Headlines
Loading...
Challenge Merdeka


Oleh. Ummu Irul

Merdeka! Merdeka!Merdeka! 
Di tiap bulan Agustus, seperti yang sekarang kita tapaki, tulisan tersebut terpampang di berbagai sudut kota maupun desa di negeri ini. 

Tak bisa dipungkiri, sejak tahun 1945, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, negeri ini memang sudah  terbebas dari penjajahan, sejak dibacakan  Proklamasi oleh bapak Soekarno dan Bung Hatta, di Jl. Pegangsaan Timur Jakarta kala itu. Sejak itu, artinya negeri ini telah bebas merdeka sudah selama 79 tahun. 

Masyaa Allah, umur yang sudah sangat matang, jika tidak bisa dibilang udzur untuk umur rata-rata orang sekarang, jika hal itu diumpamakan umur manusia. Jika seseorang telah berumur segitu, pastilah telah menjadi pribadi yang sangat matang dan dewasa. Bisa menyelesaikan setiap masalah yang melingkupinya, bahkan bisa memecahkan permasalahan orang-orang di sekitarnya. Baik dia teman dekat, tetangga maupun saudara jauh lainnya. 

Dia akan menjadi seseorang yang sangat bijak dalam mengambil keputusan karena banyaknya ilmu dan pengalaman yang telah ia reguk selama itu. Hal itu jika dianalogikan umur bangsa ini dengan umur seseorang.

Namun tatkala kita mencermati dan mengembalikan pada fakta yang ada, yakni tentang negeri ini, apa yang terjadi? Yang katanya telah bebas dari penjajahan, apa yang kini dialami?

 Logikanya, jika sebuah negeri itu sudah tidak dijajah lagi alias telah merdeka, berarti bebas menentukan sikap dalam mengurus negerinya sendiri. Tapi apa yang terjadi dengan negeri kita ini? Katanya merdeka, namun tentang keuangan masih sangat tergantung kepada IMF dan negara-negara pemberi pinjaman lainnya, yang kesemuanya bersifat ribawi. 

Dalam bidang pendidikan, di negeri yang konon telah merdeka hampir 80 tahun ini, juga sangat memprihatinkan. Kurikulum yang diterapkan dari tahun ke tahun tambah miris. Sangat jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri. 

Nampak kurikulum pendidikan masih membebek kepada sang tuan, negeri adidaya. Hasilnya? Output jauh dari adab orang timur, yang sopan dan berilmu. 


Sungguh malu, jika harus bilang, " Merdeka!"

Katanya merdeka, tapi dalam mengelola sumber daya alamnya, mengapa masih tergantung pada orang asing dan aseng? Apakah negara yang telah merdeka hampir 8 dasawarsa ini belum memiliki ahli dan peralatan yang mampu mengolahnya sendiri? Sehingga hasilnya bisa dikembalikan kepada rakyatnya sendiri, yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang menunjukkan bahwa kita malu, jika harus bilang, "Merdeka," karena faktanya belum merdeka secara hakiki. Memang betul, kita sekarang tidak dijajah secara fisik, namun non fisik atau pemikiran tetap dijajah. 

Pemikiran bangsa ini masih dibelenggu oleh pemikiran penjajah, yakni paham kapitalis dan paham sekularisme. 

Apabila kita menelaah lebih dalam lagi, ternyata penjajahan pemikiran ini lebih dahsyat efeknya. Jauh lebih menyengsarakan, dibanding penjajahan fisik. Mengapa? Karena penjajahan pemikiran ini sangat halus masuknya sehingga si terjajah tidak merasa, bahwa dia sedang dijajah. 

Apabila pemikiran seperti ini masuk menelusup ke seluruh benak rakyat negeri ini, baik dia penguasa maupun rakyat jelata, apa jadinya? Pasti negara ini baik SDM maupun SDA nya diserahkan kepada penjajah dengan sukarela. Bukankah yang seperti ini lebih berbahaya?

Inilah PR kita hari ini, menyadarkan umat secara keseluruhan, untuk membuang pemahaman-pemahaman di luar Islam (kapitalisme, sekularisme) yang sejatinya telah membelenggu kemerdekaan kita. 

Dan segera hijrah mengambil cara Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup baik masalah keuangan, pengelolaan SDA maupun SDM dan sebagainya sesuai dengan aturan Islam atau  Allah. Karena itulah makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sehingga kelak, kita tidak malu lagi untuk berteriak, "Merdeka!" "Allahu Akbar! [ry].

Baca juga:

0 Comments: