Esensi Maulid Nabi: Satu Risalah, Satu Umat, dan Satu Tujuan
Oleh. Naila Dhofarina Noor
Kontributor SSCQMedia.Com
SSCQMedia.Com — Sudah berapa kali kita merayakan Maulid Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam?
Kalau di daerah Madura, satu hari bisa sampai sepuluh kali, bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain. Bahkan, tidak hanya pada bulan Rabiulawal, tetapi ada juga yang mengadakan acara Maulid Nabi di bulan Rabiulakhir dengan perayaan lebih besar karena dianggap sebagai penutup, begitu pemahamannya.
Agar tidak menjadi seremonial semata dan sia-sia di hadapan Allah, perlu kita renungkan dengan mendalam. Apakah kita mengikutinya hanya karena sungkan telah diundang? Apakah kita mengadakannya karena takut dicibir tetangga? Apakah kita ikut serta hanya karena ikut-ikutan, seru-seruan, atau sekadar ingin menyaksikan pertunjukan seperti hadrah? Semoga bukan itu niat kita.
Sejatinya, ada tiga esensi Maulid Nabi yang patut kita sadari:
Pertama, mengingatkan kita bahwa Nabi Muhammad telah membawa satu risalah, yaitu Islam sebagai penyempurna agama yang dibawa para Rasul terdahulu. Luar biasanya, Islam yang dibawa beliau adalah risalah yang penerapannya mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Maknanya, setelah Nabi Muhammad tiada, umat Nabi Muhammad, yakni umat Islamlah, yang semestinya memimpin dunia dengan menerapkan Islam. Bukan umat kapitalis atau sosialis yang memimpin. Sebab itulah, hari ini kita menyaksikan banyak kezaliman di dunia, termasuk di Palestina.
Kedua, mengingatkan kita bahwa Nabi Muhammad mengajarkan umatnya untuk bersaudara, saling menyayangi ibarat satu tubuh, satu umat. Penderitaan saudara-saudara kita di Palestina semestinya menggerakkan umat ini untuk menyelesaikan derita mereka, bukan hanya atas dasar rasa kemanusiaan, tetapi juga karena panggilan keimanan.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Ketiga, mengingatkan kita bahwa Nabi Muhammad memberikan teladan kehidupan dengan fokus pada satu tujuan, yaitu menghamba kepada Allah. Segala hal yang mengarah kepada penghambaan selain Allah beliau tolak dengan tegas. Nabi gigih memperjuangkan tegaknya kalimat laa ilaaha illallah di muka bumi hingga akhir hayat.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Itulah satu risalah, satu umat, dan satu tujuan yang menjadi esensi peringatan Maulid Nabi. Seiring seringnya kita memperingatinya, semakin kuat pula mahabbah kita kepada beliau. Bukti mahabbah itu kita tunjukkan dengan ittiba’ kepada beliau dalam setiap lini kehidupan.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya mengambil bab akhlak, ibadah, pernikahan, dan warisan untuk diterapkan dalam hidup beliau, tetapi juga bab membangun negara dengan segala muamalah yang diatur dalam Islam.
Para sahabat Nabi adalah contoh terbaik dalam ittiba’. Mereka menjadi pengganti beliau dalam memimpin umat pada skala negara. Mereka adalah para khalifah yang namanya biasa disebut Bilal saat Salat Tarawih.
Peran khalifah sangat urgen dalam menyelesaikan segala persoalan umat. Terkait Palestina misalnya, dahulu ketika Khalifah Abdul Hamid II diminta Theodore Herzl memberikan tanah demi pendirian Israel, Khalifah dengan tegas menolak. Kini, ketiadaan khil4fah yang berarti ketiadaan khalifah membuat umat Islam terpecah belah dalam sekat bangsa. Hal itu menjadikan Israel leluasa merebut tanah Palestina dengan dukungan antek-anteknya.
Pengembalian kembali khil4fah butuh diperjuangkan oleh umat Islam. Khalifah tidak hanya duduk manis di meja konferensi, tetapi akan mengirimkan tentara untuk memberi solusi nyata. Sejatinya, penderitaan Palestina bukan karena kurangnya doa dan bantuan material, melainkan karena ketiadaan institusi khil4fah dengan khalifah sebagai pemimpinnya.
Adapun di Indonesia, kondisi juga tidak baik-baik saja. Peristiwa demonstrasi besar di berbagai titik menunjukkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah yang tidak sensitif terhadap penderitaan mereka. Pergantian rezim nyatanya tidak cukup memberikan perubahan mendasar. Ketimpangan sosial dan berbagai kriminalisasi tetap terjadi.
Hal ini semakin meyakinkan bahwa urgensi persatuan umat untuk mengangkat khalifah dalam institusi khil4fah mutlak diperlukan agar risalah rahmatan lil-‘alamin benar-benar terwujud.
[MA]
Baca juga:

0 Comments: