Menyoal Filisida Maternal, Mengapa Kian Marak?
Oleh. Alfisyah Ummu Arifah, S. Pd
(Pemerhati Generasi)
SSCQMedia.Com — Entah apa yang tersirat di benak seorang ibu hingga tega membunuh anaknya. Pemikirannya buntu, dihantam arus deras kehidupan yang keras dan kejam di negara yang kapitalistik ini.
Indonesia berduka. Kasus ini menimbulkan kegelisahan, seakan menjadi pemantik tragedi serupa di tempat dan waktu yang berbeda. Tak heran jika KPAI menyorotinya. Seorang ibu di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, diduga meracuni dua anaknya hingga tewas, lalu mengakhiri hidupnya sendiri. KPAI mengategorikan insiden ini sebagai kasus filisida maternal.
Sebelumnya, pada Agustus 2025, terjadi kasus serupa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dua anak perempuan berusia 6 dan 3 tahun ditemukan tewas di Pantai Sigandu. Ibunya, VM (31), ditemukan bersembunyi di toilet portabel di sekitar lokasi kejadian (bbc.com, 10/10/2025).
Filisida adalah pembunuhan anak, yakni tindakan sengaja orang tua membunuh anaknya. Padahal, fitrah seorang ibu adalah menjaga anaknya sepenuh jiwa. Ibu adalah sosok yang seharusnya paling besar kasih sayangnya. Jika ia tega membunuh anaknya, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada kejiwaannya.
Faktor eksternal seperti tekanan ekonomi, masalah rumah tangga, maupun cibiran sosial bisa menjadi pemicu. Kejadian di Bandung, misalnya, dipicu oleh tekanan utang pinjol suami yang berulang, ditambah tekanan sosial dari lingkungan sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa kasus filisida tidak bisa dilihat hanya dari aspek individu semata. Ada pengaruh besar dari sistem dan lingkungan yang sakit.
Sistem kapitalistik sekuler hari ini menciptakan kehidupan yang penuh tekanan, individualistik, materialistis, serta jauh dari rasa aman. Akibatnya, banyak ibu kehilangan kewarasannya dan naluri keibuannya tercabut. Problem ini bukan sekadar masalah individu, melainkan problematika sistemis yang merusak tatanan hidup masyarakat.
Islam Cegah Filisida
Sudah jelas, sistem kapitalistik yang individualistis dan materialistis menjadi pemicu filisida. Sistem ini tidak layak dipertahankan. Kita membutuhkan sistem pengganti yang mampu melindungi ibu dan keluarganya. Islam hadir sebagai solusi yang sempurna, sesuai fitrah manusia, dan menjamin kebahagiaan seorang ibu.
Dalam syariat Islam, seorang ibu tidak dibebani kewajiban mencari nafkah. Nafkah menjadi tanggung jawab suami, wali, atau negara jika ia sebatang kara. Seluruh kebutuhan istri dan anak (sandang, pangan, papan) menjadi tanggung jawab suami, wali, dan penguasa yang ada di tempat itu.
Islam juga sangat memuliakan perempuan. Seorang ibu hamil dan menyusui, misalnya, dibolehkan tidak berpuasa demi menjaga kesehatan dirinya dan bayinya. Islam menjaga ibu dan bayinya sehat lahir batin tak kekurangan apa pun, baik secara fisik maupun psikis.
Negara dalam sistem Islam berkewajiban memastikan para suami bekerja, membuka lapangan kerja yang luas, hingga mengelola tanah mati untuk kesejahteraan masyarakat. Pendidikan dan kesehatan pun dijamin gratis.
Dana untuk membiayai semua itu berasal dari baitul mal, yaitu kas negara dalam sistem Khilafah yang dikelola dari berbagai sumber daya umat, seperti kepemilikan umum, kepemilikan negara, serta pos-pos syar’i lain yang memang diperuntukkan bagi pembiayaan kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, ibu tidak lagi terbebani. Sementara nafkah dari suami cukup untuk kebutuhan pokok. Kondisi ini akan melahirkan ibu yang sehat fisik maupun psikis, sehingga naluri keibuannya berkembang sempurna.
Namun, seorang ibu hanya dapat menjalankan perannya secara utuh dalam sistem Islam. Sistem hidup itu bernama Khilafah, yang menjamin kebutuhan pokok rakyat, membuka lapangan pekerjaan, serta menghapus riba baik daring maupun luring. Wajib bagi setiap muslim untuk mewujudkan kembali negara yang menerapkan syariat Islam sebagaimana dahulu Rasulullah mendirikannya.
Jika negara aman, damai, dan tenteram, kasus filisida tidak akan berulang. Sebaliknya, para ibu akan menjadi sosok yang bahagia, siap mencetak generasi takwa dan pemimpin peradaban. [US]
Baca juga:

0 Comments: