Headlines
Loading...
Media Relevan, Bukan Sekadar Viral

Media Relevan, Bukan Sekadar Viral

Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Di tengah persaingan digital yang makin ketat, media lokal dituntut untuk lebih dari sekadar mengejar viral. Konten berdampak dipandang sebagai solusi agar media tetap relevan dan berkelanjutan. Isu ini mengemuka dalam diskusi “Membangun Konten Berdampak untuk Ekosistem Informasi Publik” pada Jabar Media Summit 2025, Kamis (11/9), di Holiday Inn Pasteur, Kota Bandung.

General Manager Harapan Rakyat, Subagja Hamara, menegaskan bahwa konten berdampak harus menyentuh kepentingan publik, akurat, relevan, dan mudah dipahami. Pesan itu jelas: media tidak boleh hanya menjadi penggembira, melainkan pemandu masyarakat dengan informasi yang bermanfaat.
(Share News, 11/9/2025)

Isu ini menjadi tantangan besar. Media lokal perlu menemukan ruhnya kembali. Hadir bukan sekadar ramai, tetapi berarti.

Ahli komunikasi, Prof. Burhan Bungin, dalam Sosiologi Komunikasi (2022), menyebut bahwa konten bermakna adalah konten yang menata persepsi publik ke arah yang lebih baik. Jika media hanya mengejar viral, yang lahir bukanlah pengetahuan, melainkan kegaduhan. Dari sini jelas, garis besar masalah kita adalah media kerap tergoda kecepatan dan popularitas, padahal masyarakat menunggu kedalaman dan manfaat.

Media dalam Cengkeraman Kapitalisme

Kita tidak bisa menutup mata. Media dalam sistem kapitalisme sering tersandera kepentingan modal. Konten dibentuk untuk melayani pasar, bukan untuk mendidik. Fungsi kontrol sosial hilang, arah perjuangan lenyap.

Lebih jauh, kapitalisme melahirkan media sosial yang dipenuhi konten sekuler-liberal. Anak muda menjadi sasaran utama. Banyak dari mereka yang semula berpegang pada syariat, perlahan bergeser karena terpapar interaksi digital. Seseorang yang awalnya berhijab syar’i bisa berubah hanya karena bergaul di ruang maya dengan pola pikir liberal.

Fakta terbaru menunjukkan betapa rawannya ruang digital. Platform X kini membuka ruang untuk konten pornografi. Sebelum aturan itu pun, berbagai media sosial sudah sarat konten tidak senonoh. Semua itu bisa diakses dengan mudah, tanpa batas usia.

Bahaya makin jelas ketika istilah “berbahaya” dimonopoli tafsir kapitalisme. Konten dakwah Islam kerap dilabeli “radikal” lalu diblokir. Namun, konten pornografi justru dibiarkan. Ini bukti standar ganda. Media yang seharusnya menjaga moral publik justru menjadi pintu masuk kerusakan pemikiran.

Solusi Islam: Media sebagai Suara Kebenaran

Islam tidak menolak teknologi. Media sosial adalah sarana yang bisa digunakan untuk kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan urgensi menyebarkan kebenaran dengan apa pun sarana yang tersedia. Jika dulu dakwah menyebar lewat perjalanan jauh, kini dakwah bisa menjangkau dunia hanya lewat layar.

Dalam Islam, negara wajib mengarahkan media untuk mendukung amar makruf nahi mungkar. Konten positif harus dikembangkan. Konten haram seperti pornografi wajib dicegah. Negara bertugas melindungi generasi dari racun pemikiran.

Pada masa Khilafah, media berfungsi sebagai pengeras suara dakwah Islam. Ia bukan alat mencari sensasi, melainkan pembawa pencerahan. Khalifah mendukung para ulama, cendekiawan, dan penulis untuk menyalurkan pemikiran Islam melalui berbagai sarana yang ada.

Dengan paradigma Islam, media menjadi pilar kebangkitan. Ia mengedukasi, menuntun, dan menjaga umat. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Penutup

Maka, sudah saatnya kita berhenti mengejar viral tanpa arah. Media harus kembali menjadi pengemban risalah kebenaran. Relevan karena membawa makna, bukan hanya ramai sesaat. []

Baca juga:

0 Comments: