Jebakan Paylater: Memudahkan Saat Ini, Memberatkan Nanti
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Dalam era modernisasi, manusia terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang pesat, yang tidak hanya mempengaruhi gaya hidup dalam banyak aspek, namun juga membawa perubahan dalam praktik keuangan, terutama dalam hal modernisasi riba.
Menurut data dari OJK, utang masyarakat melalui layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau PayLater di sektor perbankan mencapai Rp 21,98 triliun pada Februari 2025, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 36,60%. Dengan total 23,66 juta rekening aktif yang menggunakan layanan BNPL di sektor perbankan (kompas.com, 12/4/2025).
Bermula muncul pada tahun 2018, penggunaan sistem pembayaran digital seperti BNPL atau Paylater telah mengalami peningkatan yang signifikan. Metode ini kian populer di kalangan pengguna platform belanja online karena memudahkan transaksi tanpa pembayaran langsung, serta memberi opsi untuk mencicil atau menggunakan kredit saat berbelanja, menjadikannya pilihan praktis dan fleksibel.
Meskipun demikian, model pembayaran ini sebenarnya merupakan jebakan dalam strategi kapitalisme yang bertujuan untuk mendorong konsumerisme dan menjaga stabilitas pasar. Dengan memberi kesempatan kepada konsumen untuk memperoleh barang yang sebelumnya sulit dijangkau melalui kredit atau cicilan, BNPL dapat merangsang perilaku belanja impulsif demi meningkatan profit bagi pihak kapitalis.
Selain itu, penawaran dan kemudahan paylater sejatinya mengarahkan konsumen pada penumpukan utang yang membahayakan dalam jangka panjang. Misalnya ketika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu. Sehingga konsumen harus membayar bunga setiap harinya berdasarkan jumlah transaksi cicilan. Akibatnya, tagihan akan terus bertambah akibat bunga dan denda tambahan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan beban finansial yang berat. Dan hal ini telah menjadi realitas di tengah masyarakat luas, di mana kegagalan membayar paylater berkontribusi signifikan pada peningkatan kasus bunuh diri.
Dalam konteks masyarakat yang menganut paradigma sekuler, di mana agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, perilaku konsumerisme dan hedonisme cenderung diidolakan. Hal ini membuat individu cenderung bergantung pada kepuasan materi dan konsumsi dalam mengejar status sosial, sehingga terjebak dalam siklus belanja yang tidak terkendali.
Para kapitalis memanfaatkan tren konsumerisme dan hedonisme ini untuk meningkatkan penjualan dengan menawarkan skema keuangan yang terlihat menguntungkan, namun sebenarnya merugikan. Terlebih dalam sistem ekonomi kapitalis, praktik riba diterima karena di dasarkan pada prinsip profit dan pertumbuhan modal.
Meskipun pemerintah saat ini melihat fintech seperti BNPL atau paylater sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi nasional, hal ini sangat bertentangan dengan hukum syariah Islam yang melarang riba, karena tergolong sebagai dosa besar dan merugikan semua pihak yang terlibat.
Larangan riba dalam Islam sangatlah tegas, tidak peduli bentuk atau jumlahnya. Hal ini merupakan ajaran agama yang dijelaskan dalam Al-Qur'an, di mana Allah Swt. menyatakan bahwa orang yang mengambil riba akan menjadi seperti orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila. Oleh karenanya di dalam Islam jual beli dihalalkan, tetapi riba diharamkan.
Sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum syariah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bermuamalah. Dan ketaatan kepada syariah secara sempurna hanya bisa dilakukan ketika negara mengadopsi hukum Allah berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana dalam sistem politik Islam yang berlandaskan pada prinsip khilafah atau kepemimpinan berbasis syariah.
Sebab Islam mewajibkan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam hal harta dan pendapatan agar ekonomi rumah tangga tidak bergantung pada utang. Adapun seorang Muslim hanya boleh berutang dalam situasi terpaksa, bukan karena kebiasaan. Di sisi lain Islam juga memiliki mekanisme untuk membantu orang yang berutang melalui kategori penerima zakat, yaitu gharim.
Negara Islam (Khilafah) memiliki berbagai mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan warganya seperti menyediakan lapangan kerja bagi semua laki-laki yang menjadi pencari nafkah untuk keluarganya. Para laki-laki tersebut tidak perlu bekerja tambahan karena kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan disediakan secara gratis oleh negara. Selain itu Khilafah akan menjamin bahwa harta yang beredar halal dan mendatangkan berkah. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang secara tegas menolak praktik riba dalam semua transaksi.
Meski demikian, Khilafah tidak hanya fokus pada aspek ekonomi, melainkan juga merancang sistem pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Melalui pendidikan Islam yang menitikberatkan pada iman dan ketakwaan, tujuannya adalah membentuk kepribadian Islam yang kokoh pada setiap individu. Untuk menciptakan generasi yang cerdas secara intelektual dan berakhlak mulia serta bertanggung jawab.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, politik dan sosial, Khilafah memberikan pedoman yang terang bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Guna menjauhi perilaku konsumtif berlebihan, dan berbagai praktik riba yang merugikan. Sehingga bersama Khilafah umat akan mencapai keberkahan dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Wallahualam. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: