Delapan Puluh Tahun Merdeka, Mengapa Rakyat Masih Terjajah?
Oleh. Nurul Lailiya
(Aktivis Muslimah)
SSCQMedia.Com — Di tengah usia kemerdekaan ke-80, kondisi pendidikan dan kesehatan di Indonesia masih memprihatinkan.
Di Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, misalnya, SD Negeri 084 Amballong masih berdinding papan, berlantai tanah, papan tulis berlubang, serta hanya memiliki satu guru yang aktif mengajar (Kompas, 16/8/2025). Sementara itu, pemerintah justru sibuk mendirikan sekolah dan universitas baru melalui berbagai kementerian, yang menurut pengamat menunjukkan tumpang tindih mandat kelembagaan. Bahkan, alokasi 20% APBN untuk pendidikan juga diselewengkan untuk sekolah kedinasan, padahal seharusnya digunakan untuk pendidikan dasar hingga tinggi. Ketimpangan ini tampak dari perbandingan dana Rp91,4 triliun untuk 64 juta siswa/mahasiswa dengan Rp104 triliun hanya untuk 13 ribu siswa sekolah kedinasan (Disway, 16/8/2025).
Kondisi serupa juga terjadi di sektor kesehatan. Seorang ibu hamil di Luwu Utara harus ditandu sejauh 22 kilometer menuju puskesmas karena jalan rusak, hingga bayi kembarnya tidak terselamatkan (Inilah.com, 18/8/2025). Secara nasional, Indonesia memiliki 10.000 puskesmas dan 2.636 rumah sakit umum, tetapi ketersediaan layanan hanya 1,4 per 100 ribu penduduk, masih di bawah standar WHO yang merekomendasikan 2 per 100 ribu. Rasio dokter pun hanya 0,47 per 1.000 penduduk, separuh dari standar WHO, bahkan di wilayah 3T ada satu dokter untuk melayani 5.000 warga. Ditambah lagi, 10.000 fasilitas kesehatan belum terakreditasi sehingga tidak bisa bermitra dengan BPJS (RRI.co.id; Detiknews.com, 31/7/2025).
Kapitalisme Menjadikan Layanan Dasar Sebagai Komoditas
Pendidikan dan kesehatan adalah dua sektor vital yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Namun, hingga kini keduanya masih terasa sebagai layanan yang mahal dan mewah, sulit diakses masyarakat ekonomi lemah.
Penyebabnya adalah penerapan sistem kapitalisme yang meniscayakan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas hanya dinikmati swasta, sementara daerah terpencil terabaikan. Maka, wajar bila sering terdengar kabar pasien meninggal dunia akibat terlambat mendapat layanan medis.
Kapitalisme memperlakukan pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas. Kualitas sekolah ditentukan kemampuan finansial orang tua, sehingga hanya anak-anak dari keluarga mampu yang bisa mengenyam pendidikan tinggi dan berkualitas.
Hal ini membuat orang tua dari pelajar berprestasi yang tidak mampu harus berjuang lebih keras, penuh pengorbanan, demi berharap anak mereka dapat memperbaiki nasib keluarga dan memberi manfaat bagi umat.
Solusi Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menetapkan negara sebagai ra’in (pengurus) yang bertugas memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan. Dalam Islam, keduanya adalah hak publik yang harus dijamin negara secara gratis, merata, dan berkualitas tanpa diskriminasi.
Negara juga membangun sarana dan prasarana publik (jalan, jembatan, transportasi) untuk mendukung akses layanan tersebut. Dana diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam oleh negara melalui Baitulmal, sesuai syariat Islam.
Penutup
Delapan dekade kemerdekaan seharusnya menjadi momentum evaluasi. Apakah rakyat sudah benar-benar merdeka dalam pendidikan dan kesehatan atau belum?
Selama kapitalisme masih menjadi sistem, ketidakadilan akan terus berulang. Hanya Islam, dengan konsep ra’in, yang mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. [MA]
Baca juga:

0 Comments: