Headlines
Loading...
Stok Melimpah, Harga Tetap Mahal: Ada Apa dengan Beras Kita?

Stok Melimpah, Harga Tetap Mahal: Ada Apa dengan Beras Kita?

Oleh. Siti Nur Faridah, S.K.M.*
(Kontributor SSCQMedia.Com)

Ke sawah petani menanam padi
Hujan turun menyuburkan bumi
Katanya swasembada beras tahun ini
Tapi di pasar harga tetap tinggi

Pemerintah kembali menebar optimisme: Indonesia diyakini mampu mencapai swasembada beras tahun ini. Menteri Pertanian, Amran, memastikan Indonesia tidak akan impor beras hingga akhir 2025 meskipun harga beras tetap mahal (kumparan.com, 5/9/2025). Klaim ini terdengar manis, tetapi kenyataan di lapangan justru getir. Harga beras masih tinggi di 214 daerah, meski stok dikatakan melimpah. Ironi ini membuat masyarakat bertanya-tanya: jika beras surplus, mengapa harga tetap mahal?

Menteri Dalam Negeri meminta Kementan dan Bapanas segera menekan harga beras di 214 daerah yang masih tinggi (kumparan.com, 4/9/2025). Untuk menekan harga, pemerintah mengandalkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang digelontorkan Bulog. Namun, strategi ini terbukti tidak efektif. Di berbagai daerah, masyarakat enggan membeli beras SPHP karena kualitasnya dikeluhkan. Toko ritel pun memilih tidak menjualnya. Akibatnya, stok beras Bulog menumpuk di gudang. Kompas.id (3/9/2025) melaporkan temuan Ombudsman bahwa penumpukan beras di gudang Bulog rawan menurunkan kualitas. Ombudsman bahkan pernah mengingatkan bahwa Bulog mengalami “obesitas beras” karena tidak mampu mendistribusikan stok secara optimal.

Lebih runyam lagi, bantuan pangan beras gratis terancam dihapus. Kepala Bapanas memberi sinyal bahwa bantuan pangan beras gratis bisa dihentikan karena keterbatasan anggaran (cnbcindonesia.com, 4/9/2025). Anggarannya dialihkan ke program beras SPHP, sehingga rakyat miskin diarahkan membeli beras murah alih-alih menerima bantuan. Padahal, bagi keluarga miskin, selisih harga sekecil apa pun sangat berarti. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa beban masyarakat rentan justru makin berat.

Jika ditelusuri lebih dalam, mahalnya harga beras bukan hanya soal stok. Masalah sesungguhnya terletak pada tata kelola perberasan nasional. Dari hulu hingga hilir, sistem distribusi masih penuh lubang. Biaya distribusi yang tinggi, keterbatasan kapasitas penggilingan, hingga praktik oligopoli para pemain besar memperparah keadaan. Pemerintah sering berperan hanya sebagai regulator yang memastikan stok aman, tetapi tidak menjamin harga sampai ke tangan rakyat dengan wajar. Maka, wajar jika rakyat merasakan senyum getir atas klaim swasembada: beras ada, tetapi mahal.

Refleksi: Apa Cukup dengan SPHP dan Swasembada?

Di sinilah kita perlu merenung. Apakah cukup hanya dengan program SPHP dan klaim swasembada? Fakta membuktikan, harga beras tetap tinggi karena problem sistemis, bukan sekadar teknis. Jika akar persoalan oligopoli, distribusi, dan lemahnya tata kelola tidak dibenahi, maka harga beras akan terus menggerogoti dompet rakyat.

Dalam perspektif Islam, negara bukan sekadar regulator. Pemimpin (imam) adalah ra‘in, penggembala yang wajib memastikan pangan tersedia dengan harga terjangkau. Tanggung jawabnya bukan hanya menjamin stok di gudang, melainkan memastikan beras benar-benar sampai ke piring rakyat dengan harga yang manusiawi. Sistem Islam, yakni Khilafah, menawarkan mekanisme yang berbeda dari sistem kapitalisme hari ini.

Solusi Islam dalam Tata Kelola Pangan

Pertama, jalur distribusi diperbaiki dari hulu hingga hilir. Negara memastikan tidak ada praktik haram seperti penimbunan atau oligopoli. Setiap penggilingan dan jalur distribusi berada dalam pengawasan ketat agar lancar sampai ke pasar rakyat.

Kedua, negara tidak membebani rakyat miskin dengan “beli murah”, melainkan memberi bantuan gratis jika diperlukan. Anggaran untuk ini diambil dari Baitulmal, yang dikelola dari pos-pos pemasukan syariat seperti zakat, fai’, kharaj, dan ghanimah. Dengan begitu, rakyat miskin tidak akan ditelantarkan dengan alasan keterbatasan anggaran.

Ketiga, kebijakan produksi beras diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir pemain besar. Negara memastikan petani mendapat dukungan penuh mulai dari akses lahan, benih unggul, pupuk, hingga jaminan harga gabah yang layak. Dengan cara ini, swasembada bukan hanya jargon, melainkan kenyataan yang dirasakan masyarakat dalam bentuk harga beras terjangkau.

Penutup

Swasembada beras sejatinya bukan sekadar soal angka produksi dan klaim politik. Rakyat menanti bukti nyata bahwa mereka bisa membeli beras dengan harga wajar tanpa harus menguras dompet. Selama sistem distribusi dikuasai oligopoli, selama negara hanya berperan sebagai regulator, dan selama bantuan pangan dikurangi demi alasan anggaran, maka optimisme swasembada hanya akan terdengar sebagai PHP—pemberi harapan palsu.

Kita tentu menginginkan negeri ini benar-benar mandiri pangan. Tetapi lebih dari itu, kita butuh sistem yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, bukan hanya menjaga citra politik sesaat. Sejarah membuktikan, di masa pemerintahan Islam, rakyat bisa merasakan ketersediaan pangan yang merata dengan harga terjangkau. Inilah solusi sistemis yang seharusnya dipertimbangkan.

Sampai hari ini, harga beras masih menusuk dompet rakyat. Pemerintah boleh saja berbangga dengan klaim surplus dan swasembada. Namun, bagi masyarakat kecil, yang terpenting adalah apakah mereka bisa makan nasi dengan layak setiap hari? Pertanyaan sederhana itu semestinya menjadi fokus setiap kebijakan. Tanpa itu, swasembada beras hanya tinggal ilusi.

Wallahualam bissawab. [An]

*) Tenaga kesehatan di Surabaya, aktif mengedukasi masyarakat dan keluarga tentang kesehatan. Menulis opini sebagai bentuk kontribusi pemikiran terhadap perbaikan sistem kehidupan masyarakat.


Mau saya buatin juga judul/headline yang lebih kuat untuk artikel ini?

Baca juga:

0 Comments: