Oleh. Dewi Irawati Artati
Seperti biasa, Hanifah bangun sebelum azan subuh berkumandang.
Namun pagi itu ada hal aneh yang ia rasakan pada dirinya.
"Oh tidak, astaghfirullah. Mengapa wajah dan badanku jadi gatal semua?" Pekiknya lirih sambil meraba bagian yang gatal.
Perempuan yang tengah mengandung lima bulan itu langsung bangun dari ranjangnya dan melihat wajahnya di cermin.
"Hah, tidaaaak...!" seketika ia berteriak tatkala melihat wajahnya dipenuhi oleh ruam-ruam kecil berisi cairan seperti cacar. Tidak hanya wajah. Bagian tangan dan punggung pun juga dipenuhi bintik-bintik.
Suaminya yang baru keluar dari kamar mandi langsung berlari menghampirinya.
"Ada apa sayang, mengapa berteriak?" Tanya lelaki itu dengan lembut.
"Lihat wajahku, Bi. Aku kena cacar...!!" Pekik Hanifah panik.
"Astaghfirullah...iya sayang. Sepertinya itu cacar! Kamu juga demam! Pusing ya...? Ya sudah sayang. Sekarang tenangkan dirimu, kita salat Subuh dulu Yuk. Nanti kita periksa ke dokter," Ucap suaminya berusaha menenangkan istrinya.
Hanifah pun mengangguk sambil terisak.
Bagaimana tidak panik. Saat ini, ia sedang mengandung lima bulan dan terserang penyakit cacar, apalagi ini anak pertama yang sudah lama mereka nantikan. Ia sangat takut jika terjadi sesuatu pada janin yang dikandungnya.
Kali ini suaminya yang penyabar itu izin tidak masuk kerja. Ia segera menyiapkan sarapan pagi dan membersihkan setiap sudut rumahnya. Usai sarapan mereka langsung menuju rumah sakit terdekat.
Setelah antri hampir 2 jam, tibalah giliran mereka masuk ke ruang dokter. Dokter pun segera memeriksanya. Dokter mendiagnosa bahwa Hanifah terinfeksi virus Varicella zoster. Dokter menyarankan untuk segera mengaborsi kandungannya tersebut, karena menurutnya, Cacar air yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu tersebut bisa menyebabkan bayi lahir dengan membawa sindrom varisela kongenital.
Sindrom tersebut dapat mengakibatkan kelainan bawaan pada bayi berupa bekas luka, kelainan otot dan tulang, kelumpuhan, ukuran kepala kecil, kebutaan, kejang, atau keterbelakangan mental.
Hati Hanifa syok seketika mendengar penjelasan dokter. Hati kecilnya tak rela jika harus menggugurkan kandungannya. Begitu juga suaminya, yang sangat keberatan dengan saran dokter itu.
"Apakah tidak ada solusi lain, dokter, selain tindakan itu?" Tanya suaminya serius.
"Kalau memang anda keberatan, tidak masalah. Akan tetapi jika terjadi sesuatu terhadap janinnya, itu di luar tanggung jawab kami," Jawab dokter.
"Baiklah dokter, kami akan mempertahankan janin ini, kami siap dengan apapun risikonya," Jawab suaminya dengan penuh keyakinan. Hanifah pun mengangguk sependapat dengan suaminya.
"Baiklah, itu hak anda. Ini resep obatnya. Jangan lupa diminum secara teratur," Ujar sang dokter sambil menyerahkan secarik kertas resep obat.
"Baik dokter. Terima kasih."
Setelah menebus obat anti virus di apotik mereka segera pulang.
Sesampai di rumah, Hanifah masih merasa syok dengan keadaannya. Berbagai pikiran negatif berkecamuk dalam kepalanya. Kata-kata dokter tentang risiko pada janinnya masih menghantuinya.
"Sayang, pasrahkan semua ini sama Allah. Kita harus yakin dan tawakal kepada-Nya. Ber-husnudzan-lah sama Allah. Mudah-mudahan bayi kita lahir dengan sehat," Hibur suaminya meyakinkan Hanifah.
"Aamiin...!" Jawab Hanifah mulai tenang.
"Baiklah, Bi. Aku yakin anak yang kukandung ini anak yang kuat. Aku bertekad akan terus menjaga dan melindungimu sampai kapan pun, Nak. Kamu harus kuat ya," ucap Hanifah sambil mengelus perutnya.
Seketika itu janin di perutnya bergerak menendang-nendang, seakan merespon ucapan ibunya. Keduanya pun merasa lega dan kebahagiaan yang sempat tenggelam muncul kembali.
Bagi mereka, anak itu adalah amanah dari Allah yang harus mereka jaga sampai kapanpun, apapun keadaannya. Mereka menepis semua pikiran negatif atas risiko yang akan terjadi, dan mereka meyakini bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi janinnya.
Memang berat beban seorang ibu yang tengah mengandung, ditambah lagi ia harus merasakan serangan virus cacar yang cukup menyiksanya dengan rasa gatal di seluruh tubuhnya. Belum lagi rasa pusing dan demam hampir-hampir membuat Hanifah stress berat. Beruntunglah ia mempunyai suami yang siaga, ia benar-benar memerhatikan apa yang dibutuhkan sang ibu dan janinnya. Bahkan tak jarang ia mengambil alih tugas Hanifah, seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah.
Memang begitulah seharusnya peran besar seorang suami dalam rumah tangga menurut syariat. Suami tidak hanya mencari nafkah untuk keluarganya, tetapi juga menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan di rumah.
Hingga waktu yang dinanti pun telah tiba. Bayi itu lahir dalam keadaan sehat dan normal, tanpa kurang suatu apa pun. Lengkaplah kebahagiaan mereka, terbayarkan sudah atas lelah dan jerih payah mereka demi menjaga sang buah hati. Tak henti-hentinya mereka bersyukur.
Sang ayah pun segera mengumandangkan azan di telinga sebelah kanan, dan Iqamah di telinga sebelah kiri dengan suara lembut.
Dalam Islam, hukum mengumandangkan azan di telinga kanan dan kiri bayi adalah sunah. Tujuannya, untuk mengenalkan kalimat tauhid dan membangun kecerdasan spiritual pada anak, serta menjauhkannya dari gangguan jin.
"Masya Allah. Tabarakallah. Lihatlah bayi kita, sayang. Cantik sekali. Bayi ini aku beri nama Maryam," ujar suaminya.
Hanifah mengangguk penuh bahagia.
Kini gadis kecil itu tumbuh menjadi anak yang cerdas dan ceria. Usianya sudah menginjak 5 tahun, dan sudah mulai sekolah di Taman Kanak-kanak. Rupanya Maryam terlihat lebih menonjol dari teman seusianya. Ia sangat cerdas dan ceria. Bahkan ia sudah hafal beberapa surat pendek dalam juz amma.
Semua itu tak lepas dari keseriusan usaha Hanifah sebagai seorang ibu. Ia betul-betul menjaga dan memerhatikan perkembangan putrinya itu, mulai dari makanan. Ia selalu memilih yang halal dan thayib. Ia juga selalu membacakan surat-surat pendek sehabis salat dan menjelang tidur. Bahkan sambil bermain, terkadang ia selipkan lagu-lagu tentang ajaran tauhid. Ia juga sering mengajaknya bermain sambung ayat ketika lagi santai.
"Lihatlah anak kita, Sayang. Ia tumbuh sehat, dan cerdas, mirip seperti ibunya. Terima kasih ya Ummi sayang, sudah menjadi ibu yang baik. Tetaplah menjadi penjaganya sampai kapanpun," Ungkap suaminya sambil memeluk dan mengusap kepala Hanifah.
"Iya Abi, terimakasih juga sudah menjadi ayah yang baik dan siaga. Aku berjanji akan terus menjaganya dengan baik. Semoga kelak ia menjadi wanita yang salehah dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya,"Jawab Hanifah bahagia dengan penuh harapan.
"Aamiin! Mereka berdua mengaminkan dan larut dalam kebahagiaan.
Sungguh mulia orang tua seperti mereka. Mereka sadar bahwa anak merupakan amanah terbesar dari Allah yang harus dijaga dan dididik dengan baik. Tujuannya, agar kelak ia menjadi pelita kehidupan di dunia, dan sebagai aset berharga bagi orang tuanya di akhirat.
Baca juga:

0 Comments: