Headlines
Loading...
Ibadah: Pilar Kehidupan yang Terlupakan dalam Arus Sekularisme

Ibadah: Pilar Kehidupan yang Terlupakan dalam Arus Sekularisme

Oleh. D’Safira
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan berorientasi pada pencapaian materi, muncul pandangan yang mengkhawatirkan: “Ibadah itu secukupnya saja, tidak perlu terlalu rajin.” Pernyataan ini bukan hanya keliru, tetapi juga mencerminkan krisis pemahaman terhadap tujuan hidup manusia. Bisa jadi, orang yang mengucapkannya belum memahami secara utuh mengapa ia diciptakan, atau mungkin ia sudah tahu, tetapi menempatkan ibadah sebagai aktivitas pinggiran yang bisa ditunda atau diabaikan.

Pandangan semacam ini tumbuh subur dalam sistem kehidupan yang dibentuk ideologi sekuler kapitalistik. Dalam paradigma ini, nilai hidup diukur dari seberapa besar materi yang bisa dikumpulkan, seberapa tinggi jabatan yang diraih, dan seberapa populer seseorang di mata publik. Aktivitas yang tidak menghasilkan keuntungan finansial dianggap tidak produktif, bahkan tidak relevan. Maka, ibadah pun sering dipandang sebagai beban, bukan kebutuhan rohani. Ia dilakukan hanya ketika sempat, bukan sebagai prioritas utama.

Padahal, dalam Islam, ibadah bukan sekadar ritual. Ia adalah inti eksistensi manusia. Allah Swt. menegaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56 bahwa manusia dan jin diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Ini bukan sekadar perintah, melainkan penegasan identitas dan tujuan hidup. Ketika ibadah ditinggalkan atau diremehkan, manusia kehilangan arah, makna, dan hubungan spiritual yang menjadi sumber ketenangan dan keberkahan.

Sayangnya, di era ini banyak orang bertindak bukan berdasarkan wahyu, melainkan mengikuti arus opini publik. Popularitas, kenyamanan, dan pengaruh sosial sering menjadi kompas moral yang menggantikan syariat. Tak jarang, seseorang lebih memilih mengikuti tokoh viral daripada mendalami ajaran yang benar. Fenomena FOMO (fear of missing out) membuat masyarakat mudah terombang-ambing oleh tren, tanpa menyaringnya melalui nilai-nilai kebenaran. Akibatnya, prinsip amar makruf nahi munkar mulai ditinggalkan. Banyak yang beranggapan bahwa urusan ibadah dan akhlak adalah ranah pribadi yang tidak boleh dicampuri, padahal Islam mengajarkan sebaliknya.

Dalam Islam, standar benar dan salah tidak ditentukan oleh mayoritas atau tokoh berpengaruh, melainkan semata-mata berasal dari Allah Swt. Masyarakat yang dibentuk nilai-nilai Islam terbiasa hidup dalam suasana saling mengingatkan, menasihati, dan menjaga ketaatan. Prinsip amar makruf nahi munkar bukan hanya instrumen sosial, tetapi juga mekanisme spiritual yang melindungi umat dari penyimpangan dan kemaksiatan.

Ketika prinsip ini diterapkan secara konsisten, kebiasaan buruk, perilaku sia-sia, dan perbuatan maksiat tidak akan tumbuh subur. Sebaliknya, masyarakat berkembang dalam suasana penuh keberkahan. Ibadah bukan hanya dilakukan secara individual, tetapi menjadi bagian dari budaya kolektif yang menghidupkan ruh Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Lebih jauh, krisis ibadah juga berkaitan erat dengan sistem pendidikan dan kebijakan publik yang tidak berbasis nilai-nilai Islam. Generasi yang dibesarkan tanpa fondasi spiritual kuat cenderung mengikuti arus materialisme dan individualisme. Pendidikan yang hanya berorientasi pada capaian akademik tanpa membentuk karakter Islami menghasilkan individu cerdas secara teknis, tetapi miskin empati dan tanggung jawab sosial.

Maka, penting meneguhkan kembali bahwa ibadah bukan sekadar rutinitas, melainkan tujuan utama keberadaan kita di dunia. Ia adalah bentuk penghambaan menyeluruh meliputi hati, pikiran, dan tindakan. Dalam masyarakat yang menjadikan ibadah sebagai poros kehidupan, tumbuh generasi yang tidak hanya taat ritual, tetapi juga berintegritas sosial dan spiritual.

Ibadah adalah cahaya yang menerangi jalan hidup. Ia bukan beban, melainkan anugerah. Ketika ibadah dijadikan pusat kehidupan, segala aktivitas—baik bekerja, belajar, maupun berinteraksi sosial—menjadi bernilai ibadah. Inilah esensi Islam sebagai agama menyeluruh, yang tidak memisahkan dunia dan akhirat, spiritual dan sosial, individu dan masyarakat. [An]


Baca juga:

0 Comments: