Headlines
Loading...
Oleh. Noviana Irawaty 

Di atas langit ada langit
Jangan sombong atas titipan
Di atas semuanya
Ada Allah Yang Maha Segalanya

Seseorang yang berilmu bukanlah karena kemampuannya semata dalam mendapatkan ilmu, tetapi Allah yang berkehendak untuk menitipkannya. Jika Allah tidak berkehendak, sehebat apapun ikhtiar seseorang, dia takkan mendapatkan. Betapa banyak orang yang belajar dengan keras, tetapi jika Allah tidak berkehendak karena melihat kemaslahatannya bukan pada orang yang dimaksud, maka dia tidak akan mendapatkan ilmu itu, dia akan mendapatkan ilmu yang lain. Ilmu yang itu akan Allah titipkan kepada orang lain. 

Ketika Allah menganugerahkan ilmu kepada seorang hamba, di situ Adam a.s. berterima kasih dengan cara bersyukur. Sifat syukur pertama ketika diberi ilmu adalah menghadirkan sifat tawadhu dan mengembalikan semua pengetahuan kepada Allah. Karena Allah tidak menyukai manusia yang berilmu tetapi sombong dengan ilmunya. Apalagi jika tingkat kesombongannya berada di puncak sampai tidak mengenal Allah. Atau tingkat pengetahuannya itu sampai menentang Allah. Naudzubillah.

Inilah penyakit iblis yang pertama “aba wastakbar” sehingga dia mendapat laknat dari Allah.
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam!" Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir." (QS. Al-Baqarah ayat 34)

Maka Allah haramkan kesombongan itu, terlebih pada orang berilmu. Seperti kasusnya Qorun. Allah mengabadikan kisah Qorun di QS. Al-Qasas. Diceritakan bahwa Qorun sangat bangga mendapat harta yang berlimpah adalah karena ilmu yang dimilikinya. Karena saya semakin pintar, maka saya mendapat ini semua. Dia tidak menyertai rezeki yang didapatkan dengan penghambaan kepada Allah dengan sifat tawadhu dan ibadah.

Saat itu terus terjadi, maka Allah memberikan pelajaran. Allah menurunkan likuefaksi, bumi menelan semua harta kekayaannya. Agar manusia yang hadir berikutnya menyadari bahwa semua kekayaan, ilmu, atau apapun itu hanyalah titipan dari Allah, yang sejatinya harus diiringi untuk membangun ketaatan dan ketakwaan kepada Allah.

Jadi jika ada orang berilmu atau pintar tetapi dia tidak mengenal Allah, maka itu bukanlah pintar yang sesungguhnya. Dia belum mendapatkan keberkahan dari ilmunya. Termasuk para ustaz dan para kiai, semakin meningkat ilmunya, akan semakin tawadhu, karena menyadari semua titipan dari Allah.

Demikian pula dengan kisah Nabi Sulaiman yang Allah titipkan pengetahuan dan kekayaan melebihi ayahnya, Nabi Dawud. Lihat apa yang Nabi Sulaiman katakan, beliau kembalikan semuanya kepada Allah. Hadza min fadhli Rabbi, semuanya dari keutamaan (yang Allah titipkan). Liyabluwani, untuk menguji saya. A-askuru am akfur, apakah aku bersyukur atau ada dorongan untuk berbuat kufur, sebagaimana dikisahkan dalam QS. An-Naml ayat 40:
"Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, Maha Mulia."

Sifat syukur yang kedua ketika diberi ilmu adalah dia menyadari bahwa Allah akan menitipkan kepada hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dengan sifat bijak-Nya. Tidak ada seorang manusia menguasai semua ilmu. Allah Maha Mengetahui. Allah menitipkan kelebihan berbeda di tiap orang, misal: satu atau beberapa ilmu kepada si A, dan kelebihan lainnya kepada si B, dst. 

Terdapat dua pelajaran dari sifat syukur yang kedua ini:
Yang pertama, agar manusia menyadari bahwa keilmuan seseorang itu ada batasnya. Tidak akan bisa menguasai segala hal. Sehingga timbul kesadaran ada yang menitipkan, dikembalikan kepada Allah. Yang sempurna hanya Allah Swt.. 

Yang kedua, mengurangi/menghilangkan sifat ujub, riya, takabur, merasa sombong. Ketika si fulan dititipkan kelebihan A, belum tentu punya kelebihan B. Sehingga dengan itu dia tidak merasa tinggi atau angkuh dengan apa yang Allah titipkan kepadanya. Dia bisa mereferensikan kepada si B apa yang tidak diketahuinya. Misalnya: si fulan pakar tafsir, tapi belum tentu pakar di bidang hadis. Sehingga ketika ada orang bertanya hadis, dia bisa mereferensikan datanglah kepada fulan yang pakar hadis. 

Itulah yang dilakukan oleh generasi di masa lalu. Itulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw.. Dan itulah bukti atas pemahaman seseorang atas isyarat yang diajarkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam QS. Al-Baqarah ayat 32:

Ù‚َا Ù„ُÙˆْا سُبْØ­ٰÙ†َÙƒَ Ù„َا عِÙ„ْÙ…َ Ù„َÙ†َاۤ اِÙ„َّا Ù…َا عَÙ„َّÙ…ْتَÙ†َا ۗ اِÙ†َّÙƒَ اَÙ†ْتَ الْعَÙ„ِÙŠْÙ…ُ الْØ­َÙƒِÙŠْÙ…ُ

"Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

Innaka, sungguh Engkau ya Allah. Antal ‘alim, Engkau yang Maha Mengetahui, Pemilik segala pengetahuan dan berkehendak kepada siapa pun ilmu Engkau titipkan. Al Hakim, Engkau Maha Bijak memilih seseorang di antara hamba-Mu itu untuk menyampaikan risalah pengetahuan yang dimaksud. 

Jadi, adab ini penting untuk disampaikan dan ditanamkan terlebih dahulu. Untuk membangun satu pondasi yang kokoh sebelum kita menerima ilmu pengetahuan. Sebab kalau adab ini masih rapuh, begitu pengetahuan masuk, biasanya bangunannya akan goyah. Mudah sekali goyah dengan kesombongan, riya, popularitas, termasuk dengan materi. Makanya adab penting dibangun sebelum ilmu itu ditanamkan. Seringkali kita dapati petunjuk dari para ulama, Al-adabu qoblal ‘ilmi (adab sebelum ilmu) sebagai dasar-dasar penguatan ruhiyah sebelum ditanamkan nilai intelektual. Wallahualam bisshawab.

Baca juga:

0 Comments: