Headlines
Loading...
Kapitalisme Biang Tragedi Ibu dan Anak

Kapitalisme Biang Tragedi Ibu dan Anak

Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia)

SSCQMedia.Com — KPAI menyoroti tragedi memilukan di Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu mengakhiri hidupnya setelah diduga meracuni dua anaknya. KPAI mengategorikan peristiwa ini sebagai filisida maternal. Pada Agustus 2025, kasus serupa terjadi di Batang, Jawa Tengah. Dua anak perempuan, usia enam dan tiga tahun, ditemukan tewas di Pantai Sigandu. Sang ibu, berinisial VM (31), bersembunyi di toilet portabel dekat lokasi kejadian (AntaraNews, 23/8/2025; MetroTV, 25/8/2025).

Peristiwa ini bukan sekadar kisah duka keluarga. Ia adalah cermin dari sistem kehidupan yang sakit. Menurut psikolog forensik Reza Indragiri (Metrotvnews, 25/8/2025), kasus filisida tidak bisa dipandang hanya dari aspek individu. Ada beban berat yang menekan: masalah ekonomi, rumah tangga, hingga tekanan sosial. Ketika sistem gagal melindungi, ibu yang seharusnya menjadi pelindung justru bisa berubah menjadi ancaman bagi anaknya sendiri.

Kapitalisme dan Sekularisme Biangnya

Ibu adalah sumber kasih sayang terbesar bagi anak. Jika seorang ibu tega membunuh anaknya, itu tanda ada kerusakan mendasar. Faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakadilan, serta beban hidup yang berat berjalin erat menjadi pemicu.

BBC Indonesia mencatat, mayoritas ibu pelaku filisida berasal dari keluarga miskin dan rumah tangga tidak harmonis. Ini bukan sekadar krisis individu, melainkan krisis sistemik dalam kapitalisme sekuler yang meminggirkan agama dan menyingkirkan nilai keibuan.

Kapitalisme menuntut ibu ikut mencari nafkah di tengah harga kebutuhan yang melambung. Sekularisme memenjarakan agama hanya di ruang ibadah, tidak hadir dalam penyelesaian masalah hidup. Akibatnya, ibu terhimpit beban ganda. Fitrah keibuan terganggu. Tekanan demi tekanan menggerus kewarasan, hingga lahirlah tragedi. Selama sistem ini dipertahankan, kasus serupa bisa terus berulang.

Solusi Islam

Islam menjamin ibu bahagia dalam perannya. Nafkah adalah tanggung jawab suami atau wali, bukan ibu. Negara wajib memastikan ayah bekerja, sementara pendidikan dan kesehatan disediakan gratis. Rasulullah saw. memuliakan perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu. Bahkan, saat hamil dan menyusui, mereka mendapat keringanan ibadah sebagai bentuk perlindungan.

Dalam Islam, negara berperan langsung menghapus faktor sistemis yang menekan ibu. Negara menegakkan keadilan ekonomi, menjamin nafkah, serta menjaga ketakwaan masyarakat. Allah Swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56).

Islam memandang ibu sebagai pilar utama keluarga dan generasi. Oleh karena itu, Islam menempatkan beban nafkah sepenuhnya di pundak ayah atau wali, bukan ibu. Seorang ibu diberikan kemuliaan untuk fokus mendidik anak, bukan dipaksa menanggung beban ekonomi. Negara dalam Islam berfungsi sebagai pelindung, memastikan setiap keluarga terpenuhi kebutuhan dasarnya, meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Selain itu, Islam menanamkan akidah yang kuat, sehingga setiap individu mampu menghadapi ujian hidup dengan sabar dan tawakal. Lingkungan masyarakat pun dibangun atas dasar amar makruf nahi mungkar, saling menguatkan, bukan saling menekan. Dengan demikian, tragedi filisida tidak akan menemukan ruangnya, sebab ibu tidak pernah sendirian. Negara, masyarakat, dan keluarga bahu-membahu menjaga fitrah keibuan tetap mulia.

Hanya dengan sistem Islam kafah, ibu kembali menjadi pelindung, bukan ancaman bagi anak-anaknya.

Dengan aturan Islam kafah, ibu akan kembali pada fitrahnya sebagai pelindung anak. Mereka tidak lagi terbebani urusan nafkah, tidak lagi sendirian menghadapi tekanan hidup. Negara yang menjalankan syariat akan menjaga ibu agar tetap mulia, anak-anak tetap aman, dan tragedi filisida tidak terulang.

Wallahualam. [My]


Baca juga:

0 Comments: