Headlines
Loading...
Surplus Beras, Harga Tetap Melonjak

Surplus Beras, Harga Tetap Melonjak

Oleh. Usi Nur Safitri
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengakui adanya anomali di sektor pangan, di mana stok beras nasional mengalami surplus, tetapi harga komoditas tersebut tetap tinggi di pasaran. Berdasarkan data BPS, produksi beras hingga Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton, atau surplus 3,7 juta ton dibanding periode tahun sebelumnya yang produksinya hanya 28 juta ton (Tirto.id, 4/9/2025).

Dengan lonjakan harga yang tinggi meski jumlah beras melimpah, pemerintah meluncurkan SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) melalui Bulog, bertujuan menekan harga agar masyarakat kecil tetap bisa membeli beras. Sayangnya, penyaluran beras SPHP ini belum optimal, sehingga rakyat masih merasakan bahwa janji stabilisasi harga hanya sebatas wacana dan belum menyentuh persoalan nyata masyarakat.

Di sisi lain, bantuan pangan beras terancam dihapus karena keterbatasan anggaran, yang dialihkan ke program SPHP. Akibatnya, rakyat miskin diarahkan untuk membeli beras SPHP, sehingga mereka tidak lagi memperoleh bantuan beras gratis seperti sebelumnya.

Paradigma Kapitalisme: Pangan Jadi Komoditas, Rakyat Jadi Korban

Mimpi swasembada beras tidak sejalan dengan tingginya harga. Stok melimpah menjadi ironi ketika harga beras tetap mahal. Seharusnya hukum penawaran dan permintaan menurunkan harga, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya distorsi dalam tata niaga. Beras murah yang menumpuk tidak sampai ke masyarakat akhirnya tersimpan lama di gudang Bulog, menurunkan kualitasnya dan menimbulkan kerugian bagi Bulog.

Situasi ini terjadi karena solusi yang diterapkan bersifat tambal sulam dan tidak menyentuh akar masalah, seperti ketergantungan pada impor, lemahnya distribusi, serta orientasi bisnis dalam tata kelola pangan. Langkah stabilisasi beras dengan beras SPHP terbukti tidak efektif karena persoalan harga beras bersifat sistemis, terkait tata kelola perberasan nasional dari hulu hingga hilir. Pangan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat malah menjadi komoditas dagang.

Berdasarkan laporan CNN Indonesia, 25/8/2025, hasil pemantauan pada 11–22 Agustus 2025 menunjukkan bahwa beras SPHP belum tersedia di sebagian besar pasar tradisional, ritel modern, kios pangan, Rumah Pangan Kita (RPK), dan koperasi desa/kelurahan (Kopdes) Merah Putih. Fakta ini menunjukkan bahwa SPHP hanya memengaruhi harga, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar, seperti pemenuhan kebutuhan beras masyarakat atau masalah petani, seperti biaya pupuk, lahan sempit, dan masuknya beras impor.

Praktik oligopoli dalam tata niaga beras turut mendorong kenaikan harga. Jika persoalan ini tidak diselesaikan, harga beras akan tetap tinggi. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator dan penjaga stabilitas pasar, bukan pelindung rakyat. Negara memastikan stok aman, tetapi harga beras tinggi karena distribusi yang buruk. Akibatnya, rakyat menjerit karena harga melambung, petani tetap miskin, sementara korporasi besar, importir, dan jaringan distribusi tertentu justru diuntungkan.

Ketimpangan kepemilikan dan akses makin nyata, mereka yang memiliki lahan subur, akses pupuk, modal, dan teknologi biasanya bukan petani kecil. Hal ini membuat rakyat kecil kalah bersaing dan bergantung pada korporasi besar, tengkulak, atau distributor besar. Kapitalisme mendorong akumulasi modal, sehingga hanya pemilik jaringan distribusi dan modal besar yang dapat menguasai pasar, menentukan harga, dan menetapkan standar mutu.

Akibatnya, pangan yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok rakyat justru menjadi komoditas bisnis. Rakyat kecil makin sulit memenuhi kebutuhan pokok, petani tetap terimpit, sementara korporasi dan importir besar terus mengeruk keuntungan. Inilah wajah nyata kerusakan kapitalisme dalam sektor pangan: menciptakan surplus semu, harga melangit, dan penderitaan rakyat yang tak berkesudahan.

Islam Menjamin Kedaulatan dan Distribusi Pangan

Dalam Islam, imam adalah raa’in yang wajib memastikan ketersediaan pangan (beras) bukan hanya stok di gudang atau pasar. Penguasa wajib menjamin ketersediaan dengan harga terjangkau hingga sampai ke tangan rakyat, baik kaya maupun miskin, tanpa hambatan distribusi. Rakyat tidak boleh merasa sulit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Penguasa bertanggung jawab membenahi jalur distribusi beras dari hulu hingga hilir, memastikan tidak ada praktik haram yang merusak distribusi, seperti oligopoli, penimbunan, dan manipulasi harga. Fokus negara bukan sekadar menjual beras seperti mekanisme SPHP, tetapi menjalankan solusi sistemis mulai dari mendukung produksi petani seperti penyediaan pupuk, teknologi, penggilingan, dan penyimpanan agar kualitas beras terjaga, serta memastikan distribusi ke pasar tradisional maupun modern hingga sampai ke konsumen.

Bagi masyarakat miskin, negara dapat memberikan bantuan beras gratis melalui dana Baitulmal, bukan subsidi bersyarat. Hal ini wajib dijamin oleh negara sebagai bentuk perlindungan rakyat terhadap kebutuhan pokoknya.

[An]

Baca juga:

0 Comments: