Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Nun jauh di sana, terbentang sebuah negeri yang masyhur, tanah yang jejaknya terukir dalam sejarah peradaban umat manusia. Negeri itu bukan sekadar hamparan bumi, melainkan saksi bisu perjalanan para nabi dan umat terdahulu. Sejak ribuan tahun silam namanya telah tercatat dalam lembaran sejarah, menjadi pusat perjumpaan peradaban, keyakinan, dan doa. Bahkan, Al-Qur’an menyebutnya sebagai tanah yang diberkahi, tempat di mana Allah menurunkan rahmat-Nya dan meninggikan derajatnya di antara negeri-negeri lain.
Palestina, itulah tanah yang dimaksud, tanah yang disebut sebagai al-ard al-muqaddasah—tanah suci—dan juga al-ard allati barakna fiha—tanah yang diberkahi. Di sanalah para nabi pernah berpijak, dari Ibrahim, Ishak, Yakub, hingga Isa Al-Masih. Di sana pula terdapat Masjidilaqsa, kiblat pertama umat Islam, tempat Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. dimulai. Keberkahan negeri ini bukan hanya pada kesuburan tanahnya, tetapi juga pada jejak spiritual yang mengikat hati umat beriman sepanjang zaman.
Sejak dulu, Palestina menjadi pelabuhan harapan dan pusat perhatian dunia. Siapa pun yang menatapnya, seakan melihat pertemuan antara langit dan bumi, antara sejarah dan janji Ilahi. Negeri itu tidak hanya dikelilingi oleh tanah-tanah yang kaya, tetapi juga oleh doa-doa yang tak henti dipanjatkan, agar kelak ia kembali dalam pangkuan kemuliaan, sebagaimana Allah telah menjanjikannya.
Sayangnya, keberkahan itu kini terhalang oleh dinding-dinding penjara dan bara konflik yang tak kunjung padam, menjadikan Palestina simbol ketidakadilan dunia. Dan hari ini, nama Palestina bukan lagi sekadar catatan sejarah, melainkan simbol perlawanan, keberanian, sekaligus duka yang menggugah nurani umat manusia.
Palestina, Duka di Atas Luka
Saat ini, setiap menyebut nama Palestina, ada nyeri yang menyerang rasa. Palestina menjadi sasaran genosida dari zi0nis Isr4el. Setiap hari nyanyian kesedihan menjadi nyanyian yang akrab di hati mereka. Tak pernah, sekejap saja mereka tak mendengarkan desing peluru merobek kedamaian. Palestina menjadi ajang ketamakan dan kerakusan bangsa yang tak berperikemanusiaan.
Palestina, tanah yang diberkahi, kini seolah menjadi panggung penderitaan yang tiada akhir. Setiap jengkal tanahnya basah oleh darah syuhada. Setiap sudut rumah menyimpan cerita kehilangan. Di balik reruntuhan bangunan yang hancur oleh bom, ada suara tangis, bercampur dengan doa yang menggema. Dunia sering mengaburkan makna yang terjadi. Peristiwa yang ada di Palestina disebut sebagai konflik, padahal yang terjadi adalah pemusnahan, genosida yang nyata, karena ada upaya penghapusan satu bangsa dari tanah airnya sendiri.
Palestina memendam rasa yang begitu dalam. Mereka terluka oleh kebiadaban kaum penjajah yang merampas tanah dan nyawa, namun lebih perih lagi ketika menyadari betapa banyak saudara seiman memilih diam, seakan tak berdaya membela mereka. Penderitaan mereka jarang disinggung di mimbar-mimbar Jumat, padahal setiap tetes darah yang tumpah di Gaza adalah jeritan umat yang sama-sama bersyahadat. Seolah duka mereka tak bernilai, padahal hakikatnya duka Palestina adalah duka kita semua, duka di atas luka yang hanya akan terobati bila ada rangkulan nyata dari saudara seiman yang peduli, bersatu, dan bergerak bersama.
Palestina Simbol Kokohnya Keimanan
Di jalanan Gaza, bayangan anak-anak yang berlari kini berubah menjadi tubuh-tubuh kecil yang tergeletak kaku. Mereka tak sempat bermain dengan gembira, apalagi bermimpi besar. Masa kecil anak-anak Palestina dirampas oleh suara dentuman rudal. Di hadapan dunia yang bisu, mereka justru tumbuh dalam suasana ketakutan, lalu dipaksa menjadi dewasa terlalu cepat.
Namun, di balik duka yang tak ada habisnya itu, ada kekuatan iman yang tak pernah padam. Ibu-ibu Palestina yang kehilangan buah hati masih mampu berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.” Ayah-ayah yang kehilangan istri dan anaknya masih berdiri tegar di saf pertama masjid yang tinggal separuh dinding. Bagi mereka, hidup bukan sekadar bertahan, tetapi menjadi saksi bahwa janji Allah pasti lebih kuat daripada keangkuhan penjajah.
Keimanan mereka yang kuat terjadi karena Al-Qur’an bukan sekadar bacaan rutin tanpa pemahaman. Bukan juga bacaan yang dilantunkan hanya di waktu-waktu tertentu, melainkan sebuah pedoman hidup yang benar-benar mereka pegang erat. Ayat demi ayat di Al-Qur'an mereka jadikan kekuatan saat kehilangan, cahaya ketika kegelapan menyelimuti, dan kekuatan saat dunia meninggalkan mereka. Bagi mereka, Al-Qur’an sudah menyatu dalam hidup, dihayati, diyakini, dan diamalkan, sehingga mampu meneguhkan hati di tengah penderitaan yang tak pernah berhenti.
Palestina Bertanya di Mana Umat Rasulullah?
Dan dunia? Dunia kerap memilih diam. Negara-negara besar lebih sibuk menghitung untung rugi politik daripada menimbang nilai kemanusiaan. Media arus utama sering kali menutup mata, mengganti kata genosida dengan perang, seakan ada keseimbangan antara penjajah dan yang dijajah. Padahal, yang terjadi hanyalah satu pihak menindas, pihak lainnya ditindas.
Palestina adalah saudara seiman. Dengan akidah yang sama, menjadi umat Rasulullah, ada pertanyaan yang begitu menyakitkan terdengar di indera pendengaran, terasa di hati sanubari, aynal muslimin, di mana umat Rasulullah, atas penderitaan mereka? Mereka merintih kelaparan. Kematian menjadi akrab, mengintai yang masih hidup. Kematian bukan lagi hanya karena desingan peluru, melainkan karena kelaparan yang sengaja dibuat. Mereka sengaja dilaparkan, setiap bantuan yang datang dihalangi, sehingga sering bantuan itu tak kunjung sampai pada mereka. Dan negara-negara yang penduduknya merupakan umat Islam terbesar, hingga kini masih diam, membisu, tak memperjuangkan mereka, apalagi mendampingi mereka untuk berjihad. Wajar sekali jika penduduk Palestina bertanya, aynal muslimin? Atau bertanya di mana umat Rasulullah?
Saudara kita bertanya, tanya yang penuh kepedihan. Ada luka dari pertanyaan itu “Aynal muslimin? Di mana umat Rasulullah saw.?” Itu bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan hati yang mengguncang iman. Mereka disiksa, dibunuh, terusir dari tanah air, sementara dunia Islam seakan diam. Sebagai umat Islam, kita harus bergerak, menjawab pertanyaan saudara seiman kita. Kita harus mengembalikan umat kepada Al-Qur’an agar beriman dan bertakwa. Dengan demikian Allah akan memberikan pertolonganya sebagaiamana firman-Nya dalam QS Muhammad ayat 7
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Permasalahan Palestina bagi kita bukan hanya tentang kemanusiaan, tapi lebih dari itu, adalah masalah akidah. Ada Masjidilaqsa, kiblat pertama umat Islam, tempat Isra Mikraj Rasulullah saw.. Dan itu merupakan bagian dari akidah umat Islam, untuk mempertahankannya agar tak direbut musuh. Maka, membela Palestina adalah kewajiban, karena merupakan bagian dari keimanan.
Dan yang paling utama adalah menyatukan barisan umat Islam. Kelemahan terbesar umat hari ini adalah terpecah belahnya negeri-negeri muslim. Satu tubuh, tetapi bercerai-berai. Masing-masing sibuk dengan urusan politik dan kepentingan nasional. Kita harus kembali kepada persatuan umat, dengan pemimpin yang mampu menyatukan umat di bawah satu bendera tauhid. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tanpa kepemimpinan umat, jeritan “Aynal muslimin?” akan terus menjadi pertanyaan tanpa jawaban nyata.
Dan akhirnya sudah saatnya kita menjalankan jihad fisabilillah dengan pemahaman syariat Al-Qur’an dan sunah menjadikan jihad sebagai cara membela yang lemah dan mengusir penjajah.
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa: 'Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya .…'" (QS An-Nisa’: 75)
Artinya, jihad bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban syar’i ketika kaum muslimin ditindas dan masjid suci dinodai. Namun jihad yang benar harus dipimpin oleh kepemimpinan Islam yang sah, bukan tindakan sporadis tanpa arah.
Tapi karena semua itu belum ada, kita sebagai individu tetap bisa berbuat menurut kemampuan yang ada. Kita bisa melangitkan doa dan kunut nazilah untuk kemenangan umat Islam. Lalu melakukan infak dan sedekah untuk mendukung perjuangan mereka. Kita bisa menyuarakan kebenaran agar opini dunia tidak dikuasai propaganda musuh. Dan yang tak kalah penting adalah mendidik generasi dengan kesadaran akidah, agar lahir generasi yang siap menolong agama Allah.
Jeritan “Aynal muslimin?” sejatinya adalah cermin bagi kita semua. Palestina bertanya, tetapi Allah sesungguhnya sedang menegur kita, “Di mana imanmu? Di mana keberpihakanmu terhadap agama-Ku?”
Solusi Islam bukan sekadar diplomasi atau bantuan kemanusiaan jangka pendek, melainkan kembali menegakkan syariat Allah, mempersatukan umat, dan menegakkan kepemimpinan Islam yang mampu melindungi kaum muslimin serta membebaskan Al-Aqsa. [Ni]
Kotabumi, 6 September 2025
Baca juga:

0 Comments: