Headlines
Loading...
Ketika Pajak Wajib, SDA Justru Dikuasai Swasta

Ketika Pajak Wajib, SDA Justru Dikuasai Swasta

Oleh. Dhevi Firdausi, ST.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Rakyat mulai sadar bahwa pemerintah berlebihan dalam menarik pajak. Segala sesuatu ada pajaknya. Sementara itu, uang hasil pajak tidak jelas digunakan untuk apa. Kesadaran masyarakat ini mengundang respons dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Seperti dikutip dari laman detikFinance, Sri Mulyani menyebut bahwa manfaat membayar pajak sama halnya dengan zakat dan wakaf.

Menurutnya, setiap rezeki dan harta yang dimiliki ada hak orang lain yang bisa disalurkan melalui tiga jalan: zakat, wakaf, dan pajak. Pajak, katanya, akan kembali kepada yang membutuhkan (detikFinance, 13/8/2025). Pernyataan ini rupanya bertujuan untuk lebih menggenjot penerimaan negara dari pajak.

Di Indonesia, pajak menjadi tumpuan utama dan pertama dalam pemasukan APBN. Sebagai sumber utama, pemerintah berusaha terus menggalakkan pembayaran pajak. Hal ini terlihat dari upaya menaikkan tarif pajak yang sudah ada, bahkan hingga berkali-kali lipat.

Dampak nyata yang dirasakan masyarakat adalah kenaikan tarif PBB. Di sisi lain, pemerintah juga mencari sumber pajak baru, salah satunya pajak warisan. Padahal rakyat sudah dalam kondisi ekonomi sulit. Di tengah biaya hidup tinggi dan harga sembako mahal, memiliki rumah saja sudah berat, apalagi harus menanggung beban pajak yang makin banyak. Akibatnya, rakyat yang miskin semakin melarat.

Pajak dalam Kapitalisme 

Dalam sistem kapitalisme, pajak dijadikan tulang punggung ekonomi. Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah menyerahkan Sumber Daya Alam (SDA) kepada perusahaan swasta, terutama asing. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena yang meraup keuntungan hanyalah para kapitalis, sementara rakyat hanya menerima dampak buruknya—mulai dari limbah hingga beban pajak.

Kapitalisme yang lahir dari sekularisme menyingkirkan agama dari kehidupan. Materi dan keuntungan menjadi tujuan utama. Ketika negara menganut sistem ini, maka aspek untung-rugi lebih diprioritaskan ketimbang kesejahteraan rakyat. Maka tidak heran jika aset-aset SDA dijual kepada swasta.

Rakyat pun menjerit, karena dicekik pajak di segala lini, sementara para kapitalis makin kaya. Contohnya, anggota DPR selain gaji pokok bulanan juga menerima banyak tunjangan—dari sembako hingga listrik—dengan total puluhan juta rupiah setiap bulan. Bahkan baru-baru ini, rakyat dikejutkan dengan kebijakan kenaikan gaji DPR hingga Rp3 juta per hari, di tengah kesulitan ekonomi rakyat.

Sementara itu, masyarakat harus rutin membayar pajak. Dalam kapitalisme, pajak bersifat zalim karena hampir semua barang dikenai pajak, bahkan permen sekali pun. Dana pajak pun lebih sering digunakan untuk proyek yang menguntungkan kapitalis, bukan untuk rakyat kecil.

Kebijakan pajak juga tebang pilih. Misalnya, tax amnesty yang lebih banyak menguntungkan perusahaan besar dengan omzet triliunan rupiah.

Pandangan Islam

Sebagai seorang muslim, kita tentu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sebagai pedoman hidup. Islam adalah agama sempurna yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga sosial dan ekonomi.

Dalam Islam, zakat adalah kewajiban bagi muslim kaya yang hartanya mencapai nisab dan haul. Wakaf hukumnya sunah, bukan wajib. Sedangkan pajak (dharibah) hanya dipungut dari muslim kaya ketika kas negara kosong, dan sifatnya temporer sesuai kebutuhan mendesak.

Pada masa Khilafah Islam, zakat menjadi salah satu sumber pemasukan Baitul Mal. Penerima zakat sudah ditetapkan syariat, yaitu delapan asnaf sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 60: fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fii sabilillah, dan ibnu sabil.

Dana zakat tidak boleh digunakan untuk pembangunan infrastruktur, tunjangan pejabat, apalagi kepentingan kapitalis.

Islam juga memiliki sumber pemasukan lain, yakni pengelolaan SDA. SDA wajib dikelola negara, bukan swasta atau asing. Jika dikelola dengan benar, hasilnya cukup untuk menjamin kebutuhan rakyat, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga keamanan.

Dengan demikian, sistem ekonomi Islam dalam naungan Khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejarah mencatat lebih dari 13 abad umat Islam hidup sebagai khairu ummah—umat terbaik di dunia. [US]

Baca juga:

0 Comments: