Headlines
Loading...

Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Assalamu‘alaika ya Rasulullah, kekasih Allah, penutup para nabi, teladan kami sepanjang zaman.

Ya Rasulullah, 
ada getar rindu setiap kali kusebut namamu. Namamu adalah cahaya yang mengalirkan kesejukan, yang membuat kami merasa dekat meski jarak antara kami denganmu sudah lebih dari seribu empat ratus tahun. Rindu ini tak pernah surut, selalu ada dalam ruang dan waktu. Engkau adalah uswatun hasanah, panutan bagi seluruh manusia, dan pemberi syafaat yang kelak kami harapkan di hari akhir.

Ya Habibi, 
tiada cinta yang lebih besar dari cintamu kepada umatmu. Semua terbukti, saat engkau sedang menghadapi sakratul maut, engkau masih memikirkan umatmu, dengan menyebutnya penuh kasih. Engkau memikirkan kami lebih dari kami memikirkan dirimu. Cinta yang engkau berikan bukan hanya di dunia, tetapi juga akan berlanjut di akhirat, ketika engkau menanti di telaga al-Kautsar untuk memberi minum orang-orang yang tetap setia mengikuti ajaranmu.

Wahai Rasulullah tercinta, 
betapa kami ingin memandang wajahmu yang bercahaya. Betapa kami ingin duduk di sisimu, mendengar kalam lembutmu, dan menyaksikan senyummu yang menenangkan hati. Seandainya kami hidup di zamanmu, pasti kami akan berlari tanpa ragu untuk berdiri di belakangmu, membela dakwahmu dengan jiwa dan raga kami. Tetapi kami lahir jauh setelah engkau tiada, hanya bisa mengenalmu lewat sirah, hadis, dan ayat-ayat Allah yang menceritakan tentangmu. Cintamu tetap tetap ada untuk umatmu, walaupun telah terpisah jarak dan waktu.

Ya Rasulullah, 
engkau manusia mulia penuh keteladanan. Engkau tidak pernah mencari keuntungan dunia, padahal semua kekuasaan bisa saja engkau miliki jika engkau mau. Engkau hanya menginginkan kami selamat, meraih rahmat Allah, dan berpegang teguh pada Al-Qur’an. Engkau adalah Al-Qur’an yang berjalan, karena seluruh akhlakmu adalah cerminan firman Allah.

Engkau begitu sabar menghadapi caci maki kaum Quraisy. Engkau tetap mendoakan mereka yang melukaimu. Engkau penuh kasih kepada anak-anak, penuh hormat kepada wanita, penuh perhatian kepada fakir miskin, penuh sayang kepada seluruh makhluk. Wahai Nabiku, takkan ada  manusia lain yang akhlaknya semulia engkau. Engkau tetap yang terbaik sepanjang zaman, teladan bagi orang-orang beriman hingga akhir hayat dunia.

Namun, ya Rasulullah, 
dengan penuh rasa malu dan berat hati, kami ingin mengadukan keadaan umatmu hari ini. Kami tahu, engkau bersedih hati melihat apa yang terjadi pada penduduk Palestina, umatmu, saudara kami itu.

Ya Rasulullah, 
di tanah suci al-Quds, bumi Isra’ dan Mi‘rajmu, umatmu sedang diguncang penderitaan yang sangat berat. Tanah yang penuh berkah itu kini dipenuhi darah, air mata, dan kesedihan. Anak-anak kecil yang seharusnya bermain dengan riang kini hanya tahu suara bom dan dentuman rudal. Mereka harus tidur di bawah reruntuhan bangunan yang hancur, bukan di atas ranjang dengan kasurnya yang empuk. Mereka bertanya kepada ibunya, “Mengapa rumah kita dihancurkan? Mengapa ayah tidak pulang? Mengapa dunia membiarkan kami menderita?”

Para wanita Palestina, ya Rasulullah,
 mereka menjadi janda di usia muda. Mereka kehilangan suami, anak-anak, bahkan rumah yang menjadi tempat perlindungan. Namun meski tubuh mereka rapuh, hati mereka kokoh. Mereka tetap berpegang pada kalimat La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah. Mereka sabar, mereka tabah, karena mereka yakin Allah bersama orang-orang yang sabar.

Lelaki-lelaki Palestina, sebagian dipenjara, sebagian syahid di medan tempur, sebagian lagi terpaksa terus berjaga di bawah hujan peluru. Mereka mempertahankan kehormatan, tanah air, dan masjid al-Aqsa, meski dunia menutup mata.

Ya Rasulullah, 
anak-anak di Gaza seringkali bertanya, “Aynal Muslimun? Dimana umat Islam? Di mana saudara-saudara kami?” Mereka menanti bala bantuan dari kaum muslimin sedunia. Mereka berharap ada pasukan yang datang membela mereka, sebagaimana dahulu para sahabatmu tidak pernah tinggal diam jika ada satu saja muslim yang dizalimi. Tetapi apa yang mereka dapat hari ini? Hanya doa-doa dari kejauhan, simpati yang tak berubah menjadi kekuatan nyata, dan janji-janji kosong dari para pemimpin yang lebih mencintai kursi daripada kejayaan Islam.

Kami ingin menjawab pertanyaan mereka, ya Rasulullah, tetapi lidah kami kelu. Apa yang harus kami katakan ketika mereka bertanya, “Di mana umatmu ya Rasulullah? Mengapa kalian membiarkan kami sendiri melawan kezaliman yang besar?” Apakah kami harus mengatakan bahwa umat Islam hari ini tercerai-berai, sibuk dengan urusan masing-masing, bahkan saling mencurigai dan bermusuhan satu sama lain? Apakah kami harus jujur bahwa sekulerisme telah menguasai kehidupan, hingga agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan lagi kekuatan yang menyatukan seluruh umat?

Ya Habibi, kami malu. 
Kami malu karena kami umatmu, tetapi kami tidak mampu berbuat banyak. Kami ingin berlari menolong mereka, tetapi kaki kami terikat oleh kelemahan. Kami ingin menyumbangkan seluruh harta, tetapi nafsu dunia membuat kami ragu. Kami ingin menyuarakan kebenaran, tetapi kami takut pada penguasa yang menekan. Maka kami hanya bisa mengangkat tangan, memohon kepada Allah, dan berharap syafaatmu kelak di hari pembalasan.

Rasulullah, 
sungguh berat penderitaan bangsa Palestina. Setiap hari ada syahid baru, ada tangisan baru, ada luka baru. Mereka hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa obat-obatan, dan tanpa keamanan. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat pengobatan malah menjadi sasaran rudal. Kematian selalu ada, membuat kuburan menjadi penuh. Bayi-bayi terus lahir ke dunia yang penuh darah. Apakah ini bukan kezaliman terbesar di zaman kami?

Ya Rasulullah, 
andai engkau ada, bersama kami hari ini, niscaya engkau akan berdiri di barisan terdepan untuk membela mereka. Engkau pasti akan mengajak umatmu untuk bersatu, mengesampingkan perbedaan, dan mengutamakan persaudaraan seakidah. Engkau pasti akan mengingatkan kami dengan firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (TQS Al-Hujurat: 10)

Tetapi hari ini, ya Rasulullah, kami masih terpecah belah. Ada yang sibuk dengan politik, ada yang sibuk dengan dunia hiburan, ada yang sibuk dengan urusan pribadi, hingga lupa bahwa darah saudara kami mengalir deras di Gaza.

Kami tahu, engkau tidak akan pernah meninggalkan umatmu. Engkau selalu mengingat kami dalam doa-doamu, bahkan hingga akhir hayatmu. Tetapi bagaimana dengan kami? Apakah kami sudah benar-benar membuktikan cinta kepada engkau?

Cinta sejati bukan hanya kata-kata, tetapi juga amal. Engkau selalu mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Tetapi saat ini, malah kami  sibuk sendiri, sementara saudara kami di Palestina berjuang sendirian.

Ya Rasulullah, 
izinkan kami mengadu kepada Allah melalui surat ini. Kami memohon agar Allah membangunkan hati umat Islam, menyatukan langkah mereka, dan menumbuhkan keberanian untuk melawan kezaliman. Kami berharap agar umat Islam tidak lagi sekadar menjadi penonton, tetapi benar-benar menjadi pelindung bagi saudara-saudara yang dizalimi.

Kami juga memohon syafaatmu kelak, agar engkau menyelamatkan kami dari siksa Allah, karena kami lalai membela saudara kami. Kami tahu engkau sangat mencintai umatmu, tetapi apakah kami pantas mendapat cintamu jika kami terus berdiam diri?

Ya Rasulullah, 
kami merindukanmu. Kami ingin hidup bersamamu, berjuang di sisimu, dan menegakkan agama Allah sebagaimana engkau lakukan. Kami ingin menjadi umat yang engkau banggakan di hadapan Allah. Tetapi untuk itu, kami harus berubah. Kami harus berhenti saling menyalahkan, berhenti sibuk dengan dunia, dan kembali berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunahmu.

Engkau pernah bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Sunahku.” Ya Rasulullah, kami ingin kembali pada pesanmu. Hanya dengan itu, kami bisa bangkit, bersatu, dan membela tanah Palestina yang diberkahi.

Wahai kekasih Allah, 
sampaikan salam cinta ini kepada Allah Ta‘ala. Sampaikan kerinduan kami, dan adukan kelemahan kami. Kami hanya bisa berharap rahmat-Nya meliputi kami, memberi kami kekuatan untuk menolong Palestina, dan menyatukan kami kembali dalam satu barisan.

Dan ketika kami kelak dipanggil menghadap Allah, kami hanya ingin satu hal: bertemu denganmu, mencium tanganmu, dan minum dari telagamu. Kami ingin engkau berkata kepada kami, “Umatku yang sabar, umatku yang tetap setia, umatku yang membela kebenaran.”

Ya Rasulullah, cintamu abadi. Kami ingin membalasnya dengan amal nyata. Doakan kami, ya Habibi, agar kami menjadi umat yang engkau banggakan.

Wassalamu‘alaika ya Rasulullah,
Dengan penuh cinta, rindu, dan doa dari umatmu yang lemah. [ry].

Kotabumi, 6 September 2025

Baca juga:

0 Comments: