Headlines
Loading...
Banjir Berulang, Solusi Negara Belum Terpecahkan

Banjir Berulang, Solusi Negara Belum Terpecahkan


Oleh. Waviza [Sambas]

Pada bulan Oktober hingga dengan April di Indonesia merupakan musim penghujan. Tak dapat dipungkiri pada bulan-bulan tersebut beberapa wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan yang terjadi secara terus menerus. Sehingga, jika tidak segera diantisipasi kemungkinan besar terjadi banjir seperti yang terjadi hari ini. 

Dilansir dari Liputan6.com, Sejumlah daerah di Jakarta diguyur hujan hingga membuat wilayah tersebut terdampak banjir. Khususnya di daerah penyangga diantaranya Bekasi, Depok, serta Tangerang. 

Bahkan, terjadinya di Jakarta telah memakan korban jiwa dari luka parah hingga meninggal dunia. Berdasarkan kesimpulan sementara dari BPBD DKI Jakarta, hal itu disebabkan rubuhnya tembok di MTSN 19 Jakarta yang membuat siswa luka dan meninggal dunia, karena tak bisa menahan volume air yang sudah meluap.

Fenomena banjir bukan hal yang baru di Indonesia. Hampir setiap tahunnya Indonesia mengalami banjir bahkan sampai memakan korban jiwa. Hal ini, bukan semata-mata hanya karena curah hujan yang tinggi. Namun, ada beberapa hal yang menjadi penyebab banjir tersebut. 

Pertama, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan masih minim. Buktinya, Indonesia peringkat tiga sebagai negara yang menghasilkan sampah plastik terbesar di dunia. Dari data tahun 2020, sebanyak 67, 8 juta ton Indonesia telah menghasilkan sampah plastik. Atau sekitar 185. 753 ton setiap harinya oleh 270 juta penduduk. 

Kedua, kurangnya perhatian negara terhadap masyarakat. Hal ini karena negara menggunakan sistem yang berasaskan untung rugi saja. Mengapa tidak? Saat banjir negara hanya memberikan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Alhasil, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk mendapat keuntungan. Mereka menawarkan berbagai kebutuhan pada masyarakat dengan dalih membantu meringankan. Namun, jika keadaan sudah pulih mereka kembali meminta imbalan atas bantuan yang mereka berikan. Miris!!

Kondisi Hutan

Tak dapat kita pungkiri, salah satu penyebab berkurangnya kemampuan hutan dalam menjalankan fungsinya, dalam menyerap air adalah pengalihan fungsi lahan hutan yang menjadi area industri, seperti tambang dan perkebunan sawit, industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi yang berlebih. Berdasarkan data KLHK tahun 2018–2019, banyaknya pembukaan hutan di seluruh wilayah Indonesia telah mencapai 462.458,5 hektare, dan meningkat dari periode sebelumnya pada 2017–2018 yaitu 439.439,1 hektare.

Dari data ini, tampak jelas ancaman bencana lebih besar berada di depan mata. Namun, Bahaya ekologi yang terus menghantui Indonesia masih tidak terlihat oleh pemerintah. Justru, Pemerintah malah menggenjot pembangunan infrastruktur besar-besaran hanya untuk ambisi dan keserakahan korporasi. Dengan lahirnya UU Cipta Kerja pemerintah mempermudah jalannya investasi. Sehingga banyak pengamat mengabaikan keberpihakanya pada nasib lingkungan dan rakyat.  

Islam Punya Solusinya

Seyogyanya, semua masalah dapat terselesaikan secara keseluruhan hanya dengan satu solusi, yakni menggunakan sistem pemilik kehidupan. Hanya dengan itu semua permasalahan akan usai. Karena negara yang menerapkan sistem tersebut dari awal sudah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan. Melalui aqidah yang benar. Hal ini, terbukti pada masa kejayaannya sekitar 14 abad yang lalu. Problem yang terjadi terbilang sedikit bahkan hampir minim. MasyaaAllah! Selain itu, penanganan yang dilakukan juga terbaik dan gratis. 

Penanganan bencana karena faktor alam maupun ulah tangan manusia harus berlangsung secara fundamental, yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Dalam aspek preventif, Islam melakukan penetapan kebijakan pembangunan dengan aspek ramah lingkungan, SDA dimanfaatkan hanya demi kepentingan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam. Negara juga memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk mencegah bencana, diantaranya kanal, pemecah ombak, reboisasi (penanaman kembali), bendungan, tanggul, dan pemeliharaan daerah aliran sungai pendangkalan, serta relokasi dan tata kelola berbasis AMDAL. Selain itu, pengaturan dalam memelihara kebersihan lingkungan. 

Dalam aspek kuratif, hal yang dilakukan Negara adalah sebagai berikut: (1) melakukan evakuasi korban secepatnya; (2) membuka akses jalan juga komunikasi dengan para korban; (3) memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke berbagai tempat yang tidak ada penghuninya, atau menyalurkannya pada saluran yang telah siap sebelumnya; (4) menyiapkan lokasi untuk pengungsian, membuat dapur umum juga posko kesehatan, serta membuka akses-akses jalan ataupun komunikasi dalam memudahkan tim SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak bencana.

Adapun dari aspek rehabilitatif, Negara akan melakukan recovery, yakni dengan manajemen pascabencana, seperti memberikan pelayanan terbaik kepada korban selama berada di area pengungsian; memulihkan kondisi psikis mereka agar tetap bersabar, tidak stres maupun depresi atas cobaan yang datang; memenuhi kebutuhan vital mereka, seperti pakaian, makanan, tempat istirahat, obat-obatan, serta layanan kesehatan lainnya. Dan memberikan nasihat atau tausiah sebagai penguatan akidah dan nafsiyah para korban.

Alhasil, permasalahan banjir pun berulang selama sistem yang diterapkan adalah kapitalis. Sistem ini hanya peduli pada manfaat dan keuntungan ekonomi, meski harus mengorbankan lingkungan. Eksploitasi  sumber daya alam yang terus dilakukan tanpa kendali. Kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme membenarkan hal tersebut terjadi. Hanya sistem Islamlah yang mampu memberi solusi tuntas atas semua permasalahan, termasuk banjir.

Baca juga:

0 Comments: