Oleh. Ayu Ratnasari
(Pemerhati Remaja)
SSCQMedia.com — Pertengahan Agustus lalu sempat ramai diperbincangkan pernyataan Menteri Keuangan dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025. Sri Mulyani menyampaikan dalam pidatonya bahwa kewajiban membayar pajak sama halnya dengan menunaikan zakat dan wakaf.
Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan (CNBC Indonesia, 14/08/2025).
Pernyataan Sri Mulyani tentu menuai banyak perbincangan, bahkan di kalangan influencer. Bagaimana tidak? Jika dilihat, pernyataan ini bertujuan untuk menggenjot penerimaan pajak yang sedang seret. Pajak kini menjadi tumpuan pemasukan APBN. Maka wajar saja pemerintah mencari objek pajak baru, sementara pajak yang sudah ada tarifnya dinaikkan berkali-kali lipat, seperti kenaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
Lagi-lagi Pajak!
Mengapa pemerintah senang sekali menaikkan pajak tanpa memperhatikan hati rakyat? Hari ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, di mana pajak dijadikan tulang punggung ekonomi. Sehingga wajar saja, pemerintah tidak akan pernah menghapuskan pajak, walaupun menyengsarakan rakyat. Bahkan sekalipun rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, pajak akan tetap naik.
Akibatnya, rakyat makin tercekik dengan pajak yang ditetapkan. Rakyat kecil makin terperosok ke jurang kemiskinan, sementara para kapitalis makin kaya raya dan mendominasi ekonomi negara karena mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Ironisnya, efisiensi justru tidak diberlakukan kepada pejabat negara. Misalnya, anggota DPR yang total gajinya mencapai Rp50 juta per bulan, belum termasuk tunjangan rumah bulanan sebagai pengganti rumah dinas berkisar Rp30–50 juta per bulan. Artinya, dalam sebulan mereka bisa mengantongi penghasilan hingga Rp100 juta.
Perbedaan Pajak dan Zakat dalam Islam
Islam telah mengharamkan pungutan pajak atas harta rakyat. Nabi saw. bersabda:
Ù„َا ÙŠَدْØ®ُÙ„ُ الْجَÙ†َّØ©َ صَاØِبُ Ù…َÙƒْسٍ
“Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)
Negara Islam tidak menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Adapun zakat hanya diwajibkan bagi kaum muslimin. Bagaimana dengan nonmuslim? Mereka tidak dibebani kewajiban zakat. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka (kaum muslim) zakat dari harta mereka, yang diambil dari kalangan kaya di antara mereka, lalu diberikan kepada fakir miskin di antara mereka.” (HR Al-Bukhari)
Distribusi zakat hanya diperuntukkan bagi delapan ashnaf dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lain, seperti membangun IKN, proyek kereta cepat, melunasi utang, atau menggaji pejabat negara maupun anggota dewan. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 60)
Islam memiliki banyak sumber pemasukan, tidak hanya bergantung pada zakat atau pajak. Salah satu pemasukan terbesar negara Islam berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang wajib dikelola negara, bukan diserahkan kepada asing ataupun swasta.
Penerapan sistem ekonomi seperti ini hanya akan terwujud dalam institusi negara Islam, yaitu khilafah. Dengan penerapannya, kesejahteraan setiap rakyat—baik muslim maupun nonmuslim—akan terjamin.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: