Alih Fungsi Lahan: Ketika Alam Dikorbankan Demi Pemodal
Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Hutan bukan sekadar kumpulan pohon yang menjulang tinggi, melainkan jantung kehidupan yang mengatur keseimbangan ekosistem bumi. Hutan berperan vital dalam menyerap karbon, menjaga ketersediaan air, mencegah banjir dan longsor, serta menjadi rumah bagi jutaan spesies flora dan fauna. Bagi manusia, hutan adalah sumber pangan, obat-obatan, dan udara bersih yang tak ternilai. Ketika hutan rusak atau hilang, maka kerusakan ekologis pun tak terhindarkan. Pada akhirnya, manusialah yang menuai bencananya.
Dewasa ini alih fungsi lahan kian menjadi-jadi. Pada tahun 2010, Jawa Barat yang memiliki luas lebih dari 3 juta hektare, sebanyak 1,6 juta hektarenya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, pada tahun 2022, hanya sekitar 400 ribu hektare yang masih tersisa. Sebanyak 1,2 juta hektare kawasan lindung telah hilang. “Kehilangan ini dipandang sangat signifikan dan dinilai cukup riskan,” tutur Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq. (tirto.id, 12-04-2025). Ini jelas bukan hanya pergeseran tata ruang, tapi penanda kehancuran ekologis yang disokong secara sistemik.
Pulau Bali pun tak luput. Surga wisata itu kini dipenuhi beton dan resort mewah yang menggusur sawah-sawah produktif. Lahan pertanian terus menyusut, menurunkan stok beras lokal hingga hanya tersisa separuhnya dalam lima tahun terakhir. Gubernur Bali, Wayan Koster, mengungkapkan bahwa stok beras lokal di Bali menurun drastis hingga 50% dalam lima tahun terakhir akibat alih fungsi lahan pertanian yang semakin masif. Lahan-lahan produktif di Bali semakin tergerus akibat pembangunan hotel dan vila, yang mengakibatkan potensi krisis pangan jika kondisi ini tidak segera dikendalikan. (detik.com, 11-04-2025).
Sepanjang tahun 2024, deforestasi di Indonesia sebesar 261.575 hektare. Deforestasi melanda hampir seluruh provinsi di Indonesia, dengan satu-satunya pengecualian adalah Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Hak ini sebagaimana dilaporkan oleh Auriga Nusantara, organisasi non-pemerintah yang berfokus pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam (kompas.com, 31-01-2025).
Kapitalisme, Sistem Penghancur Lingkungan
Kapitalisme telah membentuk manusia yang menjadikan keuntungan sebagai kiblat dan materi sebagai tujuan hidup. Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk pertimbangan halal dan haram. Selama sesuatu menguntungkan, maka itu dianggap sah dan legal, meskipun merusak kehidupan manusia dan lingkungannya.
Para pemodal memanfaatkan kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme untuk menguasai hutan, sawah, sungai, dan gunung. Aturan dibuat demi melindungi kepentingan para pemilik modal, bukan untuk kepentingan rakyat. Negara menjadi alat legitimasi, bukan pelindung. Di balik UU Pengelolaan Lahan, Perizinan Berbasis Risiko, hingga Peraturan Investasi, terselip restu bagi kapitalis untuk merusak alam dengan tameng hukum.
Maka jangan heran jika kerusakan ini tak kunjung berhenti. Negara sekuler demokratis hanyalah “boneka sah” yang memberi izin legal pada para korporasi untuk menjarah bumi. Pejabat dan pengusaha bersekongkol atas nama investasi dan pembangunan. Sementara rakyat menderita, lingkungan rusak, dan bencana datang silih berganti.
Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41).
Islam, Sistem Ilahiah Penjaga Alam
Islam, sebagai sistem hidup yang bersumber dari wahyu, memiliki paradigma yang sangat berbeda. Dalam Islam, bumi dan segala isinya adalah amanah dari Allah, bukan komoditas untuk diperdagangkan sesuka hati. Islam menetapkan tiga jenis kepemilikan: individu, umum, dan negara. Hutan, air, padang rumput, dan tambang. Yang semuanya termasuk milik umum yang haram dikuasai individu atau korporasi. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) bertugas menjaga kepemilikan umum ini, bukan menjualnya atas nama investasi. Khalifah sebagai kepala negara memikul tanggung jawab penuh dalam mengelola sumber daya alam, guna memastikan pemanfaatannya secara optimal dan sebesar-besarnya demi kemaslahatan umat, bukan demi keuntungan segelintir elite pemilik modal.
Negara Khilafah juga memiliki sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang melahirkan pribadi dan pemimpin yang amanah, bertakwa, dan bertanggung jawab. Tak ada ruang bagi pengkhianat yang menjual negeri demi proyek dan cuan. Tak ada celah untuk korporasi mencaplok hutan atas nama pembangunan.
Khilafah, Solusi Struktural dan Ilmiah
Alih fungsi lahan yang masif, bencana ekologi yang terus terjadi, serta kelaparan akibat menurunnya produksi pangan bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Semua itu adalah konsekuensi logis dari diterapkannya sistem sekuler kapitalistik yang mencabut keberkahan bumi. Selama sistem ini tetap menjadi dasar kehidupan, kerusakan demi kerusakan akan terus datang silih berganti.
Hanya sistem Islam, yang diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah yang mampu menghentikan kerusakan ini dari akarnya. Khilafah adalah sistem struktural yang menjaga bumi dengan seperangkat aturan Ilahi, bukan kepentingan manusia. Khilafah menjaga hutan dari perambahan, melindungi petani, memastikan distribusi hasil bumi, dan menegakkan keadilan ekologis.
Kini, menjadi tugas setiap muslim untuk menyerukan kembali Islam sebagai solusi nyata bagi krisis ekologis yang menimpa negeri ini. Karena sesungguhnya, menyelamatkan bumi adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Swt.,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: