Headlines
Loading...
Palestina, Hanya Bisa Dibebaskan dengan Jihad

Palestina, Hanya Bisa Dibebaskan dengan Jihad

Oleh. Lilis Hy
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.com — Dunia kembali dikejutkan oleh kebiadaban Zionis di Gaza. Serangan demi serangan terus digencarkan, bahkan menyasar jurnalis dan paramedis yang seharusnya dilindungi hukum internasional. Ironisnya, sebagian peristiwa itu bahkan disiarkan langsung di layar kaca dunia, tetapi tidak melahirkan langkah nyata untuk menghentikan penjajahan. Gaza kini bukan hanya medan perang, melainkan simbol betapa dunia membiarkan kezaliman berlangsung di depan mata.

Sejatinya, penderitaan rakyat Gaza bukanlah cerita baru. Puluhan tahun wilayah itu terkungkung blokade, dibombardir serangan udara, dan dicekik dalam segala aspek kehidupan. Ribuan nyawa melayang, mayoritas perempuan dan anak-anak. Rumah sakit lumpuh, pasokan makanan terbatas, dan suara ratapan terus terdengar dari reruntuhan bangunan. Meski bukti-bukti kebiadaban ini menyebar luas melalui media sosial maupun laporan investigatif, reaksi dunia masih sebatas kecaman diplomatis yang tidak berujung pada perubahan.

Sikap lembaga internasional seperti PBB pun tidak lebih dari formalitas. Resolusi demi resolusi dikeluarkan, tetapi selalu kandas oleh veto negara-negara besar yang terang-terangan mendukung Israel. Amerika Serikat, misalnya, terus menjadi pemasok senjata, dana, dan dukungan politik. Sementara sebagian besar negara Eropa cenderung mengikuti garis kebijakan yang sama. Artinya, dunia sebenarnya tahu apa yang terjadi, tetapi memilih diam atau bahkan berdiri di belakang penjajah.

Di sisi lain, umat Islam yang berjumlah lebih dari dua miliar jiwa belum mampu menunjukkan kekuatan nyata. Persatuan politik dan militer tidak pernah terwujud. Aksi solidaritas memang ada di berbagai negeri muslim: doa bersama, pengumpulan donasi, hingga demonstrasi di jalanan. Namun semua itu belum menyentuh akar masalah. Umat seolah terjebak pada solusi parsial, sementara Palestina terus berdarah. Betapa lemahnya kondisi umat ketika tidak ada desakan serius kepada para penguasa muslim untuk mengerahkan kekuatan militer membela saudara mereka di Gaza.

Jika ditelaah lebih dalam, masalah Palestina bukanlah isu kemanusiaan semata, tetapi persoalan akidah dan syariat. Tanah Palestina sejak penaklukan Umar bin Khattab adalah tanah wakaf umat Islam. Zionis merampasnya dengan paksa, menindas rakyatnya, dan merusak kehormatannya. Karena itu, membebaskannya bukan pilihan moral, melainkan kewajiban syar’i yang tak bisa ditawar. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya milik Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)

Dalam ayat lain Allah juga menegaskan:

“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’?” (QS. An-Nisa: 75)

Dua ayat ini cukup jelas menunjukkan bahwa jihad bukan hanya kewajiban defensif, melainkan bentuk pembelaan terhadap kaum tertindas.

Sejarah pun memberi pelajaran nyata. Pada masa Umar bin Khattab, Yerusalem ditaklukkan dengan penuh keadilan, hingga penduduknya menyerahkan kota tanpa pertumpahan darah. Berabad-abad kemudian, Shalahuddin al-Ayyubi menyatukan kaum muslim dan memimpin jihad hingga Palestina kembali bebas dari cengkeraman pasukan Salib. Dua peristiwa ini menjadi bukti bahwa penjajahan hanya bisa diakhiri dengan kekuatan jihad, bukan diplomasi yang rapuh.

Diplomasi modern pun terbukti buntu. Perundingan demi perundingan yang digelar sejak Oslo Agreement hingga berbagai konferensi internasional tidak pernah membuahkan hasil yang adil bagi rakyat Palestina. Alih-alih berhenti, Zionis semakin agresif memperluas permukiman, merampas lahan, dan menyingkirkan warga asli. Fakta ini menunjukkan bahwa jalan damai yang digaungkan hanyalah ilusi. Zionis tidak pernah berniat memberi keadilan, kecuali jika dipaksa dengan kekuatan.

Rasulullah saw. juga mengingatkan:

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya—dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Bagaimana mungkin kemungkaran sebesar penjajahan Zionis hanya dibiarkan dengan doa, tanpa tindakan nyata?

Ulama dan tokoh perlawanan pun telah menegaskan hal serupa. Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menekankan bahwa Palestina adalah tanah wakaf Islam yang tidak boleh diserahkan. Jihad untuk membebaskannya adalah kewajiban seluruh umat. Syaikh Ahmad Yasin, pendiri Hamas, juga berulang kali menyatakan bahwa Zionis tidak akan memahami bahasa apa pun selain perlawanan bersenjata. Sejarah, nash syariat, dan pengalaman empiris semuanya mengarah pada kesimpulan yang sama: jalan keluar hanya ada dalam jihad.

Tantangan terbesar hari ini adalah bagaimana menjadikan solusi hakiki tersebut sebagai opini umum di kalangan umat. Selama mayoritas umat Islam masih terbuai pada solusi parsial seperti donasi atau seruan gencatan senjata, penjajahan tidak akan berhenti. Umat harus menyadari bahwa yang dibutuhkan adalah persatuan di bawah satu kepemimpinan Islam yang menerapkan syariat secara kaffah. Hanya dengan kekuatan politik dan militer yang bersatu, Palestina dapat dibebaskan secara nyata.

Kebrutalan Zionis tidak akan berhenti dengan doa, empati, atau sekadar kecaman. Mereka akan terus melancarkan agresi selama dunia membisu. Karena itu, sudah saatnya umat Islam menggema­kan solusi hakiki: menegakkan syariat, berjihad, dan membebaskan Palestina sebagaimana dilakukan Rasulullah, para sahabat, Khalifah Umar, hingga Shalahuddin al-Ayyubi. Jalan inilah yang terbukti mampu menghentikan penjajahan dan mengembalikan kehormatan umat.

Wallahu a’lam bish-shawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: