Oleh. Q. Rosa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Ketimpangan, ketidakadilan, dan kesejahteraan menjadi isu serta pemicu aksi demo dan protes yang mewarnai Hari Kemerdekaan bulan Agustus lalu. Bagaimana tidak, saat rakyat mengalami berbagai impitan ekonomi, pajak naik, dan kesulitan hidup, kondisi itu berbanding terbalik dengan gaya hidup anggota dewan yang penuh kesenangan, joget-joget, serta tuntutan gaji tinggi. Situasi makin parah ketika masyarakat menyampaikan kritik dan aspirasi, tetapi respons yang diberikan justru menyinggung dan menyakiti hati rakyat. Inilah yang kemudian memicu gelombang demonstrasi besar sebagai bentuk protes terhadap sikap para penguasa.
Tak ketinggalan, Gen-Z pun ikut merespons kondisi ini. Ada yang terjun langsung ke jalan, ada pula yang memilih cara lain dengan menyalurkan aspirasi melalui media sosial. Sebagaimana disampaikan, “Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 195 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya selama hampir 20 jam saat demo di DPR, Senin (25/8/2025). Pelajar-pelajar tersebut berasal dari Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Mereka mengaku ikut demo untuk menolak kenaikan gaji dan tunjangan DPR.” (inforemaja.id, 02/09/2025).
Menanggapi keterlibatan Gen-Z tersebut, Prof. Rose Mini Agoes Salim, Psikolog Universitas Indonesia, mengamati fenomena meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang ikut aksi demonstrasi. Menurutnya, meskipun demo bisa menjadi ajang belajar menyampaikan pendapat, remaja rentan terprovokasi karena kontrol diri mereka belum matang (inforemaja.id, 02/09/2025).
Dosen Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Faturochman, M.A., juga menilai bahwa keterlibatan generasi muda dalam demonstrasi tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikologis masyarakat yang kian tertekan. Menurutnya, generasi ini tidak apatis, melainkan sedang mencari bentuk ekspresi politik yang sesuai dengan pengalaman sosialnya. Ia menjelaskan bahwa tanpa wadah partisipasi yang sehat, energi kolektif mereka berisiko tereduksi menjadi amarah semata. “Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak apatis, melainkan memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial,” (ugm.ac.id, 08/09/2025).
Hal ini menggambarkan bahwa Gen-Z memiliki potensi besar dalam melakukan perubahan. Mereka tidak apatis, melainkan menunjukkan sensitivitas tinggi atas ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Potensi Gen-Z sebagai Agen Perubahan
Gen-Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi tinggi dan media sosial. Kondisi ini membuat mereka memiliki kemampuan dan kecerdasan mengakses informasi secara global. Meskipun cenderung individualis, mereka terbuka dengan berbagai pemikiran yang berkembang.
Sisi lain yang menonjol dari Gen-Z adalah munculnya gerakan rizomatik di media sosial sebagai bentuk penyaluran aspirasi dan kekhawatiran mereka atas masa depan serta kepedulian terhadap ketidakadilan.
Gerakan rizomatik ini ibarat rimpang yang menjalar ke mana-mana. Satu persoalan jika tidak ditanggapi dengan baik akan meledak, sebagaimana terjadi di Nepal. “Riset tiga akademisi—Amalinda Savirani (UGM), Diatyka Widya Permata Yasih (UI), dan Inaya Rakhmani (UI)—menjelaskan fenomena ini. Generasi pasca-1998 bergerak dengan pola rizomatik. Gerakan mereka tidak linier, tidak terpusat, melainkan menjalar seperti rimpang. Dari satu isu kecil bisa tumbuh cabang protes di berbagai tempat.” (kempalan.com, 13/09/2025).
Jika kita cermati, pengklasifikasian karakteristik Gen-Z berdasarkan psikologi mengarah pada pembentukan nilai dan identitas generasi yang dipengaruhi oleh tahun kelahiran, peristiwa yang terjadi, dan kemajuan teknologi. Hal ini memengaruhi pola pikir, sikap, serta cara mereka merespons berbagai kondisi sosial.
Namun, lingkungan kapitalisme yang materialistis sering kali menyuguhkan pola hidup hedonis di tengah masyarakat. Hal ini dapat mereduksi kesadaran politik sekaligus meminimalkan eskalasi konflik saat mereka merespons persoalan hidup.
Padahal, sejak awal penciptaan, manusia memiliki naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Secara naluriah, manusia dari generasi mana pun akan menolak kezaliman dan ketidakadilan, serta membutuhkan solusi untuk menghilangkannya.
Gerakan rizomatik Gen-Z yang berujung ledakan di Nepal membuktikan hal ini. Saat kezaliman terjadi di depan mata, sementara suara generasi dibungkam dengan melarang 26 platform media sosial populer seperti Facebook, WhatsApp, TikTok, Instagram, dan lainnya, justru lahir protes terhadap korupsi dan nepotisme yang berujung anarkis. Jadi, meskipun ada upaya mereduksi sikap politik generasi muda, pada titik tertentu naluri mereka akan muncul dan tak terbendung.
Islam Mengoptimalkan Potensi Generasi
Islam memandang fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi kehidupan dan menuntut pemenuhan. Baik kebutuhan wajib maupun tidak wajib, semua pemenuhan harus berjalan sesuai dengan aturan Islam, bukan sekadar tuntunan psikologis. Hal ini termasuk sikap dalam merespons kezaliman.
Dalam hal ini, Islam juga mengatur mekanisme muhasabah lil hukkam dengan konsep yang sama sejak Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nahl: 125, dan Rasulullah bersabda:
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya.”
Potensi pemuda dalam Islam sebagai garda terdepan perubahan hakiki harus dimulai dengan edukasi yang d ddk y isandarkan pada akidah Islam. Daya nalar mereka diasah d hpengan kecerdasan politik Islam dan pola sikap islami, sehingga tepat dalam merespons berbagai persoalan, termasuk menghadapi kezaliman para penguasa. [MA]
Baca juga:

0 Comments: