Headlines
Loading...
Oleh. Noviana Irawaty 

Usia umat Islam rata-rata seperti Kanjeng Nabi saw. Jika berusia lebih dari 63 tahun berarti mendapat bonus. Yuk gunakan sebaik-baiknya untuk menambah bekal amal saleh. Jika kurang dari itu? Tak masalah, jadikan umurnya berkah. Banyak dari para ulama umurnya kurang dari Kanjeng Nabi, namun karyanya luar biasa. Di abad 21 karyanya terus menebar manfaat, menjadi amal jariah beliau. Salah satunya Imam Syafii, usianya 54 tahun (lahir 150 H/767 M, wafat 204 H/820 M).

Kita mengenal istilah ajal, usia, dan umur. Ternyata yang disebut ajal itu adalah usia. Sedangkan umur memiliki pengertian sendiri, yang berbeda dari usia/ajal. Mari kita kupas bedanya. Dan kenapa sih, Allah merahasiakan ajal? 

Saat manusia masih berupa janin dalam rahim ibu, Allah memerintahkan malaikat untuk meniupkan ruh kepada janin saat usianya 4 bulan. Dan ditetapkan padanya 4 perkara: rezeki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Yang dimaksud usia dalam bahasa Indonesia adalah ajal, yaitu batas kehidupan manusia. 

Kita diberikan ajal/usia oleh Allah, tapi tidak diberitahu kapan waktunya. Hikmahnya dirahasiakan adalah supaya semangat mengisinya dalam kebaikan. Jika diberitahu waktunya, umumnya orang akan sulit beraktivitas, mulai malas, tidak bergairah. 

Bayangkan jika manusia mengetahui ajalnya, hidup bakal tak nyaman. Misal, sudah mengetahui akan meninggal seminggu lagi, masih mau gak ikut pengajian ke sini? Belum tentu mau, mungkin yang terjadi dia akan menyendiri di rumah atau ke masjid lalu beristigfar, mohon ampunan. Astagfirullah, Astagfirullah. Ayah makan dulu yuk. Gak mau. Sudah malas semuanya, tidak mau kerja, dst.

Misal juga, sedang tesis S-2 namun tahu usianya 6 bulan lagi, apa dia masih semangat menggarap tesisnya? Ah percuma, nanti juga mati, S-2 gak dibawa mati. Manusia jadi tidak bersemangat menjalani hidupnya.

Oleh karena itu, kenapa ajal dibuat misteri/gaib, agar manusia semangat mencari kebaikan-kebaikan. Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana supaya kita bisa mengisi ajal itu? Supaya baik bekal kita menuju Allah, maka itu yang disebut dengan umur, yaitu cara mengisinya. Berasal dari kata al-umru, jadi umur itu asalnya bukan usia, tetapi segala hal yang melahirkan manfaat. Usia kita, cara mengisinya disebut dengan umur.

Ini memberikan pesan bahwa, sepanjang masih diberikan usia, hayuk isi dengan yang bermanfaat, yang baik-baik. Melihat, mendengar, mengucap hanya yang baik-baik saja. Jangan sampai diberikan usia, tapi diisi dengan hal-hal yang buruk. Ini maksudnya. 

Jadi jika ditanya seperti ini, berapa umur Anda? 40 tahun. Itu maksudnya jika dikaitkan dengan pengertian di atas: dari 40 tahun itu, sudah berapa banyak kebaikan yang anda buat. 

Tetapi saat ke Bahasa Indonesia, umur ini berubah pemaknaannya sebagai ajal atau usia. Padahal asalnya bukan usianya, tetapi cara mengisi usianya. Inilah poinnya. Makanya ketika kita mendapatkan penerjemahan usia bertambah. Usia ini tidak akan bertambah, karena usia sudah ditetapkan oleh Allah, jauh sebelum manusia dilahirkan, sudah tertulis di lauhul mahfudz. Tertulis usia si fulan 63 tahun, maka tidak bertambah, tidak akan berkurang. Tetap 63 tahun. Tetapi yang bisa bertambah itu umur. Asas manfaatnya, keberkahannya.

Allah juga menjelaskan di dalam QS. A-Mulk ayat 2, kenapa ajal itu dirahasiakan adalah untuk menguji manusia. Agar manusia memberikan yang terbaik dalam beramal. 

ٱلَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَا لْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ 

"yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun,"

Karena kita tidak tahu kapan ajal, maka seharusnya manusia menyadari bahwa dirinya kapan saja bisa diwafatkan. 
Apakah ada manusia yang hidup abadi? Tidak ada.
Yakin kita akan meninggal? Yakin.
Yakin hari ini? Mungkin saja. Wallahualam

Nah, bila seseorang yakin sewaktu-waktu malaikat Izrail bisa datang menjemput nyawa, seharusnya dia tidak bermain-main dengan hidupnya. Orang cerdas (bervisi akhirat) itu mustahil akan berbuat maksiat dalam kehidupannya, karena dia sadar ketika akan berbuat salah, kapan saja akan meninggal. Mungkin saat berbuat maksiat dia akan wafat.

Makanya para ulama menasihati, jika terlintas atau terpikir ingin berbuat salah, bayangkan jika saat itulah dia akan wafat, maka dia akan mengurungkan perbuatan dosa. Salat tiap hari, tahajud tiap malam, rajin puasa Senin Kamis, rutin ikutan taklim, tetapi meninggal saat berbuat maksiat. Naudzubillahi min dzalik. Tentu ini sebuah kerugian yang sangat besar, karena manusia itu tidak ditentukan pada permulaannya, tetapi pada akhirnya. 

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh bagian penutupnya.”

Sebagian ahli tafsir menjelaskan hadis tersebut bahwa manusia tidak ada yang mengetahui akhir hidupnya, apakah mati dalam kondisi baik, atau malah su’ul khatimah.

Maka rumus ini harus dipegang teguh. Kita sadar kapan saja bisa dipanggil pulang, maka orang cerdas akan berpikir bagaimana kalau saya akan wafat sekarang, amal saya sudah siap belum?

Sehingga mari kita melakukan muhasabah diri:
Sudahkah menabung banyak pahala?
Punyakah jaminan masuk surga?
Apakah dosanya hanya sedikit?

Jika tidak punya jaminan masuk surga, belum ringan langkahnya menuju surga, merasa banyak berdosa, dan menyadari kapan saja bisa meninggal, apakah dengan semua itu belum cukup untuk berpikir harus menyiapkan bekal lebih baik lagi?

Jadi jika kita sudah diberikan umur 40 tahun hingga hari ini, sadar yang dulu-dulu banyak salahnya, seharusnya sisanya itu lebih baik. Karena kita tidak tahu berapa lama lagi sisa usianya.

Mari kita ambil pelajaran dari sahabat Nabi saw., yakni Sayyidina Utsman bin Affan r.a.. Beliau menantu dua orang putri Nabi saw. dan sahabat utama Nabi yang kaya raya, tajir melintir. Bahkan sampai saat ini aset beliau masih ada. 

Ada sebuah sumur milik orang Yahudi, dia memonopoli sumur tersebut. Kaum muslimin harus bayar jika mengambil air dari sumurnya. Utsman membeli sumur tersebut dan menggratiskan untuk siapa saja yang memerlukan. Bahkan kebun kurma di sekitarnya juga dibeli. Yang lapar, ambil kurma dari sini, tidak usah bayar. Yang haus, ambil air dari sini, tidak usah bayar. Sampai hari ini masih ada, dan akan dibuat konsep penginapan, royaltinya disimpan di Bank Saudi, diatasnamakan Utsman bin Affan dan disedekahkan lagi untuk kebutuhan umat Islam sedunia.

Imam An-Nawawi menulis kitab At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, kitab ini membahas bagaimana adab dan etika terhadap Al-Qur’an. Kitab ini menuangkan kesungguhan Utsman bin Affan dalam meningkatkan ibadahnya, karena sadar kapan saja bisa pulang. Orang yang dijamin surga oleh lisan Nabi, tanpa hisab. 

Walau sudah mendapat stempel surga, beliau tak lantas berhenti ibadah, bahkan sangat getol. Jangankan orang fardunya, beliau tidak pernah meninggalkan salat tahajud. Bahkan seringkali salat tahajud sampai khatam Qur’an. 

Utsman bin Affan r.a. seorang yang sangat pemalu. Saking malunya kata Nabi, malaikat pun kalau turun malu kepada Utsman. Betapa hebat ibadah, amal saleh yang dilakukan. Kita contoh beliau. Sepanjang kita masih diberikan usia, hayuk isi dengan yang baik-baik. Menjaga mata, telinga, lisan agar tidak melakukan hal yang buruk, yang Allah tidak suka. Serius dalam beramal. Mempelajari, berpegang teguh, dan mendakwahkan Islam hingga akhir hayat.

Baca juga:

0 Comments: