Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia)
SSCQMedia.Com — Indonesia kembali digemparkan dengan temuan puluhan potongan tubuh di Mojokerto. Setelah diselidiki, potongan itu milik seorang wanita muda. Lebih jauh, polisi menemukan ratusan potongan lain yang disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya. Pelakunya adalah kekasih korban sendiri, yang tega melakukan mutilasi karena kesal tidak dibukakan pintu dan terbebani tuntutan ekonomi (Detik.com, 16/9/2025; Kompas, 8/9/2025; Metrotvnews, 9/9/2025).
Kasus ini membuka fakta getir tren kohabitasi atau kumpul kebo. Fenomena tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan semakin marak di kalangan muda. Banyak yang berdalih ingin saling mengenal sebelum menikah, atau sekadar alasan praktis demi efisiensi biaya hidup.
Psikolog Virginia Hanny (Validnews, 14/7/2024) menyebut tiga hal yang dipertimbangkan pasangan sebelum kohabitasi, yakni kerelaan kedua belah pihak, kesepakatan lokasi dan biaya hidup, serta tujuan jelas dari tinggal bersama. Namun, fakta tragis ini membuktikan bahwa hubungan tanpa ikatan sakral justru rentan melahirkan malapetaka.
Liberalisme Pergaulan
Kisah mutilasi ini bukan sekadar kasus kriminal. Ia adalah potret nyata dari rapuhnya pondasi moral generasi. Normalisasi kohabitasi menunjukkan bahwa masyarakat makin permisif terhadap gaya hidup liberal. Sejumlah ahli sosiologi menegaskan bahwa pola ini merupakan buah dari budaya sekularisme yang menyingkirkan nilai agama dari ruang publik. Dalam masyarakat sekuler, pernikahan dianggap beban, sementara kumpul kebo dinilai wajar.
Sekularisme melahirkan generasi yang merasa bebas menentukan standar hidup. Marah, cinta, atau kecewa dilampiaskan tanpa peduli halal-haram. Ketika negara tidak menjadikan agama sebagai pondasi aturan, penyimpangan sosial hanya akan dianggap kriminal jika sudah menimbulkan korban.
Fenomena pacaran dan kohabitasi hari ini telah menjadi tren toksik. Media menggambarkannya sebagai wajar. Lingkungan mendiamkan. Negara pun abai. Alhasil, anak muda tumbuh tanpa pagar syariat. Mereka menganggap cinta adalah alasan sah untuk tinggal bersama. Padahal, tanpa ikatan pernikahan, hubungan itu hanya meninggalkan luka, terutama bagi perempuan.
Jika sekularisme terus menguasai, kita hanya menunggu waktu lahirnya tragedi-tragedi lain. Mutilasi hanyalah puncak gunung es dari rusaknya pergaulan bebas.
Solusi Islam: Membentengi Generasi
Islam menawarkan solusi komprehensif. Pertama, individu harus ditanamkan iman yang kuat agar menjauhi pergaulan bebas. Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Rasulullah saw. mencontohkan bahwa cinta sejati hanya terikat dalam pernikahan yang sah.
Kedua, masyarakat harus aktif melakukan amar makruf nahi mungkar. Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Kontrol sosial mencegah tumbuh suburnya perilaku menyimpang.
Islam juga menempatkan negara sebagai pelindung umat. Negara wajib mendidik rakyat dengan kurikulum berbasis akidah Islam, membentuk generasi yang berkepribadian islami. Negara melarang segala bentuk zina, pacaran, dan kohabitasi. Bahkan, negara wajib menutup akses pornografi, minuman keras, narkoba, dan hiburan yang merusak moral.
Dalam sistem Islam, sanksi hukum juga ditegakkan tegas. Pembunuhan disengaja dikenakan qishas, yaitu hukuman mati bagi pelaku jika wali korban tidak memaafkan (HR. Tirmidzi). Efek jera dari hukum Islam terbukti mampu menjaga masyarakat dari kriminalitas.
Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sistem hidup yang lengkap. Ia mengatur keluarga, masyarakat, hingga negara. Pendidikan berbasis akidah melahirkan anak-anak yang taat. Masyarakat yang terbiasa amar makruf nahi mungkar menciptakan lingkungan sehat. Negara yang menegakkan hukum Islam melindungi rakyat dari penyimpangan.
Sejarah membuktikan, selama 13 abad peradaban Islam memimpin dunia dengan melahirkan ulama, ilmuwan, dan generasi tangguh. Hanya dengan kembali pada sistem Islam kafah, kita bisa melindungi generasi dari racun liberalisme. Generasi emas tidak lahir dari sekularisme, melainkan dari ketakwaan yang terjaga oleh sistem Islam. [My]
Baca juga:

0 Comments: