Pembunuhan Kembali Terjadi, Hukum Positif Tak Bergigi
Oleh. Alfisyah Ummu Arifah, S.Pd
(Pemerhati Anak Kota Medan)
SSCQMedia.Com — Sungguh malang nasib bocah perempuan yang hendak mengaji itu. Pergi mengaji memanfaatkan hari Jumat yang kebetulan tanggal merah, tetapi pulang tinggal nyawa. Kepalanya ditebas dengan parang oleh seorang remaja berinisial RH berusia 18 tahun.
Tangis pilu sang ibu dan amarah ayah yang meledak di dalam ambulans menyertai kepulangannya. Hal itu juga membuat para ibu tetangga yang menanti jenazah ikut menangis pilu. Begitu mudah perlakuan tak manusiawi itu terjadi. Tega dan sadis sekali. Ini membuat para ibu di negeri ini khawatir akan keselamatan anak-anaknya.
Dikutip dari TribunnewsSultra.com, bocah perempuan itu bernama MA (10), yang tewas digorok saat pergi mengaji di Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (5/5/2025).
Pelaku pembunuhan sadis di Desa Wundubite, Kecamatan Poli-Polia, Kabupaten Koltim, Provinsi Sultra, adalah RH. Pelaku yang menghabisi korban merupakan seorang remaja pria berusia 18 tahun, warga Desa Wundubite, sama dengan korban MA.
Sesungguhnya, pelaku itu—baik sengaja maupun tidak—telah melupakan pencatatan dua malaikat di sisinya. Dia lupa kepada malaikat, dia lupa kepada Allah, hingga tega berbuat di luar batas kemanusiaan.
Indonesia Butuh Hukum yang Memberikan Efek Jera
Tahun demi tahun kasus serupa terjadi, makin meningkat tanpa henti. Pembunuhan pada anak terjadi lagi dan lagi. Saat ini setiap orang tidak memiliki rasa aman lagi. Kemarahan dan ketidakwarasan mewarnai motif pembunuhan itu. Jerat hukum ala demokrasi kapitalis pun tak bernyali lagi, tidak memberikan efek jera yang berarti. Buktinya, kasus serupa terulang kembali, baik dengan motif maupun tanpa motif sama sekali.
Malangnya, pelakunya ternyata masih belasan tahun. Masih usia anak menurut hukum positif di negeri ini. Tak mungkin dihukum sebagaimana orang dewasa, padahal kejahatannya sudah setaraf orang dewasa. Mengapa masih dilihat dari sisi usianya yang belasan? Mengapa tidak ditentukan usia baligh sebagai batas anak dan dewasa? Begitu keliru pengkategorian usia itu. Semakin memperlebar penormalan terhadap tindakan kriminal. Mengapa tidak mencari hukum lain sebagai pengganti hukum positif yang serba kurang itu?
Sekali lagi, pembatasan usia anak menjadi polemik yang tak adil bagi korban pembunuhan. Siapa pun korbannya, keluarganya pasti menuntut balasan yang setimpal. Hal itu manusiawi dan wajar. Namun, tampaknya negara tak mendengar jeritan aspirasi masyarakat yang menginginkan keamanan dan keselamatan hari ini.
Nah, saat ini yang dibutuhkan adalah hukum yang mampu memberikan efek jera. Indonesia butuh ini, agar tak terjadi lagi kasus pembunuhan serupa. Padahal dahulu, pemberlakuan sistem hukum Islam selama 13 abad banyak membuktikan penurunan kasus kriminal. Selama itu hanya terjadi sekitar 600 kasus kriminal. Jika dirata-ratakan, hanya dua kasus per tahun yang sampai ke pengadilan.
Ya, Indonesia butuh hukum qisas sebagai alternatif pengganti hukum yang tak bergigi ini. Dengan qisas, masyarakat pasti berpikir seribu kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan.
Hikmah Hukum Qisas
Meskipun qisas terkesan sebagai hukum yang keras, sesungguhnya hukum ini memiliki hikmah dan tujuan mulia dalam syariat Islam. Pertama, menjaga nyawa manusia. Hukum ini menjaga darah dan jiwa agar tidak tertumpah sia-sia. Allah Swt. berfirman:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)
Qisas mencegah seseorang melakukan pembunuhan sehingga menjamin keselamatan nyawa manusia secara umum.
Kedua, mewujudkan keadilan. Qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk menuntut balasan yang setimpal. Jika dimaafkan, keluarga korban bisa memilih penggantinya berupa diyat (denda) senilai 100 ekor unta, jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tetap memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat umum.
Ketiga, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan adanya ancaman qisas, masyarakat lebih terjaga dari tindak kejahatan. Rasa aman pun tercipta, sehingga kehidupan sosial berjalan normal dan produktif.
Keempat, sarana taubat bagi pelaku. Bagi pelaku yang bertaubat, qisas menjadi penebus dosa di dunia. Jika dijalankan, dosa pembunuhan dapat diampuni Allah. Selain itu, adanya pilihan memaafkan dan mengganti dengan diyat membuka peluang rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban, mencerminkan spirit perdamaian Islam.
Melihat uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa selama hukum buatan manusia masih diberlakukan, selama itu pula penganiayaan dan pembunuhan akan berulang karena tak membuat jera. Ketakwaan masyarakat tidak lahir dari hukum manusia, tetapi dari hukum Allah, yang sejalan dengan hukum qisas.
Akhirnya, qisas bukan sekadar hukuman, melainkan juga memiliki dimensi sosial yang luas dalam menjaga kemaslahatan umat. Jika hukum qisas ini ditegakkan bersama induknya, yaitu sistem pemerintahan Islam, niscaya kasus pembunuhan serupa tak akan terjadi lagi. Kalaupun terjadi, jumlahnya tak akan melonjak seperti hari ini.
Wallahualam bissawab. []
Baca juga:

0 Comments: