung..

Baca juga:

0 Comments: