Headlines
Loading...
Pengangguran Massal Generasi Muda, Bukti Kegagalan Kapitalisme

Pengangguran Massal Generasi Muda, Bukti Kegagalan Kapitalisme

Oleh. Istiana Ayu S. R.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Fenomena krisis tenaga kerja belakangan ini bukan hanya cerita dari negara berkembang. Negara-negara besar pun ikut kelabakan. Di Amerika Serikat, pengangguran pada kelompok usia 20–24 tahun naik dari 8,0% jadi 9,2% di bulan Agustus 2025 (wsj.com, 5/9/2025).

Inggris mencatat tingkat pengangguran 4,7% di kuartal II 2025, sementara Prancis lebih tinggi, sekitar 7,0% (commonslibrary.parliament.uk, 30/7/2025).

Cina juga sedang kesulitan, pengangguran pemuda pernah menyentuh 21,3% pada pertengahan 2023, dan meski turun ke 16,1% di akhir 2024, itu tetap angka yang mengkhawatirkan (washingtonpost.com, 13/7/2025).

Indonesia pun tak jauh berbeda. Data menunjukkan, tahun 2024 tingkat pengangguran usia 15–24 tahun berada di kisaran 13,1% (brief.id, 31/5/2025).

Bahkan, laporan lain menegaskan sekitar 16% pemuda Indonesia tak punya pekerjaan tertinggi di Asia Tenggara (aljazeera.com, 18/7/2025).

Jadi walau pemerintah sering mengklaim angka pengangguran menurun, generasi muda justru masih menjadi kelompok yang paling menderita.

Masalah ini tak bisa dilepaskan dari sistem yang mendominasi dunia, yaitu kapitalisme. Sistem ini sejak awal menempatkan keuntungan pemilik modal di atas kepentingan rakyat.

Perusahaan memilih efisiensi lewat mesin, otomatisasi, hingga memindahkan pabrik ke negara yang upahnya lebih murah. Akibatnya, jutaan pekerja dirumahkan, sementara laba pemilik modal makin menebal.

Kapitalisme juga melahirkan jurang kekayaan yang sangat dalam. Laporan dari Oxfam mencatat 1% orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan global (oxfam.org, 15/1/2024).

Uang dan aset yang terkumpul pada segelintir elite tidak mengalir ke masyarakat, sehingga peluang usaha dan lapangan kerja makin sempit. Inilah mengapa anak muda, meski punya semangat tinggi, tetap kesulitan mendapat kesempatan yang adil.

Persoalan lain datang dari dunia pendidikan. Kapitalisme mendorong perguruan tinggi menjadi “pabrik ijazah” yang mengejar jumlah lulusan tanpa peduli apakah ada lowongan yang sepadan.

Pada akhirnya, banyak lulusan yang tersesat dalam mismatch antara keterampilan dengan kebutuhan pasar. Di Cina, misalnya, gelar sarjana bahkan master sudah tidak lagi menjamin pekerjaan (washingtonpost.com, 13/7/2025).

Di Indonesia, pemerintah biasanya merespon dengan menggelar job fair atau pelatihan singkat. Tapi, ini sama saja dengan menambal ban bocor dengan plester. Job fair hanya mempertemukan pencari kerja dan perusahaan, tapi tidak menambah jumlah pekerjaan yang tersedia. Selama orientasi ekonominya masih kapitalis, negara jadi fasilitator pasar, bukan pelindung rakyat, pengangguran pemuda akan terus bertahan.

Islam justru menawarkan jalan keluar yang lebih mendasar. Dalam pandangan Islam, pengusaha bukan hanya pemburu untung, tetapi juga penopang kesejahteraan masyarakat.

Rasulullah saw. menegaskan agar pekerja diberi upah layak sebelum keringatnya kering. Prinsip ini memastikan pemilik usaha tidak sekadar menimbun modal, tetapi membuka ruang kerja yang bermanfaat bagi orang lain.

Sistem ekonomi Islam pun punya mekanisme distribusi yang berbeda. Dengan zakat, larangan riba, serta kepemilikan umum atas sumber daya alam, kekayaan tidak berhenti di tangan segelintir orang.

Negara bertugas mengelola sumber daya strategis dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, lapangan kerja tercipta lebih luas, tidak tergantung logika kapital.

Bidang pendidikan dalam Islam juga diarahkan untuk membentuk manusia yang berakhlak, bertanggung jawab, sekaligus produktif. Pemuda dididik tidak sekadar menjadi pencari kerja (job seeker), tetapi juga menciptakan pekerjaan (job creator).

Sejarah peradaban Islam menunjukkan banyak pemuda yang mampu mandiri sejak dini karena sistem pendidikan dan masyarakat mendukung jiwa wirausaha berbasis syariat.

Contoh konkret bisa dilihat pada masa Daulah Islam. Negara membagikan tanah terlantar kepada rakyat agar digarap. Pemuda yang mendapat tanah bisa menghidupi diri, bahkan membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Perdagangan juga berkembang luas, dengan aturan adil yang melibatkan banyak pemuda sebagai pedagang, pengrajin, hingga ilmuwan yang tetap terjamin kesejahteraannya.

Dari sini jelas, krisis tenaga kerja global yang menghantam Amerika, Eropa, Cina, hingga Indonesia bukan sekadar masalah ekonomi biasa.

Ini adalah bukti kegagalan kapitalisme yang memang sejak awal tidak dirancang untuk menciptakan kesejahteraan yang merata. Selama sistem ini dipertahankan, pengangguran hanya akan terus bergulir dari generasi ke generasi.

Sebaliknya, Islam memiliki sistem yang terbukti mampu menciptakan distribusi adil, pengusaha yang bertanggung jawab, serta pendidikan yang melahirkan generasi mandiri.

Anak muda seharusnya menjadi motor perubahan, bukan korban krisis. Dan hal itu hanya bisa terwujud bila Islam kembali diterapkan sebagai solusi nyata. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: