Headlines
Loading...

Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia)

SSCQMedia.Com — Sungguh menyedihkan, banjir terjadi hampir di setiap tempat. Banjir bandang melanda Bali. Sebanyak 123 titik terdampak di enam kabupaten/kota. Delapan belas orang meninggal, ratusan orang mengungsi. Tukad Badung menyempit karena bangunan padat. Hutan di hulu Gunung Batur kini hanya tersisa 1.200 hektare dari total 49.000 hektare. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah akomodasi wisata melonjak dua kali lipat (Kompas, 7/9/2025; MetroTV, 8/9/2025; BeritaSatu, 8/9/2025; Kumparan, 9/9/2025).

Fakta ini menampar kita. Alih fungsi lahan besar-besaran terbukti membawa petaka. Sawah dan subak hilang berganti hotel, vila, dan bangunan wisata. Sungai dipersempit demi investasi.

Ahli lingkungan pun mengingatkan. Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, menegaskan bahwa cuaca ekstrem, alih fungsi lahan, dan sampah menjadi penyebab utama banjir Bali (Kumparan, 9/9/2025). Pesan itu jelas: kita sedang menentang keseimbangan alam.

Penyebab banjir bukan sekadar hujan deras. Masalah utamanya adalah rakusnya alih fungsi lahan. RTRW hanya formalitas. Bangunan berdiri di bantaran sungai.

Kapitalisme, Luka Lingkungan

Sistem kapitalisme menjadikan uang sebagai pusat pembangunan. Pariwisata digenjot demi devisa. Alam dikorbankan. Manusia hanya dianggap angka dalam perhitungan ekonomi.

Kapitalisme membangun tanpa peduli harmoni. Ia mengabaikan amanah menjaga alam. Ketika keuntungan jadi tujuan utama, hutan pun habis, sungai tersumbat, dan rakyat menjerit.

Sistem ini melahirkan bencana berulang. Banjir datang lagi dan lagi. Nyawa melayang, namun roda investasi terus berputar. Inilah wajah pembangunan sekuler-liberal.

Islam Menawarkan Jalan Lain

Islam memandang alam sebagai amanah Allah. Air, hutan, dan sungai adalah milik umum, bukan objek dagangan. Allah mengingatkan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia...” (QS Ar-Rum: 41).

Negara wajib menjaga tata ruang dan melindungi rakyat. Islam tidak menjadikan pariwisata sumber utama pemasukan. Keuangan negara diatur dengan mekanisme syariat, bukan kapitalisasi lahan.

Islam menata pembangunan dengan syariat. Setiap kebijakan harus selaras dengan kelestarian. Jika sebuah proyek merusak alam, meski menguntungkan, ia akan ditolak.

Negara Islam mengatur kawasan dengan rapi. Permukiman, industri, lahan pertanian, dan hutan punya batas jelas. Sungai dilindungi. Warga yang tinggal di bantaran dipindahkan ke tempat yang layak.

Konsep hima diterapkan, yaitu kawasan lindung yang tak boleh dieksploitasi. Rasulullah saw. pernah menetapkan kawasan An-Naqi’ di Madinah khusus untuk unta kaum muslim (HR Abu Dawud). Inilah dasar hutan lindung masa kini.

Islam juga menegakkan mitigasi. Negara mengawasi fungsi bendungan, sungai, dan resapan. Pengerukan sungai dilakukan bila terjadi sedimentasi. Hutan gundul ditanami kembali.

Jika banjir tetap terjadi, negara segera mengevakuasi rakyat, menyediakan pangan, obat, tempat tinggal, dan pendidikan di pengungsian. Semua dibiayai dari baitulmal.

Negara Khilafah juga menanamkan kesadaran kolektif. Masyarakat diajari menjaga sungai, tidak membuang sampah, serta aktif mengingatkan satu sama lain.

Amanah yang Terlupakan

Banjir Bali adalah peringatan keras. Alam menolak diperlakukan semena-mena. Selama kita tunduk pada kapitalisme, bencana akan berulang.

Islam hadir bukan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi sistem hidup. Sistem yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Jika kita ingin bebas dari banjir bandang yang berulang, jawabannya hanya satu, yaitu kembali pada aturan Allah dengan sistem Islam yang menyeluruh. [My]

Baca juga:

0 Comments: