Oleh. Neni Arini
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.com — “Ayah... kenapa adikku diam saja? Kenapa dia tidak menangis lagi seperti kemarin?” suara seorang bocah kecil terdengar lirih, memegang ujung baju ayahnya yang sedang menggendong bungkusan kain putih itu. Lelaki itu terhenti sejenak, menatap wajah anak sulungnya yang polos, lalu menahan sesak di dada. Matanya memerah, bibirnya bergetar, namun yang keluar hanya bisikan lirih, “Adikmu sudah tidak merasakan sakit lagi, Nak... dia sudah pulang ke tempat yang lebih indah daripada dunia ini.”
Langkahnya gontai, menyusuri jalan berdebu dengan pelukan terakhir yang tak pernah ia bayangkan secepat ini. Orang-orang di sekeliling hanya bisa menunduk, beberapa menangis, sebagian lagi meremas dada sendiri menahan perih. Sementara itu, anak kecil itu masih terus bertanya, “Ayah... apakah aku juga akan ditinggalkan seperti ini?” Pertanyaan polos itu membuat sang ayah hampir roboh. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan, menetes ke kain putih yang ia peluk erat, seakan ingin menahan waktu agar malaikat tidak benar-benar membawa buah hatinya pergi.
Langkah-langkah berat itu akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang yang kini penuh dengan gundukan. Udara sore membawa aroma debu bercampur tangis pilu. Di sana, liang kecil sudah menunggu. Liang yang akan menjadi tempat istirahat terakhir si mungil, yang bahkan belum sempat mengenal dunia lebih lama.
Sang ayah menunduk, mencium lembut kain putih yang membungkus tubuh rapuh itu. “Nak... ayah titipkan engkau kepada Allah, Rabb yang Maha Penyayang. Ayah percaya, surga sudah menanti senyummu.” Suaranya bergetar, patah, namun penuh pasrah.
Anak sulungnya, si bocah kecil dengan mata basah, menggenggam tangan ayahnya erat. “Ayah... kalau adik di surga, apakah dia akan bermain? Apakah dia akan tersenyum lagi?”
Sang ayah terdiam sejenak, lalu menunduk menatap wajah polos itu. “Ya, Nak... adikmu akan bermain di taman yang indah. Ada sungai yang mengalir air susu di dalamnya, ada burung-burung putih yang indah, dan ada mainan yang tidak pernah rusak. Dia akan tertawa bahagia... lebih indah dari kemarin.”
Mata anak itu berbinar di balik tangisnya. Seakan dalam imajinasi polosnya, ia sudah bisa melihat adiknya berlari-lari di taman hijau, tertawa tanpa henti, tanpa rasa sakit.
Prosesi pemakaman berlangsung singkat. Doa-doa dilantunkan oleh suara-suara lirih yang menembus langit sore. Sang ayah berdiri kaku, tubuhnya gemetar, seolah setiap tanah yang menutup liang itu juga menimbun sebagian dari jiwanya.
Namun di balik kesedihan, ada keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Angin berhembus lembut, membawa ketenangan yang sulit dijelaskan. Hati sang ayah seperti mendengar bisikan lembut:
“Aku titipkan anakmu di taman surga-Ku. Jangan bersedih, karena ia akan menunggumu dengan senyum terindah.”
Malamnya, ketika semua orang telah kembali, sang ayah duduk di beranda rumah yang sunyi. Anak sulungnya duduk di pangkuan, menatap bintang-bintang.
“Ayah... apakah bintang itu rumah adik?” tanyanya dengan suara lirih.
Sang ayah tersenyum tipis, meski matanya masih sembab. “Mungkin, Nak. Mungkin salah satu bintang itu adalah cahaya adikmu, yang ingin bilang kalau dia bahagia di sana.”
Bocah itu menatap ke langit, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku tidak takut lagi, Ayah. Aku akan selalu melihat bintang, supaya aku tidak merasa ditinggalkan.”
Sang ayah merangkulnya, memeluk erat, menahan perih di dada yang seakan tak pernah habis. Namun dalam dekapan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa meskipun kehilangan, meskipun separuh jiwanya terasa hilang, ia harus tetap kuat. Karena di balik duka, ada janji Allah yang pasti: surga menanti bagi mereka yang sabar.
Dan di setiap malam setelahnya, bintang di langit tak lagi sekadar cahaya. Bagi sang ayah dan putra kecilnya, bintang itu adalah jejak surga, jejak cinta seorang anak yang lebih dulu pulang, menunggu di taman abadi dengan senyum yang tak akan pernah pudar. [My]
Baca juga:

0 Comments: