Saat Hidup Terlalu Berat untuk Ditanggung Sendiri
Oleh. Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.com — Sungguh memilukan, di Banjaran, Kabupaten Bandung, seorang ibu menggantung dirinya di tiang pintu kamar. Dua anaknya yang masih berusia 11 bulan dan 9 tahun diduga telah diracun terlebih dahulu oleh sang ibu. Polisi juga menemukan surat wasiat di lokasi kejadian (Tempo, 5 September 2025).
Kabar ini bukan sekadar berita kriminal dan tidak hanya terjadi di Banjaran, Jawa Barat. Ia adalah potret nyata luka sosial yang dalam. Tekanan ekonomi, lilitan utang, serta rapuhnya tatanan keluarga menjadi pemicu tragedi.
Psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, Dra. A. Latifah, M.Psi., pernah menegaskan bahwa tekanan finansial yang berlarut bisa memicu depresi berat hingga berakhir pada perilaku bunuh diri. Ia menekankan perlunya sistem dukungan sosial yang kuat bagi keluarga agar tragedi semacam ini bisa dicegah (Kompas, 2023).
Kasus ibu yang mengakhiri hidup bersama anak-anaknya bukanlah yang pertama. Banyak peristiwa serupa terjadi, dari kota hingga pelosok desa. Akar masalahnya sering kali sama, yakni ekonomi yang kian menghimpit, keluarga yang kehilangan arah, dan masyarakat yang dibiarkan rapuh oleh sistem hari ini.
Lebih jauh, sistem kapitalistik yang mendominasi negeri ini hanya melahirkan jurang kesenjangan. Judi, narkoba, perceraian, hingga kekerasan rumah tangga dibiarkan tumbuh subur. Sementara rakyat kecil semakin sulit mencari nafkah. Negara seolah hanya hadir sebagai penonton, bukan pelindung. Padahal, setiap nyawa begitu berharga di hadapan Allah.
Dalam Islam, bunuh diri adalah dosa besar. Rasulullah saw. menegaskan bahwa siapa pun yang mengakhiri hidup dengan cara apa pun, maka ia akan diazab dengan cara itu di neraka. Namun, mengutuk pelaku saja tidak cukup.
Kita harus jujur melihat bahwa sistem hari ini telah memproduksi ribuan alasan bagi orang untuk menyerah. Inilah penyakit struktural yang harus disembuhkan, bukan sekadar menambal luka di permukaan.
Solusi Islam
Islam memandang nyawa seorang muslim lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Rasulullah saw. bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Tirmidzi).
Dalam sejarah peradaban Islam, negara tidak hanya memberi nasihat moral, tetapi hadir nyata menjamin kebutuhan rakyatnya. Pendidikan berkualitas, kesehatan gratis, dan jaminan kebutuhan pokok diberikan agar setiap keluarga hidup tenang.
Khalifah Umar bin Khattab bahkan rela menanggung rakyatnya yang kelaparan dengan memikul gandum sendiri di malam hari. Ini adalah teladan nyata bagaimana syariat Islam menempatkan rakyat pada posisi terhormat.
Islam memberi panduan jelas agar tragedi keluarga bisa dicegah, dengan beberapa cara: pertama, menanamkan ideologi Islam dalam keluarga. Keluarga adalah madrasah pertama. Orang tua wajib menanamkan akidah dan membentuk akhlak sejak dini.
Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).
Kedua, mengenalkan syariat sejak kecil. Nabi saw. bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika berusia tujuh tahun...” (HR. Abu Dawud). Pendidikan syariat akan menjadi benteng moral yang kokoh.
Ketiga, memahami peran dalam keluarga. Suami sebagai qawwam (pemimpin), istri sebagai pendamping, dan anak sebagai amanah. Harmoni keluarga akan terjaga, ketika setiap anggota memahami perannya masing-masing sesuai syari’at Islam.
Keempat, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Amalan sunah seperti tahajud, sedekah, dan membaca Al-Qur’an adalah penopang hati agar tetap tegar di tengah kesulitan.
Kelima, menjaga interaksi sesuai syariat. Islam mengatur adab dalam rumah, dari memisahkan tempat tidur anak hingga menjaga aurat. Semua itu adalah pagar agar keluarga tetap suci dan tenteram.
Keenam, majelis ilmu juga menjadi penting karena keluarga yang memahami Islam secara kaffah akan memiliki filter kuat terhadap arus ideologi yang merusak mental.
Namun, semua ini tidak akan kokoh jika sistem yang menaungi keluarga tetap kapitalistik. Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh (kaffah), termasuk dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial. Hanya sistem Islam yang mampu menghapus utang berbunga, menyediakan pendidikan gratis, dan menjamin kesehatan tanpa diskriminasi.
Keluarga muslim akan terlindungi, bukan sekadar oleh doa, tetapi juga oleh sistem yang adil. Inilah yang pernah diwujudkan dalam sejarah Khilafah Islamiyah, dan hanya dengan itulah luka-luka sosial seperti tragedi Banjaran bisa benar-benar sembuh. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: