Oleh. D’Safira
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) mengungkapkan kenyataan yang mengejutkan sekaligus menyedihkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dan pertama di Asia dalam hal food waste, yakni makanan yang terbuang sia-sia padahal masih layak konsumsi.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan refleksi dari krisis nilai yang tengah melanda masyarakat kita (finance.detik.com, 19/3/2025).
Fenomena food waste tidak dapat dilepaskan dari pola hidup konsumtif yang makin mengakar, terutama di kalangan generasi muda seperti Gen Z dan Gen Y. Gaya hidup yang dibentuk oleh arus kapitalisme sekuler telah menjadikan konsumsi sebagai simbol status dan kesenangan sesaat.
Makanan bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi dengan bijak, melainkan sebagai komoditas tren yang bisa dibeli, dicoba, dan dibuang begitu saja jika tidak sesuai selera. Contoh paling nyata adalah kebiasaan membeli makanan viral hanya demi eksistensi di media sosial, tanpa mempertimbangkan nilai gizi, keberlanjutan, atau etika konsumsi.
Padahal, dalam Islam setiap tindakan konsumsi memiliki dimensi spiritual dan hukum yang tidak bisa diabaikan. Allah Swt. menegaskan dalam Surah Al-Hijr ayat 92–93 bahwa manusia wajib mengikuti aturan-Nya dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal makan dan minum.
Dalam Surah Al-Isra ayat 26, larangan terhadap pemborosan ditegaskan secara eksplisit. Membuang makanan bukan hanya tindakan tidak bertanggung jawab, tetapi juga bentuk kemaksiatan yang berdampak luas, baik secara sosial maupun ekologis.
Ironisnya, budaya food waste justru tumbuh subur di tengah masyarakat yang makin sekuler, di mana prinsip amar makruf nahi munkar mulai kehilangan tempat. Fungsi sosial untuk saling menasihati dalam kebaikan sering kali dianggap sebagai gangguan atau campur tangan yang tidak diinginkan.
Ketika ada individu yang mencoba mengingatkan, respons yang muncul justru berupa penolakan, cibiran, atau bahkan serangan balik. Akibatnya, ancaman food waste dan food insecurity tidak dipahami secara mendalam, dan masyarakat menjadi makin apatis terhadap dampak jangka panjangnya.
Dalam Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk saling menjaga dalam ketaatan. Prinsip amar makruf nahi munkar bukan sekadar ajaran moral, melainkan kebutuhan sosial yang mendesak.
Orang lain adalah cermin yang dapat membantu kita melihat dan memperbaiki kesalahan. Ketika masyarakat saling mengingatkan dengan penuh kasih dan hikmah, terciptalah lingkungan yang lebih sehat, harmonis, dan berkeadilan.
Krisis food waste dan food insecurity juga tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang tidak berbasis nilai-nilai Islam. Ketika generasi dibesarkan tanpa fondasi spiritual yang kuat, pola pikir dan sikap mereka cenderung mengikuti arus materialisme dan individualisme.
Pendidikan yang hanya berorientasi pada capaian akademik tanpa membentuk karakter Islami akan menghasilkan individu yang cerdas secara teknis, tetapi miskin empati dan tanggung jawab sosial.
Lebih menyedihkan lagi, ketika kita di sini sibuk membuang makanan demi gaya hidup, saudara-saudara kita di Palestina dan berbagai belahan dunia lainnya tengah berjuang melawan kelaparan dan malnutrisi.
Ketimpangan ini bukan hanya soal distribusi pangan, tetapi juga soal sistem global yang tidak adil dan tidak berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan serta spiritual. Selama negara masih menerapkan sistem sekuler kapitalistik, persoalan ini akan terus berulang dan tak kunjung terselesaikan.
Maka, solusi yang dibutuhkan bukan hanya perubahan perilaku individu, tetapi juga transformasi sistemik yang menyentuh akar persoalan. Kita perlu membangun kembali kesadaran kolektif bahwa makanan adalah amanah, bukan sekadar komoditas.
Kita perlu menanamkan nilai-nilai Islam dalam pendidikan, kebijakan publik, dan budaya konsumsi agar tercipta masyarakat yang bertanggung jawab, adil, dan peduli terhadap sesama.
[An]
Baca juga:

0 Comments: