Menyelamatkan Rakyat, Bukan Sekadar Mengejar Angka
Oleh. Ummu Anjaly, S.K.M
(Pegiat Literasi)
SSCQMedia.Com — Pemerintah telah mengambil langkah besar. Menteri Keuangan menarik dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk diputar melalui perbankan. Tujuannya agar dana itu menjadi kredit bagi dunia usaha sehingga roda ekonomi bisa berputar lebih cepat. Targetnya jelas, mengejar pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, naik dari capaian saat ini yang hanya 5,12 persen (CNBCIndonesia.com, 18 September 2025).
Namun, langkah tersebut segera menuai kritik. Banyak ekonom menilai kebijakan ini tidak menjawab akar persoalan. Mengalirkan uang ke bank tidak otomatis menyelesaikan kerumitan ekonomi Indonesia. Apalagi, masalah yang dihadapi bukan sekadar kurangnya modal, melainkan rapuhnya fondasi sistem yang saat ini dijalankan (Tempo.co, 18 September 2025).
Luka Ekonomi yang Terabaikan
Kondisi ekonomi masyarakat menunjukkan tanda-tanda serius. Daya beli rakyat masih lemah. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama PDB justru lesu. Nilai rupiah kian tertekan terhadap dolar, menambah beban impor dan industri yang bergantung pada bahan baku luar negeri.
Ironisnya, banyak pekerja kehilangan mata pencaharian akibat gelombang PHK, khususnya di sektor manufaktur dan start-up digital. Rasa aman rakyat terhadap masa depan pun kian rapuh. Data yang lebih mengiris hati datang dari menurunnya jumlah kelas menengah, sekitar 9 juta orang kembali jatuh ke kelompok rentan miskin.
Lebih parah lagi, menurut standar Bank Dunia, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia kini masuk kategori miskin atau rentan miskin. Itu artinya mayoritas rakyat hidup dalam tekanan, berjuang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Utang dan Pajak Beban yang Menyesakkan
Di tengah kesulitan rakyat, beban keuangan negara juga kian berat. Utang pemerintah yang jatuh tempo sudah mencapai Rp800 triliun, belum termasuk bunga yang menembus lebih dari Rp500 triliun. Pajak yang terus digencarkan justru terasa mencekik masyarakat yang penghasilannya tak seberapa.
Dua instrumen utama ekonomi kapitalis, utang berbasis riba dan pajak, malah semakin menjerat bukannya menolong. Sementara itu, kekayaan alam negeri ini tetap saja lebih banyak dikuasai pihak asing.
Pertumbuhan Ekonomi yang Menipu
Pertumbuhan ekonomi sering diagung-agungkan sebagai tolok ukur keberhasilan. Padahal, angka pertumbuhan hanyalah ukuran rata-rata. Ia bisa tampak indah di atas kertas, meski di baliknya rakyat kecil menjerit. Misalnya, bila segelintir orang kaya meningkatkan belanja mereka, sementara mayoritas rakyat justru menahan konsumsi, angka pertumbuhan tetap bisa naik.
Di sinilah letak paradoks ekonomi kita. Secara makro, pertumbuhan terlihat baik. Tetapi di tingkat rumah tangga, ketimpangan makin tajam, kemiskinan makin luas. Jika pemerintah terus menjadikan pertumbuhan sebagai satu-satunya patokan, kebijakan yang lahir akan bias, hanya menguntungkan elit tetapi menelantarkan rakyat banyak.
Kesejahteraan sejati mestinya diukur dari distribusi, bukan sekadar jumlah. Indikator seperti angka kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan akses terhadap layanan dasar seharusnya lebih diutamakan. Tanpa itu, kebijakan ekonomi hanya jadi permainan angka, sementara realita hidup rakyat tetap pahit.
Sayangnya, pemerintah justru melanjutkan pola lama, menggelontorkan Rp200 triliun dengan pendekatan neoliberal. Risiko besar mengintai. Dana rakyat bisa hilang percuma dalam instrumen spekulatif, atau malah tersedot ke proyek-proyek milik segelintir oligarki.
Islam Menawarkan Jalan Keluar
Dalam suasana penuh kebuntuan inilah, gagasan Islam hadir dengan solusi yang menyentuh akar masalah. Pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama dan pemikir Islam abad ke-20, menegaskan bahwa masalah utama bukan pada jumlah kekayaan, tetapi distribusinya.
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: milik individu, milik umum, dan milik negara. Sumber daya vital seperti listrik, air, tambang, harus dikelola negara untuk rakyat, bukan diserahkan ke swasta atau asing. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Kesejahteraan dalam Islam tidak diukur dari total konsumsi nasional, tetapi dari terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga: pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara berperan aktif menjamin pemenuhan itu, bukan hanya membiarkan pasar menentukan nasib rakyat.
Sistem kapitalis menjadikan riba sebagai fondasi. Padahal, Allah sudah jelas mengharamkan riba karena merusak keseimbangan. Riba menciptakan uang dari uang tanpa aktivitas produktif. Sebagai gantinya, Islam mendorong akad berbasis kerja sama dan keadilan, seperti mudharabah atau bagi hasil.
Islam juga menekankan pentingnya perputaran harta. Kekayaan tidak boleh hanya beredar di kalangan orang kaya. Zakat, sedekah, wakaf, hibah, semuanya menjadi mekanisme agar kekayaan berpindah tangan, meringankan beban mereka yang lemah.
Negara yang Hadir untuk Rakyat
Islam tidak membiarkan rakyat berjalan sendiri. Negara wajib hadir membuka lapangan kerja, memanfaatkan tanah terlantar, memberi kemudahan usaha, hingga memberi subsidi bagi sektor penting seperti pertanian. Semua dilakukan dengan orientasi keberkahan, bukan sekadar pertumbuhan angka.
Dalam pandangan Islam, ekonomi yang benar bukan hanya berputar, tetapi menghadirkan keadilan. Negara harus memastikan setiap individu merasakan hasil pembangunan, bukan hanya segelintir orang.
Kita harus jujur, kapitalisme telah gagal memberi kesejahteraan bagi mayoritas rakyat. Utang menumpuk, pajak mencekik, daya beli melemah, sementara oligarki kian kuat. Dalam kondisi ini, menoleh kepada Islam bukanlah nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak.
Firman Allah menegaskan, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS al-Hasyr [59]: 7). Dan janji-Nya jelas, jika penduduk beriman dan bertakwa, keberkahan langit dan bumi akan dicurahkan.
Maka, di tengah krisis multidimensi ini, sistem ekonomi Islam dengan kerangka Khilafah bukan sekadar utopia. Ia adalah jalan nyata untuk menegakkan keadilan, membebaskan rakyat dari jeratan utang dan pajak, serta mengembalikan martabat negeri. []
Baca juga:

0 Comments: