Headlines
Loading...

Oleh. Ummu Fernand
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY), menyampaikan bahwa hikmah terpenting dari maulid Nabi saw. tak lepas dari kontroversi, baik yang sependapat maupun yang tidak sependapat.

“Tidak akan pernah bisa lepas dari apa yang disebut cinta kepada Nabi, baik itu di bulan maulid maupun di luar bulan maulid. Baik yang merayakan maupun yang tidak merayakan,” ungkapnya dalam forum Fokus to the Point: “Maulid Nabi, Cinta Rasul kok Masih Sekuler?” di kanal YouTube UIY Official, Jumat (5/9/2025).

Cinta kepada Nabi Saw. ini sesuatu yang sangat istimewa. Dia disebut secara khusus dalam hadis sahih riwayat Muslim. Hadis tersebut menceritakan dialog antara seseorang (tidak disebut namanya) yang bertanya kepada Nabi, “Kapan hari kiamat terjadi?”

Kemudian Nabi, alih-alih menjawab, justru balik bertanya kepada orang tersebut, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyongsong hari kiamat?”

Orang itu pun menjawab, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar itu, Nabi mengatakan, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”

Di sinilah pentingnya memastikan diri kita, apakah benar-benar termasuk orang yang mencintai Nabi. Karena Nabi telah menegaskan, kita akan bersama dengan orang yang kita cintai. Dan posisi Nabi kelak di akhirat tentu berada di surga Allah. Tidak mungkin di tempat lain. Artinya, siapa saja yang mencintai Nabi, dia akan bersamanya di surga Allah,” urainya.

Lantas, bagaimana membuktikan cinta kita kepada Rasulullah saw.?

“Di sinilah penting bagi kita untuk mengetahui apa tanda-tanda atau bukti dari cinta kepada Nabi,” jelasnya.

Dia menyebutkan, “Setidaknya ada dua tanda, yaitu tanda paling sederhana dan tanda paling utama. Tanda paling sederhana dari cinta kita kepada Nabi adalah kegemaran kita berselawat kepadanya.”

Apa arti selawat? Selawat diperintahkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an, surah Al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat (memuji dan berdoa) untuk Nabi.”

“Kita mengenal selawat Ibrahimiyah, selawat yang masyruk, disebutkan dalam hadis sahih riwayat Muslim. Selawat ini doa pengharapan kepada Allah agar memuliakan Nabi di dunia dan akhirat. Di dunia dengan memenangkan risalahnya, di akhirat dengan menempatkan Nabi di tempat terbaik,” tuturnya.

Yang kedua, lanjutnya, menurut hadis riwayat Muslim, kebaikannya kembali kepada kita. Nabi bersabda, “Barangsiapa berselawat kepadaku sekali, maka Allah akan berselawat untuknya sebanyak sepuluh kali.”

Apa arti selawat Allah kepada makhluk-Nya? Dia mengutip penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa selawat Allah kepada hamba-Nya adalah ampunan, rahmat, dan keberkahan.

“Jadi, ketika kita berselawat kepada Nabi sekali, kita akan mendapatkan kebaikan sepuluh kali,” bebernya.

Kemudian, tanda paling utama cinta kepada Nabi tak lain adalah ittiba’ kepada beliau. Itu sekaligus tanda cinta kepada Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 31.

Imam Ibnu Katsir mengatakan, jika ada orang yang mengaku mencintai Nabi tetapi tidak mengikutinya, atau mengikutinya namun tidak dengan haqqul ittiba’ (mengikuti dalam perintah dan larangannya), fahuwa kadzib—maka pengakuannya dusta,” tegasnya.

Dia menyesalkan kondisi masyarakat hari ini yang mengaku mencintai Nabi tetapi tidak mengikuti ajaran beliau. Termasuk dalam urusan bisnis, politik, hubungan pria dan wanita, dan lain sebagainya.

Menurutnya, ittiba’ Rasul tercermin pada dua hal penting. Pertama, cara berpikir. Seorang Muslim yang mengaku cinta kepada Nabi mestinya berpikir dengan ajaran Nabi, bukan berpikir sekuler—baik bercorak kapitalistik, sosialistik, bahkan komunistik.

“Kalau dia muslim, tetapi cara berpikirnya tidak mengikuti ajaran Nabi, lalu dia ittiba’ kepada siapa?” tanyanya.

Kedua, cara berperilaku. Nabi Saw. mengajarkan dan memerintahkan salat, puasa, haji, berpakaian syar’i, menjaga makanan dan minuman halal. Begitu pula dalam bermuamalah, berekonomi, berpolitik, dan lainnya, semuanya dalam kerangka Islam. Nabi Saw. tidak pernah berpolitik berlandaskan selain Islam.

“Kalau sekarang ada orang Islam yang berpolitik dan berjuang tidak disandarkan kepada Islam serta bukan untuk Islam, lalu untuk siapa? Mereka ittiba’ kepada siapa?” cecarnya.

“Dengan demikian, ittiba’ itu harus totalitas,” pungkasnya. []

Baca juga:

0 Comments: