Headlines
Loading...
Rezim Senantiasa Berganti, Konflik Agraria Makin Menjadi

Rezim Senantiasa Berganti, Konflik Agraria Makin Menjadi

Oleh. Azrina Fauziah (Aktivis Dakwah) 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah menghimpun data, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia sejak periode 2009-2022. KPA mencatat ada sekitar 2,25 juta kepala keluarga yang berdampak atas konflik tersebut (katadata.co.id, 12/1/2024). 

Menurut KPA, konflik agraria terjadi pada beberapa sektor. Mulai dari perkebunan, infrastruktur, pertambangan, kehutanan, pertanian, pesisir/pulau dan fasilitas militer. Pada periode 2021-2022, konflik agraria di sektor perkebunan, infrastruktur dan pertambangan lebih mendominasi (kumparan.com, 15/1/2024) 

Membandingkan Konflik Agraria di Era Sebelumnya 

Pada era Presiden SBY, menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria terdapat 1.520 kasus dengan luas konflik agraria 5.711.396 hektare. Sedangkan di era Presiden Jokowi, terdapat 2.939 kasus dengan luas konflik agraria 6.309.262 hektare (katadata.co.id, 18/1/2024). 

Data tersebut tentu saja mengejutkan publik. Pergantian rezim yang diharapkan masyarakat  dapat memperbaiki problem pada kepemimpinan sebelumnya, ternyata tidak dapat menyudahi konflik agraria yang telah berlangsung lama. Pada faktanya rezim yang telah berganti justru mewarisi konflik agraria tersebut. 

Demokrasi Kapitalisme Melanggengkan Konflik 

Meningkatnya kasus konflik agraria tiap tahun menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu menyelesaikan konflik dengan tuntas. Terlebih jumlah kasus konflik agraria yang meningkat terjadi antara rakyat dengan perusahaan plat merah yang merupakan badan usaha milik negara. Alhasil hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa pemerintah demikian? 

Masalah ini muncul akibat kesalahan tata kelola agraria. Sistem demokrasi menopang pilar kebebasan berkepemilikan. Siapa pun yang memiliki modal boleh menguasai lahan sekalipun dengan segala cara. 

Contoh saja kasus Rempang, masyarakat yang telah bertahun-tahun tinggal disana mampu digusur pemerintah karena tidak dapat menunjukkan sertifikat kepemilikan. Alhasil status kepemilikan tanah menjadi milik negara. Negara dengan suka rela memberikan hak guna lahan kepada investor yang menginginkan tanah tersebut. 

Sekalipun kepemilikan lahan yang dimiliki oleh individu secara sah, jika tanah mengandung kekayaan alam, pihak perusahaan mampu mengeksploitasinya dengan cara merampas paksa. Tidak sedikit pemilik lahan sah mendapatkan tindakan intimidasi dan kriminalisasi karena mempertahankan lahannya. 

Dapat disimpulkan bahwa selama aturan yang membebaskan kepemilikan diterapkan maka konflik agraria akan terus langgeng meskipun rezim senantiasa berganti. 

Islam Mencegah Konflik Agraria

Islam tidak hanya mengatur ritual ibadah tetapi juga konsep kepemilikan yang ada di dalam sistem ekonominya. Dalam sistem ekonomi Islam, lahan dibagi menjadi tiga status kepemilikan yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
 
Pertama, lahan kepemilikan individu seperti lahan hunian, pertanian, kebun dan ladang. Lahan tersebut dapat diperoleh oleh individu dari jual beli, harta warisan dan hibah. Berkaitan dengan status kepemilikan individu maka syariat Islam melarang setiap orang melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merebut paksa tanah milik orang lain. 

Kedua, kepemilikan umum seperti lahan hutan, pertambangan dan SDA lainnya. pengolahan lahan milik umum diberikan kepada negara hanya untuk kemaslahatan umat. Pemilik modal dilarang untuk menguasai kekayaan alam milik umat. Ketiga, kepemilikan negara yakni lahan yang tidak bertuan dan bangunan milik negara. 

Dengan pengaturan kepemilikan semacam ini, individu akan dilarang untuk menguasai lahan individu maupun umum secara paksa. Allah Swt. telah mengancam dengan tegas para pelaku mafia tanah, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
 
"Barangsiapa yang merampas tanah orang lain dengan cara zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah акап mengalunginya kelak di Hari Kiamat dengan tujuh lapis bumi." (HR Muslim)

Tidak sampai disitu, Negara Islam juga mendorong rakyat untuk dapat menghidupkan tanah bagi yang mampu menghidupkan. 
 
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu adalah miliknya.” (HR al-Bukhari).

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun.” (HR Abu Yusuf).

Syariat Islam juga menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Kemudian Negara akan menarik tanah tersebut dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Mekanisme kepemilikan dalam Islam tersebut niscaya akan mampu menghilangkan konflik agraria. Waallahualam. [Ma]

Baca juga:

0 Comments: