Headlines
Loading...
Perlindungan Perempuan Berstatus Kepala Keluarga

Perlindungan Perempuan Berstatus Kepala Keluarga

Oleh. Ummu Faiha Hasna

Setiap tahun, tepatnya tanggal 23 Juli selalu diperingati Hari Perempuan Kepala Keluarga. Peringatan ini bertujuan agar perempuan terangkat dari kemiskinan, tidak mendapatkan diskriminasi dan kekerasan. 

Apa maksud perempuan kepala keluarga itu sendiri? Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?

Dikutip dari republika, Sabtu , 24/6/ 2023 Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), 2022, menunjukkan sebanyak 12,72 persen kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan. Akan tetapi berbagai lembaga menyatakan jumlah kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan ini bisa lebih besar. Hal ini mengingat perempuan kepala keluarga bukan hanya pada kasus perempuan yang telah bercerai atau ditinggal wafat oleh pasangannya. Tetapi juga perempuan yang secara faktual menjadi pencari nafkah utama, baik dalam perkawinan maupun dalam status lajang bagi keluarganya.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga berhak untuk mendapatkan perlindungan yang substantif dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang dialami selama ini.Tema peringatan Hari Perempuan Kepala  Keluarga pada 2023 yaitu inovasi dan teknologi bagi kesetaraan gender.

Di Indonesia, sebutan ‘Perempuan Kepala Keluarga’ lebih dikenal dengan janda. Mereka yang menjadi janda karena suaminya meninggal dan kemudian menjadi janda karena bercerai, kemudian menjadi kepala keluarga atau juga keluarga punya suami tetapi perempuan ini menjadi pencari nafkah utama sehingga mereka dikatakan sebagai perempuan-perempuan kepala keluarga. Karena perempuan sendiri berharap agar diperingatinya hari perempuan kepala keluarga. Karena perempuan sendiri berharap agar diperingatinya hari perempuan kepala keluarga ini agar perempuan ini tidak mendapatkan kekerasan yang berbasis teknologi/digital, karena berdasarkan informasi banyak perempuan kepala keluarga ini mendapat kekerasan seksual, misalnya dari mantan suaminya, yang menyebarkan foto-foto yang berkaitan dengan hubungan mereka dan seterusnya, yang tentunya mengancam perempuan kepala keluarga ini.

Bagaimana Islam mengatur hal ini? Sebab, semakin hari banyak perempuan yang sangat rentan mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual.

Dalam Al Quran Allah telah menetapkan bahwa perempuan ini tidak diberikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Karena, Islam telah menetapkan bahwa Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Jadi laki-lakilah sebagai kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga.

Sejatinya, perempuan sendiri mendapatkan tugas yang sangat mulia dalam rumah tangga  yaitu sebagai ummun wa rabbatul bayt yakni sebagai ibu sekaligus pengurus rumah suaminya. Sehingga Allah telah menetapkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya.

Namun, peran terhormat ini seakan hilang ditelan zaman, ayat-ayat al Quran sudah tak lagi diindahkan. Mereka sebagaimana yang digambarkan dalam surat Al'Araf ayat 179 memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Na'udzubillah.

Padahal, Al-Qur’an jelas memberi peran terhormat bagi kaum perempuan ialah sebagai ibu dan pengatur rumah.  Berkaitan dengan peran ini di dalam salah satu kaidah disebutkan al-ashlu fi al-mar`ati annaha ummun wa rabbatu baitin wa hiya ’irdhun yajibu an yushana.  Kaidah ini bermakna ’hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah, dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga’ (muslimahmediacenter).

Dengan begitu, hukum-hukum Allah mengatur banyak hal berkaitan dengan bagaimana agar perempuan ini dijaga kehormatannya, keberadaan baik itu fisiknya, hatinya, nafkahnya, dan seterusnya agar perempuan bisa optimal menjalankan kewajiban utamanya sebagai ibu (ummun wa rabbatul bayt). Sehingga, ketika perempuan ini diposisikan sebagai kepala keluarga, artinya memberikan perempuan itu beban yang itu sebenarnya  bukan menjadi tanggung jawabnya.

Hari ini kita berada dalam sistem yang bukan sistem Islam. Bukan sistem yang sesuai dengan Islam. Melainkan hidup dalam sistem kapitalisme sekuler, sehingga agama dijauhkan dari pengaturan kehidupan sehari-hari. Dalam pengaturan keluarga saat ini, tidak lagi diharuskan menerapkan hukum-hukum Allah. Karena Islam yang dipahami saat ini yang penting salat, puasa, zakat, sementara hubungan rumah tangga dalam keluarga tidak perlu menggunakan hukum Islam termasuk bagaimana mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan.

Dalam sistem kapitalisme, perempuan diberi beban untuk beraktivitas di arena publik untuk bekerja. Perempuan didorong untuk bekerja, sehingga diposisikan sebagai kepala keluarga.

Sangat bertentangan dengan Islam.  Dalam tata aturan Islam, ketika ada kasus perempuan suaminya meninggal atau tidak mampu bekerja mencari nafkah, maka tetap perempuan tidak wajib untuk bekerja. Tidak dipaksa untuk bekerja. Meski hukum bekerja bagi perempuan itu hukumnya boleh. Kenapa? Karena kewajiban utamanya bukan mencari nafkah melainkan menjadi Ibu. Sehingga dia harus menjalankan kewajiban utamanya itu sebagai ibu dan mendidik anak-anaknya.

Alhasil, dalam sistem Islam, negara akan menerapkan ekonomi Islam. Maka, kepemilikan itu sendiri dibagi ada kepemilikan individu, ada kepemilikan umum; dan ada kepemilikan negara. Ketika perempuan punya suami, maka negara bisa memaksa para suami untuk bekerja dan mencari nafkah untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Artinya, negara dalam hal ini akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Sehingga semua para ayah bisa bekerja. 

Ketika suami tidak sanggup bekerja karena sakit, cacat, misalnya, maka dalam sistem Islam, negaralah yang akan menanggung nafkah dari perempuan ini.

Oleh karena itu, Islam menetapkan sebelum kewajiban nafkah berpindah kepada negara, maka sebenarnya ketika suami tidak mampu, maka nafkah berpindah pada ahli warisnya. 

Alhasil, dalam Islam tidak ada perempuan kepala keluarga sebagaimana yang digadang-gadang oleh kapitalis sekuler saat ini. Sehingga dalam kondisi apapun, perempuan tetap harus menjalankan kewajiban utamanya yaitu sebagai ummu wa rabbatul bayt dan sebagai pendidik generasi (umu ajyal).

Dengan cara inilah, ketika sistem Islam diterapkan dalam aspek kehidupan, perempuan akan terhindar dari kemiskinan. Jadi agar terhindar dari kemiskinan solusinya bukan menyuruhnya bekerja sebagaimana sistem hari ini. Melainkan negara ikut berperan dalam menuntaskan dan menjamin keselamatan perempuan. Baik fisik maupun seksualnya. Dipastikan perempuan bisa aman di rumahnya dan di luar rumahnya. Kalaupun perempuan mau beraktivitas di luar rumahnya, harus seizin suaminya dan tetap menjalankan syariat Islam sesuai yang Islam diajarkan yakni menutup aurat, tidak tabarruj menonjolkan kecantikan dan keluar rumahnya itu untuk hal yang diperlukan saja.

Jadi, tak perlu peringatan hari perempuan kepala keluarga. Yang wajib ada adalah menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh baik dari individu-individu keluarga, sehingga perempuan ini terjaga di rumahnya. Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: