Headlines
Loading...
Dari Jalanan ke Peradaban: Gen Z dan Harapan Perubahan Umat

Dari Jalanan ke Peradaban: Gen Z dan Harapan Perubahan Umat

‎Oleh. Istiana Ayu S R
‎(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—‎Generasi Z atau yang sering disebut Gen Z, lahir sekitar tahun 1997–2012, kini menjadi kelompok besar dalam demografi Indonesia. Menurut data BPS, jumlah pemuda di Indonesia mencapai puluhan juta jiwa, sekitar 27–28% dari total penduduk (BPS, 2024).

‎Mereka lahir di era digital, terbiasa dengan internet, media sosial, dan mobilitas tinggi. Gen Z dikenal sebagai generasi yang kritis, peduli isu sosial, dan tidak segan menyuarakan perubahan. Dengan karakter ini, mereka punya potensi besar untuk menjadi motor kebangkitan umat jika diarahkan ke jalur yang benar.

‎Fakta menunjukkan, Gen Z adalah pengguna aktif media sosial terbesar di Indonesia. Data mencatat lebih dari 130 juta orang Indonesia menggunakan media sosial, dan mayoritas di antaranya adalah anak muda (DataReportal, Januari 2024).

‎Di sisi lain, tantangan ekonomi juga nyata. Tingkat pengangguran pemuda Indonesia (usia 15–24) tercatat sekitar 13,14% pada tahun 2024 (World Bank/FRED, 16 April 2025).

‎Artinya, meskipun punya energi dan semangat besar, banyak di antara mereka yang belum mendapatkan akses pekerjaan layak. Kondisi ini sering membuat frustrasi dan kehilangan arah, sehingga perlu tawaran solusi yang komprehensif.

‎Fenomena serupa juga tampak di berbagai negara. Di Nepal, pada 8 September 2025, ribuan Gen Z turun ke jalan memprotes larangan pemerintah terhadap sejumlah platform media sosial serta korupsi, hingga menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai lebih dari 100 orang (Al Jazeera, 8 September 2025).

‎Aksi ini bahkan memicu pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli setelah gedung parlemen dibakar massa (Britannica, 9 September 2025).

‎Di Kenya, ribuan pemuda menolak kenaikan pajak yang dianggap menindas rakyat dan menuntut keadilan atas kekerasan aparat (OECD Development Matters, 30 April 2025).

‎Di Mali, generasi muda memprotes rencana presiden memperpanjang masa jabatan hingga 2030, dengan tuntutan reformasi politik (Wikipedia, Agustus 2025). Sementara di Bangladesh, pelajar dan pemuda melakukan “Monsoon Uprising” menolak sistem kuota kerja dan menuntut keadilan sosial (India Today, 8 September 2025).

‎Semua contoh ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak lagi hanya jadi penonton, tapi benar-benar siap tampil sebagai motor perubahan sosial dan politik.

‎Di Indonesia sendiri, protes Gen Z semakin terang lewat aksi “17+8 Tuntutan Rakyat”. Sejak akhir Agustus–September 2025 masyarakat sipil, mahasiswa, buruh, dan influencer mengusung 25 tuntutan 17 segera dan 8 jangka panjang yang diarahkan ke pemerintah dan DPR (Wikipedia, 1 September 2025; Tempo, 1 September 2025).

‎Demo mahasiswa di depan Gedung DPR RI pada 9 September 2025 adalah salah satu puncaknya, di mana BEM UI dan beberapa kampus lain menyerahkan dokumen tuntutan itu kepada DPR dan menyuarakan aspirasi publik (UMJ, 9 September 2025; Detik, 9 September 2025).

‎Tuntutan mencakup evaluasi tunjangan anggota dewan, transparansi anggaran, reformasi institusi seperti DPR, serta keadilan atas kasus kekerasan polisi terhadap rakyat (Antara, 3 September 2025; Tempo, 1 September 2025).

‎Aksi ini memperjelas bahwa Gen Z Indonesia bukan hanya ingin perubahan, tapi menuntut reformasi yang nyata dan sistemik. Fenomena protes pemuda di berbagai negara maupun di Indonesia tadi menunjukkan satu hal keresahan mereka nyata, tapi arah perjuangan masih beragam. Ada yang mendorong isu demokrasi, ada yang fokus pada ekonomi, ada pula yang sekadar menolak aturan pemerintah yang dirasa mengekang.

‎Semua itu menggambarkan bahwa energi besar Gen Z sudah ada, namun belum punya panduan yang jelas untuk membawa perubahan ke arah yang benar dan berkelanjutan. Di sinilah pentingnya Islam hadir, bukan hanya sebagai ajaran spiritual, tapi juga sebagai solusi menyeluruh yang bisa menuntun generasi muda menuju perubahan hakiki.

‎Islam sebenarnya memiliki modal besar untuk menjawab keresahan ini. Pertama, pendidikan Islam perlu disajikan dengan lebih relevan. Kurikulum pesantren dan madrasah bisa diperkaya dengan literasi digital, kewirausahaan syariah, dan pelatihan soft skills.

‎Dakwah pun harus disampaikan dengan bahasa yang dekat dengan dunia Gen Z konten singkat, visual menarik, dan penuh kreativitas. Dengan begitu, nilai Islam tetap sampai tanpa terkesan kaku atau menggurui.

‎Kedua, Islam menawarkan solusi ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Sistem wakaf produktif, koperasi syariah, hingga inkubator UMKM berbasis komunitas bisa melibatkan pemuda untuk mengatasi pengangguran.

‎Bayangkan jika setiap masjid bukan hanya pusat ibadah, tapi juga pusat inovasi ada pelatihan coding, kelas bisnis halal, hingga koperasi digital yang dikelola anak muda. Selain mengurangi pengangguran, hal ini juga melahirkan kemandirian ekonomi umat.

‎Ketiga, peran dakwah digital tidak bisa diabaikan. Gen Z yang setiap hari berkutat dengan media sosial perlu diarahkan untuk menghasilkan konten positif. Dai muda atau influencer muslim bisa menyampaikan pesan Islam dengan gaya santai, tapi tetap mendalam. Tantangannya adalah derasnya arus hoaks, disinformasi, dan ideologi ekstrem yang juga menyebar melalui media yang sama. Karena itu, literasi digital dan kontra-narasi berbasis nilai Islam harus diperkuat.

‎Terakhir, Islam mengajarkan pentingnya ukhuwah atau persaudaraan. Komunitas lokal bisa menjadi wadah kolaborasi antar generasi. Ulama, aktivis senior, dan pemuda perlu saling berbagi pengalaman dalam semangat dialog, bukan otoritarianisme.

‎Allah Swt. berfirman:
‎“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

‎Rasulullah saw. juga menegaskan peran penting pemuda dengan sabdanya: “Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

‎Gen Z dengan segala kekuatan dan kelemahannya adalah peluang emas bagi kebangkitan umat. Mereka sudah terbukti kritis, adaptif, dan cepat dalam mengadopsi perubahan. Jika dibekali ilmu, ruang, dan nilai Islam yang kokoh, maka mereka bisa menjadi ujung tombak peradaban baru yang lebih adil, bermartabat, dan berlandaskan syariah.

 Kebangkitan umat tidak akan datang dengan sendirinya, tapi dengan melibatkan generasi muda yang mau bergerak bersama, perubahan itu bisa nyata terjadi. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: